Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Walhi Jabar: Penerapan Inserator TPPSA Legok Nangka Akan Timbulkan Masalah Baru

21 November 2023   21:40 Diperbarui: 21 November 2023   21:51 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencabut izin penerapan inserator Tempat Pemrosesan  Pengolahan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka, karena kebijakan itu cenderung menimbulkan masalah baru.

Direktur Eksekutif Walhi Jabar Wahyudin menuturkan keberadaan inserator malah berdampak terhadap pencemaran kualitas udara.

"Kami lebih menekankan untuk menginplementasikan pengolahan sampah dengan cara pengembangan bank sampah, biodigester serta sanitari landfill dan pelibatan masyarakat secara baik di TPPAS Legok Nangka," ujar pria yang karib disapa Kang Iwank ini dalam keterangan tertulisnya, 21 November 2023.

Iwank merujuk pada dokumen Rencana strategis Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Barat, halaman 297 sampai halaman 691.

Intisarinya TPPAS) Legok Nangka masuk dalam proyek strategis yang dibiayai dengan skema kerja sama pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) senilai Rp3,45 triliun.

Tujuan proyek strategis ini dimaksudkan mengembangan kawasan pengolahan persampahan tuntas dan berwawasan lingkungan, di antaranya melalui pembangunan bank sampah, biodigester, penerapan insinerator, pengembangan kelembagaan pengelola sampah dalam skala kelurahan atau desa.

Selain itu disebutkan peningkatan peran pemerintah, masyarakat, dan swasta dengan memperhatikan 5 aspek penting pengelolaan sampah yaitu regulasi, institusi, anggaran, teknologi, operasional, dan partisipasi masyarakat.

"Setahu yang kami ketahui bahwa dokument perizinan TPPAS keluar pada  2009, yang mana hingga saat ini di lokasi TPPAS kondisinya masih terbengkalai dan belum dapat beroperasi dengan sesuatu hal yang tidak kami ketahui," ungkap Iwank.

Ada Perubahan Rona Lingkungan Hidup

Dengan demikian  segala bentuk dokumen perizinan perlu di tinjau ulang, karena rona ruang  lingkungan hidup pasti mengalami perubahan pada tahun sekarang seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk masyarakat yang berdekatan dengan lokasi TPPAS.

Jika merespon dari judul dengan istilah pengembangan dan terdapat bahasa berwawasan lingkungan, maka Pemprov Jabar merencanakan lokasi baru tersebut untuk mengembangkan pengolahan sampah yang tidak dapat diatasi saat ini oleh TPA Sarimukti.

"Namun makna bentuk wujud seperti apa TPPAS dengan konsep berwawasan lingkungan patut ditanya, jika rencananya ada kegiatan yang menerapkan teknologi insinerator? Karena sudah pasti caranya akan dengan konsep bakar-bakaran sampah," katanya sengit.

 Iwank melanjutkan, pihaknya belum mengetahui secara detail rencana kegiatannya, misal dalam pembuatan regulasi, bagaimana mekanisme pembuatan kebijakannya, apakah kebijakannya mampu  mengatur pembangunan bank sampah, biodigester serta penerapan insinerator?

Pasalnya, dalam RPJMD tidak disampaikan secara detial, maka kami perlu mengetahui apakah pembangunan bank sampah yang dimaksud itu akan dijalankan oleh perusahaan, pemerintah desa atau masyarakat?

Kualitas Udara Jabar Buruk 

Walhi Jabar menilai  rencana yang sudah tertuang dalam dokumen RPJMD sudah baik hanya saja penerapan inserator patut dikritisi.  

"Menurut kami skema tersebut tidak harus masuk dalam rencana pengembangan pengolahan sampah di TPPAS karena seperti yang kita ketahui, buruknya kualitas udara di Jawa Barat salah satunya disebabkan dari kegiatan pembakaran," tuturnya.

Alokasi anggaran yang begitu besar berasal dari mana, apakah pendanaan TPPAS bersumber dari APD Prov Jabar atau terdapat dana pinjaman dari lembaga keuangan, bank, swasta atau pinjaman uang kepada negara lain?

Sementara pada masa purna tugas Gubernur Prov Jabar, Ridwan Kamil telah menyetujui bentuk kerja sama dengan konsorsium yang bernama Sumitomo Hitachi Zosen yang mana konsorsium tersebut berasal dari Japan International Corporation Agency (JICA). 

Waste to Energy

Kerja sama tersebut di tujukan untuk pengembangan energi dari limbah atau disebut dengan Waste To Energy, konsep yang di mana hasil pemrosesan sampah akan dijakan energi.

Konsep inilah yang akan terapkan pada pembangungan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS) di Legok Nangka.

Masalahnya, rencana ini masuk pada rencana pembangunan Projek Strategis Nasional (PSN). Seperti yang kita ketahui bersama sebuah rencana yang dituangkan pada skema PSN sudah pasti akan dipaksakan agar dapat terbangun, dan hak pastisipasi masyrakat dikesampingkan.

Direktur Eksekutif Walhi Jabar Wahyudin-Foto: Dokumentasi Pribadi
Direktur Eksekutif Walhi Jabar Wahyudin-Foto: Dokumentasi Pribadi

Lebih jauh dari itu rencana pembangunan PLTS tersebut saat ini mendapat dukungan juga dari JETP Sekretariat, dalam dokumennya ditemukan proyeksi kegiatan yang merencanakan pembangunan elekrifikasi dari energi sampah kurang lebih sebesar 130 MW.

Salah satunya pembangunan PLTS di Legok Nangka. Maka dari bacaan serta temuan tersebut kami secara organisasi ingin menyampaikan jika keseriusan pemerintahan dalam mengatasi sampah masih dengan cara bakar-bakar yang artinya melegalisasikan terhadap pencemaran udara.

"Selain itu memandang skema pendanaannya pun dalam bentuk pinjaman yang bersifat hutang dan akan menjadi beban negara serta rakyatnya," pungkasnya.

Bahaya Kesehatan

Pada September lalu dalam sebuah forum, mantan Direktur Eksekutif Walhi  Jawa Barat Meiki W Paendong menyampaikan proses pembakaran sampah dengan suhu 200-450 derajat Celcius akan membentuk dioxin dan furan, terutama bila ada plastik di dalamnya. Keduanya terbentuk setelah asap keluar dari mesin.

Memang, bila suhu pembakaran melewati 850 derajat Celcius dioxin dapat terurai. Sayangnya, bila operator memaksakan pembakaran pada suhu ini incinerator akan cepat rusak.

"Selain itu masih menyisakan satu masalah lingkungan, yaitu dioxin larut bersama N2 dan 02 yang berujung pada hujan asam, yang menimbulkan risiko kerusakan kesuburan tanah," jelas Meiki seperti dikutip dari Koridor. 

Terang dia, dioxin menjalar melalui udara, lalu mengendap pada air atau tanah. Dalam air, zat ini terikat pada zat padat, plankton, dan lainnya.

Sementara dalam tanah, dioxin mengendap pada tanaman atau tanah, terakumulasi pada hewan dalam lemak, dan terakumulasi lebih besar lagi pada rantai makanannya.

Selain itu masih ada dampak kesehatan dari dioxin dan furan. Kedua zat ini memicu penyakit kulit, hati, pernapasan, xeno-estrogen berujung kepunahan spesies, genotoksik berujung kanker, cacat bawaan, dan mutan, autisme pada janin.

Dioxin dan furan merusak sistem imun sebagaimana AIDS yang mengakibatkan penderita mendapatkan kefatalan bila terserang penyakit lain.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun