Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Peneliti Cambridge Khawatir Es Antartika Lebih Cepat Mencair, Pernah Terjadi Akhir Zaman Es

11 Februari 2024   07:14 Diperbarui: 11 Februari 2024   08:37 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekali lagi sebuah penelitian membuktikan ancaman kenaikan permukaan laut akibat mencairnya Kutub Utara dan Kutub Selatan merupakan keniscayaan. Pernah Terjadi di Masa Lalu.

Antartika, benua paling selatan di bumi, menyimpan 60 persen air tawar dunia dalam lapisan esnya. Jumlah ini setara dengan 30 juta kilometer kubik es.

Jika seluruh es di Antartika mencair, permukaan air laut global akan naik rata-rata 58 meter. Dampaknya apa  kalau itu terjadi?

Tentunya yang paling pertama tertimpa malapetaka pada masyarakat pesisir. Setelah itu secara dramatis mengubah lanskap planet kita.

Sejumlah penelitian menyebutkan pemanasan global menjadi pemicu mempercepat pencairan es di kutub. Iya, kalau begitu ada contohnya nggak di masa lalu apa akibatnya kalau terjadi pencairan dalam waktu cepat.

Tim peneliti dari Universitas Cambridge dan British Antarctic Survey telah menemukan bukti langsung pertama bahwa Lapisan Es Antartika Barat menyusut secara tiba-tiba dan dramatis pada akhir Zaman Es Terakhir, sekitar 8.000 tahun yang lalu.

Bukti yang terkandung dalam inti es menunjukkan bahwa di satu lokasi lapisan es menipis 450 meter atau setara dengan tingginya Empire State Building, hanya dalam waktu kurang dari 200 tahun.

Ini adalah bukti pertama di Antartika mengenai hilangnya es dalam waktu yang begitu cepat. Para ilmuwan khawatir bahwa peningkatan suhu saat ini dapat mengganggu kestabilan lapisan es Antartika Barat di masa depan.

Hal ini  berpotensi melewati titik kritis  berimbas pada keruntuhan yang tak terkendali. Penelitian yang dipublikasikan di Nature Geoscience ini menyoroti betapa cepatnya es Antartika bisa mencair jika suhu terus melonjak.

Profesor Eric Wolff, penulis senior studi baru dari Departemen Ilmu Bumi Cambridge mengatakan timnya  memiliki bukti langsung bahwa lapisan es ini pernah mengalami hilangnya es dengan cepat di masa lalu.

"Skenario ini bukanlah sesuatu yang hanya ada dalam prediksi model kami dan ini bisa terjadi lagi jika bagian dari lapisan es ini menjadi tidak stabil," ujar Wolff seperti dikutip dari situs Universitas Cambridge, 8 Februari 2024.   

Pernah Terjadi Zaman Es

Para peneliti lapisan Es Antartika Barat rentan karena sebagian besar berada di batuan dasar di bawah permukaan laut.

Pada puncak Zaman Es Terakhir 20.000 tahun lalu, es Antartika menutupi wilayah yang lebih luas dibandingkan saat ini.

Ketika planet kita mencair dan suhu perlahan-lahan meningkat, Lapisan Es Antartika Barat menyusut hingga mencapai tingkat seperti saat ini.

Dr Isobel Rowell, salah satu penulis studi dari Survei Antartika Inggris mengatakan, pihaknya  ingin mengetahui apa yang terjadi pada Lapisan Es Antartika Barat pada akhir Zaman Es Terakhir, ketika suhu di Bumi meningkat.

Pada waktu itu tingkat pencairan lebih lambat dibandingkan pemanasan antropogenik saat ini.

"Dengan menggunakan inti es, kita dapat kembali ke masa itu dan memperkirakan ketebalan dan luas lapisan es," ujar Rowell.

Inti es terdiri dari lapisan es yang terbentuk saat salju turun dan kemudian terkubur dan dipadatkan menjadi kristal es selama ribuan tahun.

Gelembung-gelembung udara kuno dan kontaminan yang bercampur dengan hujan salju setiap tahun terperangkap dalam lapisan es. Ini memberikan petunjuk mengenai perubahan iklim dan luasnya es.

Para peneliti mengebor inti es sepanjang 651 meter dari Skytrain Ice Rise pada tahun 2019. Gundukan es ini berada di tepi lapisan es, dekat titik di mana es yang membumi mengalir ke Lapisan Es Ronne yang terapung.

Setelah mengangkut inti es ke Cambridge pada suhu -20C, para peneliti menganalisisnya untuk merekonstruksi ketebalan es.

Pertama, mereka mengukur isotop air yang stabil, yang menunjukkan suhu saat salju turun. Suhu menurun di tempat yang lebih tinggi (bayangkan udara pegunungan yang dingin), sehingga mereka dapat menyamakan suhu yang lebih hangat dengan es di dataran rendah yang lebih tipis.

Mereka juga mengukur tekanan gelembung udara yang terperangkap di dalam es. Seperti halnya suhu, tekanan udara juga bervariasi secara sistematis menurut ketinggian. Es yang lebih tipis dan terletak di dataran rendah mengandung gelembung udara bertekanan lebih tinggi.

Pengukuran ini memberi tahu mereka bahwa es menipis dengan cepat 8.000 tahun yang lalu.

"Setelah es menipis, es menyusut dengan sangat cepat. Ini jelas merupakan titik kritis -- sebuah proses yang tidak dapat dihentikan," kata Wolff.

Tim peneliti menyatakan Mereka penipisan ini kemungkinan dipicu oleh masuknya air hangat ke bawah tepi Lapisan Es Antartika Barat, yang biasanya berada di batuan dasar.

Hal ini kemungkinan besar melepaskan sebagian es dari batuan dasar, sehingga memungkinkannya mengapung secara tiba-tiba dan membentuk apa yang sekarang disebut Lapisan Es Ronne.

Hal ini memungkinkan Skytrain Ice Rise di dekatnya, yang tidak lagi tertahan oleh es yang membumi, menipis dengan cepat.

Para peneliti juga menemukan bahwa kandungan natrium pada es (berasal dari garam dalam semprotan laut) meningkat sekitar 300 tahun setelah es menipis.

Hal ini memberi tahu mereka bahwa, setelah es menipis, lapisan es menyusut kembali sehingga laut berada ratusan kilometer lebih dekat ke lokasi mereka.

Meskipun Lapisan Es Antartika Barat menyusut dengan cepat 8.000 tahun yang lalu, lapisan es tersebut menjadi stabil ketika mencapai kira-kira luasnya saat ini.

"Sekarang penting untuk mengetahui apakah panas berlebih dapat mengganggu kestabilan es dan menyebabkannya menyusut lagi," pungkas Wolff.

Penelitian dari Norwegia Senada

Penelitian yang sebangun dinyatakan Irina Rogozhina, seorang profesor di Universitas Sains dan Teknologi Norwegia (NTNU) mengatakan hilangnya es di Antartika terjadi terutama karena mencairnya lapisan es dan mencairnya es yang disebabkan oleh lautan.

Proses ini mempercepat pergerakan aliran es di daratan, yang melepaskan lebih banyak es ke lautan dan pada akhirnya es tersebut hilang karena mencair dan melahirkan anakan.

Rogozhina mencatat bahwa fenomena ini kemungkinan besar bertanggung jawab atas hilangnya es yang lebih besar selama periode pemanasan bumi. Di Greenland, misalnya, kedua proses ini menyebabkan sekitar 65 persen dari seluruh hilangnya es.

Peneliti dari NTNU, termasuk kelompok Rogozhina, baru-baru ini meneliti es di Queen Maud Land di Antartika Timur.

Mereka menemukan bahwa lapisan es di wilayah ini telah mengalami variasi yang signifikan dari waktu ke waktu. Penelitian ini sangat penting dalam meningkatkan pemahaman kita tentang iklim bumi dan perubahannya.

Tim menganalisis lapisan es Antartika Timur dan pencairan yang terjadi beberapa ribu tahun lalu. Temuan mereka telah dipublikasikan di jurnal Nature Communications Earth & Environment pada Mei 2023.

Distribusi es di Antartika tidak seragam. Di bagian barat, sebagian besar lapisan es berada di bawah permukaan laut, mencapai kedalaman hingga 2.500 meter, sehingga sangat rentan terhadap pemanasan laut.

Sebaliknya, sebagian besar lapisan es di wilayah timur terletak di daratan di atas permukaan laut, sehingga kurang rentan terhadap pengaruh laut.

Para peneliti menemukan bahwa lapisan es Antartika Timur lebih tipis di masa lalu, terutama setelah berakhirnya zaman es terakhir, ketika lapisan es besar menutupi Amerika Utara, Eropa utara, dan Amerika Selatan bagian selatan.

Nah, ketika  lapisan es mencair yang menutupi wilayah itu naik, permukaan air laut naik lebih dari 100 meter.

Rogozhina menjelaskan dari bukti penelitian yang disiympulkan bahwa lapisan es Antartika Timur di Queen Maud Land juga mencair dengan cepat di sepanjang pinggirannya antara 9.000 hingga 5.000 tahun yang lalu, dalam periode yang kami sebut pertengahan Holosen. .

"Pada saat ini, banyak bagian dunia mengalami musim panas yang lebih hangat dibandingkan saat ini," ucapnya seperti dikutip dari Earth. 

Respons cepat lapisan es Antartika Timur terhadap kondisi yang lebih hangat selama zaman Holosen sangat mengkhawatirkan.

"Masih sulit dan mengkhawatirkan untuk percaya bahwa lapisan es Antartika Timur yang lamban dapat berubah begitu cepat," ungkap Rogozhina.

Kelompok penelitian yang dipimpin oleh Profesor Ola Fredin ini fokus menganalisis sampel batuan dari berbagai nunatak di Queen Maud Land untuk mencari bukti paparan radiasi kosmik. Nunataks adalah gunung yang menonjol menembus lapisan es.

Para peneliti kemudian menganalisis berbagai isotop atau varian unsur seperti klorin, aluminium, berilium, dan neon pada batuan nunatak.

Melalui studi isotop kosmogenik, mereka dapat menentukan seberapa tinggi es dari waktu ke waktu secara geologis di Queen Land Maud. Fredin mengibaratkan proses ini seperti "menggunakan tongkat celup untuk mengukur kadar oli mesin di mobil".

Dengan menentukan berapa lama batuan tersebut terkena radiasi kosmik, para peneliti juga dapat memperkirakan durasi sejak terakhir kali batuan tersebut ditutupi oleh lapisan pelindung es, yang melindunginya dari paparan radiasi kosmik.

Menurut Fredin, daratan di sepanjang pantai Queen Land Maud telah tertutup es antara 75 dan 97 persen selama satu juta tahun terakhir. Sebaliknya, puncak gunung yang berada jauh di pedalaman hanya 20 persen tertutup es.

Hal in, lanjutnya menunjukkan bahwa ketebalan lapisan es dan kecepatan pergerakannya bervariasi secara signifikan dalam periode yang lebih lama.

Sementara  barisan pegunungan yang lebih jauh ke daratan berfungsi sebagai pemisah penting antara pantai dinamis dan lapisan es yang lebih dekat ke Kutub Selatan, yang memiliki variasi ketebalan yang lebih sedikit.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun