Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Masyarakat Eropa Beradaptasi di Bandung Awal 1950-an? Menurut Novel Anne de Vries

19 November 2023   21:14 Diperbarui: 20 November 2023   06:30 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gardientje dan Arsih Berbelanja di pasar Bandung 1950-an. Ilustrasi novel karta Anne de Vries

"Saya telah tinggal di negeri yang penuh sinar matahari dan pohon palem ini selama bertahun-tahun. Saya tidak merasakan panas sama sekali menjadi beban!" demikian kata  Gerdientje, seorang anak Belanda yang tinggal di kota Bandung awal 1950-an dalam suratnya kepada kawannya Jaap di negeri Belanda. 

Gerdientje  adalah seorang pelajar sekolah dasar (mungkin juga SMP) di kota Bandung , tokoh utama dalam novel karya Anne de Vries berjudul Jaap en Gerdientje. Deel 9. In Het Warme Land  (Jaap dan Gardientje. Bagian 9: Di Tanah Basah) terbitan Gravenhage, 1953.

Walaupun novel ini  untuk anak-anak ini, namun cukup  menggambarkan kehidupan masyarakat Eropa, khususnya orang Belanda yang masih banyak tinggal di kota Bandung tahun-tahun pertama pasca Perang Kemerdekaan.  

Sekalipun begitu Gerdientje dan kakaknya  baru pertama kali menginjak kaki di Indonesia mengikuti ayahnya. Settingnya kemungkinan Desember 1951, karena ada cerita tentang hujan lebat.

Tidak disebutkan secara rinci sekolah tempat gadis itu  menuntut ilmu. Namun diceritakan orang Belanda menyekolahkan anaknya di sana. Sekalipun begitu sudah banyak anak Indonesia yang belajar di sana.

Gerdienjte tinggal bersama kakaknya Wim, ayahnya yang bekerja untuk sebuah rumah sakit Kristen, ibunya dan pelayan keluarga itu bernama Sapuri.

Gadis kecil itu mempunyai tiga orang teman baik di sekolah: Arsih, seorang berdarah Sunda, A Seng, seorang berdarah Tionghoa dan Willy Verschuren, anak Belanda.

Ayah Willy mempunyai perkebunan kopi di dekat Majalengka. Tidak ada satu pun sekolah Belanda di sana, itulah sebabnya dia sekarang tinggal di Bandung bersama paman dan bibinya Van der.

Di sini jelas masa itu orang-orang Eropa masih memiliki sebagian besar perkebunan.

Pada Bagian lima, Gardientje diceritakan mengunjungi Hanneke temannya, putri dan Laurens pemilik kebun di Bunga Wangi, di lereng selatan gunung Gede di Sukabumi.

Sahabatnya yang lain Arsih, keluarganya tinggal di Soreang, dua puluh kilometer di selatan Bandung. Menurut Arsih dalam novel itu di Pasundan Selatan, masa itu  pasti banyak binatang buruannya: harimau, badak, kerbau dan babi hutan di mana ayahnya terkadang pergi berburu.

Sementara ayah A Seng diceritakan adalah pemilik penggilingan padi yang besar di Jawa Barat.

Tidak seperti masa penjajahan, sikap masyarakat Belanda di Bandung sudah menerima kemerdekaan Indonesia adalah keniscayaan.  Persahabatan Gardienje, Arsih dan A Seng begitu cair tanpa sekat ras.

Adaptasi Kuliner 

Itu tergambarkan ketika mereka membahas pekerjaan rumah yang diberikan guru mereka, di antaranya Black. Pada waku itu masih banyak guru berkebangsaan Belanda.  Hilangnya sekat ras yang sudah lenyap itu menjadi  kesan saya pertama ketika membaca novel ini.

Gerdientje dan keluarganya biasa menyantap nasi dengan lauk pauk, seperti ayam panggang, sayur telur asin,hingga telur  mata sapi (telur goreng), kerupuk udang.

Dia juga makan nasi dengan ikan asin goreng, pisang raja goreng, kacang asin, lengkap dengan sambal.  Padahal dia biasanya mengkonsumsi kentang dengan kuah sewaktu tinggal di Belanda.

Meskipun untuk sarapan ibunya menyuguhkan roti sandwich dan untuk bekalnya dibungkus dalam kantong kertas. Jadi pada dekade 1950 belum ada orang yang menggunakan kantong plastik untuk membungkus makanan.

Dalam novelnya Anne menceritakan, toko roti di Bandung banyak menjual roti yang sama enaknya seperti di Belanda. Dalam suratnya pada Jaap, Gerdientje menuturkan  dia bisa membeli keju, kue, selai dan sosis di sini.

Faktanya bila menelusuri iklan di Pikiran Rakjat  terdapat iklan toko roti, kue dan bonbon (permen) seperti Banket Bakkerij Maison Boin di Naripan 9 A (Pikiran Rakjat, 1 Juli 1950).  Ada toko Sumber Hidangan di Braga yang masih bertahan sampai sekarang.

Hunian orang Eropa awal 1950-an

Novel itu menggambarkan rumah-rumah di Bandung masih utuh didekorasi secara berbeda dibandingkan di Belanda. Saya menduga rumah-rumah di kawsan Cipaganti, Cihampelas, Dago atau Bandung utara lainnya.  Tidak jauh beda dengan rumah orang Eropa masa colonial.  

Kamar-kamarnya jauh lebih besar dan semua lantainya terbuat dari batu. Pada 1950-an kertas dinding (wallpaper) belum dikenal.  Tidak ada karpet, tetapi tikar.

Dinding kamar dicat dengan warna terang, sama seperti milik Anda tembok di sekolah. Pintu dan jendela terbuka lebar pada siang hari.

Gerdientje dan keluarganya tidur di ranjang yang dlindungi kelambu. Pasalnya masa itu malaria masih menjadi ancaman kesehatan.

Rumah Pemilik Perkebunan di Sukabumi, ilustrasi novel Anne de Vries
Rumah Pemilik Perkebunan di Sukabumi, ilustrasi novel Anne de Vries

Bandung Masih Jadi Hunian yang Nyaman

Hal menarik dalam novel ini ketika Gerdientje menyaksikan , beberapa wanita sedang mandi di kali yang sama bersama beberapa anak perempuan berusia sekitar enam tahun  dan berapa anak -laki.

Menurut pengarang hal itu biasa di Indonesia bukan tanda kemiskinan, tetapi karena iklim yang panas.  Bagi saya sendiri itu berarti sungai dan kali di Bandung masa itu masih bersih.  Udaranya masih sejuk dan pagi hari mandi terasa dingin.

Para pedagang Tionghoa keliling berkeliaran memukul palu ke kayu sambil berteriak kelontong. Asal muasal kata kelontong. Tetapi itu juga mengungkapkan Bandung enak untuk jalan kaki dengan nyaman. Itu juga saya rasakan ketika masih anak-anak dan remaja jalan kaki pada 1970-an hingga 1990-an awal.

Lalu lintas di kota Bandung belum ramai.  Tokoh utama novel itu bersekolah dengan sepeda. Pada masa itu orang lazim bersepeda.

Faktanya Pikiran Rakjat edisi 12 Januari 1954 menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotordi Kota Bandung dari 12 ribu unit pada 1952 menjadi 18 ribu unit pada 1953.

Sementara pemilik sepeda motor meningkat pada 1952 dari 2.309 menjadi 3.761. Jumlah sepeda (kumbang) pun meningkat dari 2.684 buah menjadi 4.414 buah pada 1953. Jumlah relatif lebih sedikit.

Novel itu juga bercerita petulangan Gardientje tersesat bersama Hanneke dan temannya di hutan sekitar Sukabumi hingga wisata ke Tangkuban Perahu.  Sekalipun ada tanda tanya bagi saya bukankah waktu itu di Jawa Barat sedang ramai pemberontakan Darul Islam dan perampokan yang mengancam onderneiming, mengapa tidak ada tentara dalam novel ini? Mungkin karena novel anak-anak.

Novel setebal 127 halaman berakhir dengan pindahnya keluarga Gardientje ke Manado. Sang Ayah rupanya pindah tugas di sana. Namun gambaran yang diberikan tentang situasi memberikan referensi yang menarik bagaimana kehidupan masyarakat kota Bandung dari sudut orang Eropa pd 1950-an

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun