Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Masyarakat Eropa Beradaptasi di Bandung Awal 1950-an? Menurut Novel Anne de Vries

19 November 2023   21:14 Diperbarui: 20 November 2023   06:30 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gardientje dan Arsih Berbelanja di pasar Bandung 1950-an. Ilustrasi novel karta Anne de Vries

Kamar-kamarnya jauh lebih besar dan semua lantainya terbuat dari batu. Pada 1950-an kertas dinding (wallpaper) belum dikenal.  Tidak ada karpet, tetapi tikar.

Dinding kamar dicat dengan warna terang, sama seperti milik Anda tembok di sekolah. Pintu dan jendela terbuka lebar pada siang hari.

Gerdientje dan keluarganya tidur di ranjang yang dlindungi kelambu. Pasalnya masa itu malaria masih menjadi ancaman kesehatan.

Rumah Pemilik Perkebunan di Sukabumi, ilustrasi novel Anne de Vries
Rumah Pemilik Perkebunan di Sukabumi, ilustrasi novel Anne de Vries

Bandung Masih Jadi Hunian yang Nyaman

Hal menarik dalam novel ini ketika Gerdientje menyaksikan , beberapa wanita sedang mandi di kali yang sama bersama beberapa anak perempuan berusia sekitar enam tahun  dan berapa anak -laki.

Menurut pengarang hal itu biasa di Indonesia bukan tanda kemiskinan, tetapi karena iklim yang panas.  Bagi saya sendiri itu berarti sungai dan kali di Bandung masa itu masih bersih.  Udaranya masih sejuk dan pagi hari mandi terasa dingin.

Para pedagang Tionghoa keliling berkeliaran memukul palu ke kayu sambil berteriak kelontong. Asal muasal kata kelontong. Tetapi itu juga mengungkapkan Bandung enak untuk jalan kaki dengan nyaman. Itu juga saya rasakan ketika masih anak-anak dan remaja jalan kaki pada 1970-an hingga 1990-an awal.

Lalu lintas di kota Bandung belum ramai.  Tokoh utama novel itu bersekolah dengan sepeda. Pada masa itu orang lazim bersepeda.

Faktanya Pikiran Rakjat edisi 12 Januari 1954 menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotordi Kota Bandung dari 12 ribu unit pada 1952 menjadi 18 ribu unit pada 1953.

Sementara pemilik sepeda motor meningkat pada 1952 dari 2.309 menjadi 3.761. Jumlah sepeda (kumbang) pun meningkat dari 2.684 buah menjadi 4.414 buah pada 1953. Jumlah relatif lebih sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun