Konsep inilah yang akan terapkan pada pembangungan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS) di Legok Nangka.
Masalahnya, rencana ini masuk pada rencana pembangunan Projek Strategis Nasional (PSN). Seperti yang kita ketahui bersama sebuah rencana yang dituangkan pada skema PSN sudah pasti akan dipaksakan agar dapat terbangun, dan hak pastisipasi masyrakat dikesampingkan.
Lebih jauh dari itu rencana pembangunan PLTS tersebut saat ini mendapat dukungan juga dari JETP Sekretariat, dalam dokumennya ditemukan proyeksi kegiatan yang merencanakan pembangunan elekrifikasi dari energi sampah kurang lebih sebesar 130 MW.
Salah satunya pembangunan PLTS di Legok Nangka. Maka dari bacaan serta temuan tersebut kami secara organisasi ingin menyampaikan jika keseriusan pemerintahan dalam mengatasi sampah masih dengan cara bakar-bakar yang artinya melegalisasikan terhadap pencemaran udara.
"Selain itu memandang skema pendanaannya pun dalam bentuk pinjaman yang bersifat hutang dan akan menjadi beban negara serta rakyatnya," pungkasnya.
Bahaya Kesehatan
Pada September lalu dalam sebuah forum, mantan Direktur Eksekutif Walhi  Jawa Barat Meiki W Paendong menyampaikan proses pembakaran sampah dengan suhu 200-450 derajat Celcius akan membentuk dioxin dan furan, terutama bila ada plastik di dalamnya. Keduanya terbentuk setelah asap keluar dari mesin.
Memang, bila suhu pembakaran melewati 850 derajat Celcius dioxin dapat terurai. Sayangnya, bila operator memaksakan pembakaran pada suhu ini incinerator akan cepat rusak.
"Selain itu masih menyisakan satu masalah lingkungan, yaitu dioxin larut bersama N2 dan 02 yang berujung pada hujan asam, yang menimbulkan risiko kerusakan kesuburan tanah," jelas Meiki seperti dikutip dari Koridor.Â
Terang dia, dioxin menjalar melalui udara, lalu mengendap pada air atau tanah. Dalam air, zat ini terikat pada zat padat, plankton, dan lainnya.