Sebuah studi tahunan yang dipimpin oleh Institute of Atmospheric Physics (IAP) di Chinese Academy of Sciences di Beijing mengungkapkan lautan di dunia menyerap lebih banyak panas pada 2023 dibandingkan tahun-tahun lainnya. Â Studi ini melibatkan 34 ilmuwan dari 19 organisasi peneltian di lima negara.
Ahli kelautan di IAP dan penulis utama makalah ini Cheng Lijing mengatakan bahwa temuan ini mencerminkan meningkatnya jumlah gas rumah kaca yang dihasilkan manusia di atmosfer.
"Lautan menyimpan 90% kelebihan panas di sistem bumi. Selama tingkat gas rumah kaca di atmosfer masih relatif tinggi, lautan akan terus menyerap energi, sehingga menyebabkan peningkatan panas di lautan,"  ujar Cheng  seperti dikutip dari Nature 11 Januari 2024.Â
Lijing  mengungkapkan kandungan panas lautan sebagai "indikator yang sangat kuat" mengenai perubahan iklim global,  karena tidak terlalu terpengaruh oleh fluktuasi alami dalam sistem bumi dibandingkan suhu udara dan suhu permukaan laut.
Cheng dan rekan penulisnya mempelajari dua kumpulan data tentang kandungan panas lautan: satu dari IAP dan yang lainnya dari Pusat Informasi Lingkungan Nasional (NCEI) di Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat.
Data IAP menunjukkan bahwa panas yang tersimpan di kedalaman 2.000 meter lautan meningkat sebesar 15 zettajoule pada 2023 dibandingkan dengan panas yang tersimpan pada 2022.
Sebagai perbandingan, umat manusia menggunakan sekitar setengah zettajoule energi per tahun untuk menggerakkan seluruh perekonomian global. Secara total, lautan menyerap 287 zettajoule pada 2023.
Ini merupakan jumlah energi yang sangat besar.  Sebagai perbandingan, total konsumsi energi dunia pada  2022 adalah sekitar 0,6 zettajoule.
Sementara NCEI mencatat angka  kenaikan tahun 2023 adalah 9 zettajoule. Perbedaan antara kedua angka tersebut disebabkan oleh perbedaan metode penghitungan dan pengendalian kualitas data yang digunakan oleh organisasi.
"Namun "poin penting dalam makalah ini dan untuk pemahaman ilmiah adalah bahwa lautan mengalami pemanasan secara konsisten, dari tahun ke tahun hingga mencapai rekor tingkat kandungan panas lautan yang baru", kata Tim Boyer, ahli kelautan di NCEI dan salah satu rekan penulis makalah tersebut.
Berdampak Luas
Suhu permukaan laut pada  2023 "di luar batas normal", kata para peneliti. Penyebab utamanya adalah rekor emisi karbon selama satu tahun lagi, yang dibantu oleh El Nino.
Sepanjang tahun, suhu rata-rata adalah 0,1C lebih tinggi dari  2022, tetapi pada paruh kedua 2023 suhunya "mencengangkan" 0,3C lebih tinggi.
Sementara lmuwan permukaan laut di Pusat Oseanografi Nasional di Liverpool, Inggris Svetlana Jevrejeva mengatakan bahwa penelitian ini memberikan "bukti pengamatan yang kuat" bahwa lautan adalah yang terpanas yang pernah tercatat pada 2023.
Ia menganggapnya "sangat mengkhawatirkan" bahwa lautan- rekor pemanasan telah dipecahkan lima tahun berturut-turut.
Jevrejeva mengingatkan perubahan kecil di lautan dapat menimbulkan dampak yang luas. Sekitar 50% kenaikan permukaan air laut saat ini disebabkan oleh perluasan lautan ketika air menjadi hangat.
Pemanasan laut yang cepat dapat menyebabkan intensifikasi kejadian cuaca ekstrem, katanya, karena lautan memediasi pola cuaca global yang menentukan curah hujan, kekeringan, dan banjir.
William Cheung, ahli ekologi kelautan di Universitas British Columbia di Vancouver, Kanada, mengatakan bahwa pemanasan laut dapat menyebabkan pergeseran distribusi kehidupan laut, menyebabkan beberapa spesies berpindah ke wilayah kutub atau perairan yang lebih dalam.
"Laut yang lebih hangat juga dapat memicu perubahan waktu terjadinya peristiwa biologis, seperti migrasi dan siklus reproduksi, serta memengaruhi ukuran tubuh makhluk laut," kata Cheung.
Panas juga menyebabkan rekor tingkat stratifikasi di lautan, dimana air hangat yang menggenang di permukaan mengurangi pencampuran dengan perairan yang lebih dalam.
Hal ini mengurangi jumlah oksigen di lautan, sehingga mengancam kehidupan laut, dan juga mengurangi jumlah karbon dioksida dan panas yang dapat diserap laut di masa depan.
"Lautan adalah kunci untuk memberi tahu kita apa yang terjadi di dunia dan data tersebut memberikan gambaran menarik tentang pemanasan tahun demi tahun," kata Prof John Abraham, dari Universitas St Thomas di Minnesota, bagian dari tim yang meneliti hal tersebut. menghasilkan data baru.
Konservasi Energi
Abraham menyatakan kita sudah menghadapi konsekuensinya dan akan menjadi lebih buruk jika kita tidak mengambil Tindakan. Â Kita bisa mengatasi masalah ini sekarang dengan konservasi angin, matahari, air dan energi.
Ketika orang-orang menyadarinya, hal ini sangat memberdayakan. Kita dapat mewujudkan ekonomi energi baru di masa depan, sekaligus menghemat uang dan lingkungan. Suhu yang luar biasa pada  2023 menimbulkan pertanyaan apakah pemanasan global semakin cepat.
"Kami sedang mengamati hal ini, namun saat ini, kami tidak mendeteksi adanya percepatan yang signifikan secara statistik. Saat ini, pada dasarnya terjadi peningkatan linier dari sekitar 1995," ucapnya seperti dikutip dari The Guardian.Â
Abraham mengatakan bahwa pembakaran batu bara, minyak dan gas harus segera diakhiri. Â Jika kita tidak mengurangi arah perubahan iklim, maka kita akan mengalami lebih banyak cuaca ekstrem, lebih banyak gangguan iklim.
Imbasnya  lebih banyak pengungsi akibat perubahan iklim hingga hilangnya produktivitas pertanian. Kita akan menanggung kerugian materi dan nyawa akibat masalah yang sebenarnya bisa kita hindari.
"Yang menyedihkan mereka yang paling tidak bertanggung jawab akan menjadi pihak yang paling menderita, dan ini merupakan ketidakadilan yang luar biasa," imbuh dia.
Laporan terpisah, yang diterbitkan oleh konsorsium Global Water Monitor (GWM), menemukan bahwa beberapa bencana terburuk pada 2023 disebabkan oleh topan yang sangat kuat yang membawa curah hujan ekstrem ke Mozambik dan Malawi, Myanmar, Yunani, Libya, Selandia Baru, dan Australia.
Prof Albert Van Dijk dari GWM mengatakan pihaknya melihat siklon berperilaku tidak terduga dan mematikan. Topan dengan umur terlama yang pernah tercatat melanda Afrika tenggara selama berminggu-minggu.
"Suhu laut yang lebih hangat memicu perilaku aneh tersebut, dan kita mungkin akan melihat lebih banyak peristiwa ekstrem seperti ini di masa mendatang," ucap Van Dijk.
Irvan Sjafari
Sumber Gambar  Axios
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya