Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Dokumentasi 2, Menelusuri Kuliner Ayam Goreng dan Sejarahnya

17 Desember 2023   23:33 Diperbarui: 21 Desember 2023   12:45 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saung Teh Ita di Ciumbuleuit-Foto; Irvan Sjafari

Kalau  ada yang menanyakan saya  masakan dari daerah mana yang kamu suka? Maka saya menjawab Sunda di urutan pertama, Jawa pada urutan kedua, baru kemudian masakan Padang.

Lebih rinci lagi jenis masakan mana yang paling menjadi favorit dari daerah-daerah tersebut, maka saya menjawab ayam goreng.

Ayam Goreng Sunda ditemani nasi merah dan lalapan menjadi buruan saya ketika berkunjung ke Bandung, dari warung kaki lima hingga rumah makan branded seperti Ampera.

Sementara kalau ditanya ayam goreng Jawa yang jadi jajanan favorit, maka saya menunjuk  Ayam Goreng Berkah di kawasan Blok M.  Baca  Ayam Berkah   

Rumah makan ini dirintis dari sebuah warung gerobakan oleh Rahmad awal 1960-an, ayah dan ibu saya sewaktu saya kecil menjadikannya jajanan favorit dan menular pada saya.

Kalau rumah makan Padang, maka saya memilih antara ayam goreng pop atau dendeng balado.

Ayam goreng adalah salah satu kuliner nusantara paling populer.

Lebih mudah menemukan kuliner ayam goreng sebagai menu rumah makan, dibandingkan ayam direbus atau digulai. Kecuali dalam bentuk pepes atau sop. 

Rumah makan Jawa yang menyediakan ayam goreng sebagai menu utamanya sudah mempunyai brand yang bisa bersaing di negeri sendiri dengan ayam goreng waralaba dari Amerika Serikat.

Sebut saja Ayam Goreng Suharti (1972), kemunculannya  menandakan terjadinya pergeseran ayam goreng tradisional dengan inovasi.

Terobosannya, yaitu menggunakan bumbu rempah dan dikemas per ekor atau setengah ekor bukan lagi satuan.

Rasa dagingnya menurut mereka yang mereview, empuk dan sambalnya tidak terlalu pedas dan ada rasa manisnya.

Hal itu juga dilakukan Ayam Goreng Mbok Berek dengan hak merek yang didaftarkan 1972, sekalipun sudah hadir jauh sebelum itu, sekitar 1950-an, salah satu dari merek ayam dari daerah Kalasan.

Ciri khasnya adalah ayam goreng yang empuk dan dibalur dengan tepun dan bukan seperti ayam goreng tepung waralaba Amerika.

Baik Ayam Goreng Suharti dan Ayam Goreng Mbok Berek  juga saya pernah saya kunjungi.

Menurut seorang chef khusus masakan Minang, Dian Anugrah di Sumatera Barat punya varian ayam goreng yang beragam.

Mulai dari digoreng dengan bumbu lengkuas serundeng, ayam goreng balado, ayam cabe hijau, ayam pop. Bumbu dasarnya kunyit, bawang putih, seperti saya pernah tulis  di Koridor. 

Ketua Program Studi Pariwisata, Manajemen Industri Katering di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Dewi Turgarini mengungkapkan bahwa ayam goreng setiap daerah punya karakter sendiri.

Daerah Priangan Jawa Barat, misalnya menyajikan ayam goreng dari Jawa Barat dari  ayam bumbu kuning ungkep menggunakan air kelapa juga unsur taburan laja (lengkuas) yang diparut.

Berbeda dengan Padang ada unsur cabai dan santan. Kalau Jawa, unsurnya tidak banyak.

Baik Dian Anugrah maupun Dewi Turgarini mengatakan sejarah keberadaan ayam goreng bisa ditelusuri, termasuk penggunaan minyak kelapa untuk memasak di perdesaan.

Berdasarkan literatur minyak goreng di kuali sudah digunakan orang Tionghoa sejak abad ke 3 Masehi. Orang Tionghoa mengenalkan teknik menggoreng dan kuali.

Dewi Turgarini mengungkapkan kemungkinan Orang Sunda mengenal memasak dengan menggoreng pada abad ke 19.

Sudah ada tradisi situs Jambansari, sekitar 1872-an di Kabupaten Ciamis (terkait Bupati Ciamis ke-16. RAA Kusumadiningrat) kuliner ayam sudah ada.

Pada waktu itu bupati mewajibkan pengantin pria menyerahkan dua tunas tanaman kelapa, bahan untuk minyak goreng.

Risa Herdahita Putri dalam artikelnya bertajuk "Awal orang Nusantara Mengenal Gorengan" yang dimuat di Historia  22 Juli 2020  menyebutkan keberadaan kuliner ayam goreng   dalam Serat Centhini karya pujangga Keraton.

Sewaktu   ada Surakarta dipimpin Sunan Pakubuwono V pada 1814 ada kendurian, dengan masakan yang dibakar dengan ditusuk, dikukus, direbus hingga digoreng.

Jaka Fadli Rahman dalam bukunya Jejak Rasa Nusantara 2023 mengungkapkan setelah sekolah Keoetamaan Istri berkembang, Balai Pustaka menerbitkan buku masak karya Nyai Djamah bertajuk  Boekoe Batjaan Roepa2 Kaolahan Asoeun Maroekalih Istri(buku bacaan rupa-rupa olahan untuk dibaca istri).

Di dalam buku itu  disebutkan  ada bagaimana membuat masakan goreng berbahan daging seperti sapi, ayam hingga ikan Halaman 170).

Kalau Sakola Kautamaan Istri berdiri pada 1904, maka akan memperkuat informasi dari Dewi Turgarini bahwa kuliner ayam goreng setidaknya sudah ada pada abad ke 19.

Saya pernah mengunjungi warung makan Sunda yang sudah berusia nyaris seabad, yaitu Warung Makan Sunda Ma Eha di dalam Pasar Cihapit.

Sebuah pasar tradisional tak jauh dari Jalan Martadinata berdiri sekitar 1920.

Ketika saya  bersnatap di warung itu berapa tahun lalu, usia perempuan yang bernama lengkap Juleha itu  sudah menginjak 88 tahun, namun masih aktif menjaga warung makannya.

Bahkan ketika saya masuk untuk makan siang beberapa waktu lalu, dia sendiri melayaninya. Yang istimewa dari warung itu ialah foto-foto berkaitan dengan Bung Karno yang ada di dinding warung itu.

"Bu Inggit, Bu Hartini, Guntut dan Guruh Sukarno menjadi pelanggan kami. Saya meneruskan usaha ibu saya bernama Enok yang mendirikan warung ini pada 1947. Saya mulai sekitar 1960-an," tutur Bu Eha, nama pemilik warung itu yang diberi nama yang sama. 

Baca: Warung Bu Eha

Menurut Bu Eha ketika ia masih  remaja tempat berdirinya warung itu dulu adalah tempat binatu.

Warungnya sendiri lebih di dalam dan pasarnya sendiri becek.

Pada waktu perjanjian Renvile, Bu Eha ikut Hijrah ke Yogyakarta dan berpartisipasi menjadi petugas dapur umum yang membuatnya terdaftar sebagai veteran.

"Mertua saya, Aisyah, adalah teman dekatnya Ibu Inggit. Ketika masa Belanda, Ibu Inggit suka makan di sini. Tetapi Bung Karno sendiri tidak pernah. Hanya ketika Bung Karno datang ke Bandung, Ibu Inggit dan mertua saya selalu pesan makanan di warung saya untuk beliau," ujar Eha.

Pantas di dinding warungnya dipajang foto Keluarga Bung Karno, foto Bung Karno sendiri, hingga Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie.

RM Ampera adalah kuliner Sunda lainnya yang menjadi favorit saya kalau punya uang lebih,

Sejarahnya, rumah makan ini dirintis oleh H. Tatang Sujani dan istrinya, St. E. Rochaety pada 1963.

Sebelum membuka usaha ini, Tatang mulanya membantu sebuah usaha warung makan di Bandung.

Setelah belajar mengenai manajemen rumah makan, Tatang berinisiatif mendirikan warung sendiri, yang kemudian dikenal sebagai Ampera.

"Membantu rakyat yang kesulitan menjadi visi owner saat mendirikan bisnis kuliner ini," kisah Takwin Saptaji, perwakilan dari pemilik RM Ampera. Latar belakang nama Ampera juga berasal dari visi tersebut.  Sumber: CNN

Ampera adalah kependekan dari Amanat Penderitaan Rakyat. H. Tatang dan istri ingin meringankan penderitaan rakyat dengan membuka warung makan dengan harga terjangkau

Cara penyajian masakan Ampera seperti halnya masakan Sunda digelar prasmanan,  hingga pelanggan tinggal memilih hidangan yang disuka.  Kalau saya di Bandung umumnya saya makan di cabang Cihampelas atau Kebon Kelapa.

Ampera mempunyai banyak cabang yang tersebar di beberapa kota, di antaranya pernah di kawasan Cinere.

Sayang cabang  di kawasan Cinere, Depok ini tutup, padahal jadi langganan saya.

Untuk di Cinere ada Warung Nasi Ceu Emi yang bisa jadi obat kerinduan saya kalau mau ayam goreng Sunda.

Rasanya nggak jauh beda dari rata-rata ayam goreng Sunda  dan agak mahal, namun karena tempatnya di tepi danau jadi enak buat nongkrong di kala suntuk. 

Saung Teh Ita di Ciumbuleuit-Foto; Irvan Sjafari
Saung Teh Ita di Ciumbuleuit-Foto; Irvan Sjafari

Rumah makan Sunda lainnya yang punya kesan ialah  Saung Teh Ita di Puncak Ciumbuleuit, Bandung  lazim disebut punclut. Saya mengunjungi saung ini pada 26 April 2023.

Awalnya tempat ini berupa hutan dan hanya ada satu tempat yang menjadi pusat Bumi Sangkuriang, Ciumbuleuit hingga awal 1970-an.

Pada waktu ini Lilis Suwarsih membuka warung nasi kuliner Sunda yang kelak diteruskan anaknya Ita yang saat ini kondang disebut Saung Teh Ita. Warung yang punya tiga lokasi di tempat yang sama itu buka 24 jam dan selalu ramai.

Warung itu menawarkan puluhan menu, mulai dari beberapa jenis ikan, udang hingga ayam.

Nasinya adalah nasi merah yang dinilai mampu mengontrol kadar gula dan menjaga tulang.

Bagaimana rasanya? Gurih. Ayam gorengnya sebetulnya rata-rata kuliner Sunda. Sambelnya pedas hingga dicocol sedikit saja sudah terasa. Penyajian dilengkapi potongan jeruk nipis. 

Baca: Koridor 

Bagaimana dengan ayam goreng pop?  Sebetulnya saya merindukan ayam goreng pop Simpang  Raya di Cipanas.

Sewaktu saya masih kecil diajak orangtua lewat jalur Puncak (sebelum Cipularang) atau naik suburban dengan kakak ibu kalau ke Bandung mampir di sana.

Rasanya gurih dan membuat saya menjadikannya hidangan favorit.   Hingga saat ini tidak ada yang mengalahkan rasanya, menurut saya.

Entah berapa varian ayam goreng Jawa dan Sunda.  Belum lagi pecel ayam kaki lima yang biasanya disajikan dengan nasi uduk.

Namun kesan saya nggak jauh beda antara warung kaki lima pecel ayam  yang tersebar di seluruh  Jakarta bahkan di kota lain.

Saya tidak pernah menemukan warung pecel ayam (pecel lele) sewaktu masih kecil dan baru mencicipi pada 2000-an di kawasan Salemba.

Itu pun yang mengenalkan adik saya yang kerap memesan masakan itu ketika kos sewaktu menajdi mahasiwa Kedokteran di sana.

Belakangan juga ada ayam goreng kremes yang juga banyak varian.  Hal ini menandakan bahwa inovasi kuliner ayam goreng tidak bakal berhenti, khususnya di Jawa.

Irvan Sjafari

Judul Tulisan direvisi 18 Desember 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun