Mereka juga merupakan sumber utama penularan pada hewan, sehingga menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi industri peternakan.
Cattadori menyampaikan  studi tentang iklim dan infeksi biasanya mengamati penyakit yang dibawa oleh vektor seperti nyamuk dan kutu.
Studi  mengabaikan dampaknya pada  infeksi cacing. Mungkin hal ini  karena penyakit ini tidak terlalu mengancam seperti penyakit yang ditularkan melalui vektor. "Masyarakat cenderung meremehkan pentingnya infeksi cacing," kata Cattadori.
Lebih lanjut, dia  menjelaskan bahwa sebagian besar penelitian berfokus pada suhu, dan hanya sedikit yang mempertimbangkannya.
Cattadori mengungkapkan variabel terkait iklim lainnya, seperti kelembapan, sebagai pemicu infeksi.
Siklus hidup cacing yang ditularkan melalui tanah memiliki dua fase -- tahap hidup bebas sebagai telur dan larva di lingkungan dan tahap dewasa di dalam inang.
Para peneliti berusaha memahami bagaimana tahap hidup bebas dipengaruhi oleh iklim.
Mereka meninjau literatur ilmiah terkini untuk mengumpulkan data tentang pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap telur cacing dan tahap larva dari sembilan spesies cacing yang umumnya menginfeksi ternak dan satwa liar.
Spesies-spesies ini kemudian dibagi menjadi dua kelompok tergantung di mana mereka tinggal di inangnya: cacing yang hidup di perut dan cacing yang hidup di usus.
Berdasarkan informasi tersebut, mereka mengembangkan model matematika untuk menggambarkan bagaimana penetasan cacing, perkembangan dan kematian setiap kelompok cacing merespon suhu dan kelembaban.
Mereka kemudian menerapkan model ini untuk melihat proyeksi risiko infeksi di masa lalu dan masa depan dalam berbagai skenario perubahan iklim di Eropa Selatan, Tengah, dan Utara.