"Angka sepuluh buat guru kami luar biasa karena dengan angka sepuluh itu anak-anak miskin bisa bersekolah di pulau yang paling kaya".  Demikian narasi  di awal film monumental Laskar Pelangi, salah satu film yang paling menyentuh saya dan menontonnya hingga tiga kali.
Muslimah berdiri di beranda sekolahnya SD Muhammadyah Gantong  di hari pertamanya dengan harap cemas agar bisa memenuhi kuota 10 murid.  Sudah sembilan murid di dalam kelas, tinggal satu lagi.
Dan murid ke sepuluh itu datang juga, namanya Harun, yang harusnya masuk SLB. Tetapi penderita keterbelakangan mental ini adalah penyelamat sekolah. Wajah Muslimah pun cerah.
Prolognya sudah luar biasa.  Film yang diangkat dari novel bertajuk sama karya Andre Hirata menghadapkan dua dunia bak Bumi dan langit.  SD Muhammadyah Gantong yang bobrok dengan SD PN Timah yang gemerlap.  Bagi saya film  yang bersetting sekitar 1970-an romantis historis, karena masa saya SD juga pada dekade itu. Â
Muslimah (Cut Mini) digambarkan begitu kukuh mengajar walau hanya dengan gaji dua bulan sekali dibayar. Â Keteguhan sempat goyah ketika ia kehilangan Harfan (Ikranegara) kepala sekolahnya. Â Hal manusiawi. Â Dia pun kembali mengajar.
Sepuluh anak dengan karakter berbeda menjadikan film ini luar biasa. Ada Ikal (Zulfanny) yang merupakan tokoh utama film ini tak lain Andre Hirata kecil, Â putra seorang pegawai PN Timah (Mathias Muchus). Â
Yang paling mengesankan ialah Lintang (Ferdian), anak nelayan yang harus menempuh kilometer dengan sepedanya agar bisa bersekolah. Â Ini saja bisa membuat menangis.Â
Murid yang lain adalah Mahar (Verrys Yamarno) yang berjiwa seni, Kucai ketua kelas (Yogi Nugraha), A Kiong (Suhendri) anak pemilik tokoh kelontong, Sahara (Dewi Ratih Ayu Safitri), Borek (Febriansyah), Syahdan (Syukur Ramadhan).
Muslimah kemudian menyebutnya sebagai Laskar Pelangi. Anak-anak yang punya semangat luar biasa dengan fasilitas apa adanya. Â Meeka bersepeda beramai-ramai. Ketika main di pantai Bu Muslimah teriak: "Laskar Pelangi kita pulang!"
Mereka memenangkan Karnaval 17 Agustus dan membawa piala ke sekolah. Â Karnaval ini kemudian mendatangkan anggota ke sebelas Laskar Pelangi bernama Flo (Marcheilla El Jolla Kondo) yang bersikeras pindah dari SD PN Timah. Â Padahal ayahnya penjabat di PN Timah dan orang kaya.
Di mata anak-anak SD Muhammadah Gantong yang lain tindakan Flo mengherankan.  Bagi saya sepintas  memang absurd, tetapi tidak mengherankan kalau dalam kehidupan  juga selalu ada orang yang anti kemapanan di kalangan orang-orang kaya.Â
Kalau di kalangan orang Barat lebih dewasa banyaknya orang kaya anti kemapanan dikaitkan dengan femomena post modernis, orang yang lari ke spiritual Timur karena merasa kekosongan di tengah gemerlapan materi.
Tokoh Flo ini segera mencuri perhatian saya, bisa-bisanya anak orang kaya, bak seorang putri cantik mau bergabung dengan anak-anak miskin yang penampilannya bersahaja di kelas yang bobrok, yang dindingnya nyaris ambruk bertumpu pada potongan kayu besar. Â
Belakangan dalam berapa adegan mulai diungkap alasannya, Flo tertarik pada hal klenik. Â Yang kemudian membuat cocok dengan Mahar. Â Dua sekawan ini bahkan mengompori teman-temannya menemui Tuk Bayan, seorang paranormal agar dapat nilai bagus.
Pada adegan lain yang memperkuat Flo menjadi "ekstrem karena diselamatkan Mahar ketika ia hilang di Sungai Tula. Mahar adalah salah satu dari orang kampung yang mencari anak gedongan yang hilang.
Flo memberikan pengaruh buruk pada Laskar Pelangi? Bisa ditafsirkan demikian. Namun Flo memberikan warna bagi Laskar Pelangi.  Dia tidak peduli dengan pandangan anak-anak SDN PN Timah ketika dia hadir sebagai lawan mereka, ketika  bertanding cerdas cermat
Selain kisah keseharian di sekolah, Laskar Pelangi juga menyelipkan cinta monyet antara Ikal dengan seorang anak perempuan Tionghoa bernama A Ling (Levina).Â
Puncak cerita ialah pada lomba cerdas cermat di mana SD Muhammadyah Gantong mampu mengalahkan SD PN Timah dengan peralatan yang lebih canggih. Pahlawannya adalah Lintang yang nyaris terlambat karena perjalanan terhalang buaya.
Cerita ditutup dengan tragis, ketika Lintang harus meninggalkan sekolahnya, karena ayahnya tewas dalam kecelakaan melaut. Dia harus mencari nafkah menghidupi adik-adiknya.
Departemen kasting dari Miles termasuk Sutrdaranya berani mengambil semua pemeran anak-anaknya asli dari Pulau Belitung. Â Hasilnya mereka bermain natural.
Pemeran anak-anak  anggota Laskar Pelangi menyampaikan dialog mereka dengan kepolosan alami yang menyentuh hati.Â
Dialog  antar anak-anak itu membuat penonton dapat memahami  semangat pantang menyerah dan kesetiaan tak tergoyahkan anak-anak ini.
Nuansa kepolosan ini juga tergambar ketika Ikal patah hati dihibur oleh Mahar berdendang ala film India, lagunya : Seroja. Â Koreografinya sederhana, tetapi anak-anak sekali.
Lima Catatan Menginspirasi
Catatan lain untuk Laskar Pelangi menjadi ikonik. Â Pertama, Pulau Belitung kemudian disebutkan sebagai Bumi Laskar Pelangi. Â Bahkan replika sekolahnya dan spot anak-anak bermain di pantai jadi destinasi wisata.
Memang panorama yang diambil film ini memberikan kesan bagus memberikan animo berwisata. Â Ternyata bukan Bali atau Danau Toba saja yang indah, masih banyak tempat wisata yang bagus di tanah air.
Kedua, Bu Muslimah Hafsari yang asli  setelah film ini populer mencuat ke tingkat nasional sebagai pendidik bermental baja. Â
Tak pernah terbayangkan oleh Bu Muslimah mendapatkan penghargaan Satya Lencana Pendidikan dari Presiden SBY pada acara Hari Guru Nasional, 12 Desember 2008. Perempuan  lanjut usia ini pun menganggap penghargaan ini terlalu tinggi untuknya. Â
Sosok itu menurut saya patut dijadikan teladan bagi para guru. Â Andre Hirata mengungkapkan mutiara pendidikan yang tersembunyi dalam hiruk-pikuk sejarah.
Bu Muslimah dalam kesempatan itu menyebutkan bahwa apa yang dikisahkan Andre Hirata sebagian besar seperti itu. Kemudian kondisi sekolah itu membaik.
Ketiga, kisah Laskar Pelangi merupakan realitas dunia pendidikan masa itu. Sekolah yang apa adanya itu bukan saja Belitung, tetapi juga di daerah terpencil lainnya, Sumatera, Papua, NTT, Kalimantan dan entahlah pada masa sekarang. Â Mudah-mudahan lebih baik ketika anggaran pendidikan sudah mencapai 20 persen.
Keempat, belakangan terbukti Laskar Pelangi menjadi inspirasi nama  suatu kelompok, komunitas.  Nama itu menjadi nama baru yang sakti.
Kelima, Laskar Pelangi benar-benar film keluarga yang dengan peran anak-anak yang apa adanya dengan setting sosio kultural yang kuat dan memberikan pengaruh serta inspirasi hingga berapa tahun setelah filmnya diputar. Â Meskipun sekuel film ini tidak lagi sekuat yang pertama.
Irvan Sjafari
Tugas Kedua: Â Film dengan tokoh utama anak-anak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H