Kamar-kamarnya jauh lebih besar dan semua lantainya terbuat dari batu. Pada 1950-an kertas dinding (wallpaper) belum dikenal. Â Tidak ada karpet, tetapi tikar.
Dinding kamar dicat dengan warna terang, sama seperti milik Anda tembok di sekolah. Pintu dan jendela terbuka lebar pada siang hari.
Gerdientje dan keluarganya tidur di ranjang yang dlindungi kelambu. Pasalnya masa itu malaria masih menjadi ancaman kesehatan.
Bandung Masih Jadi Hunian yang Nyaman
Hal menarik dalam novel ini ketika Gerdientje menyaksikan , beberapa wanita sedang mandi di kali yang sama bersama beberapa anak perempuan berusia sekitar enam tahun  dan berapa anak -laki.
Menurut pengarang hal itu biasa di Indonesia bukan tanda kemiskinan, tetapi karena iklim yang panas. Â Bagi saya sendiri itu berarti sungai dan kali di Bandung masa itu masih bersih. Â Udaranya masih sejuk dan pagi hari mandi terasa dingin.
Para pedagang Tionghoa keliling berkeliaran memukul palu ke kayu sambil berteriak kelontong. Asal muasal kata kelontong. Tetapi itu juga mengungkapkan Bandung enak untuk jalan kaki dengan nyaman. Itu juga saya rasakan ketika masih anak-anak dan remaja jalan kaki pada 1970-an hingga 1990-an awal.
Lalu lintas di kota Bandung belum ramai. Â Tokoh utama novel itu bersekolah dengan sepeda. Pada masa itu orang lazim bersepeda.
Faktanya Pikiran Rakjat edisi 12 Januari 1954 menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotordi Kota Bandung dari 12 ribu unit pada 1952 menjadi 18 ribu unit pada 1953.
Sementara pemilik sepeda motor meningkat pada 1952 dari 2.309 menjadi 3.761. Jumlah sepeda (kumbang) pun meningkat dari 2.684 buah menjadi 4.414 buah pada 1953. Jumlah relatif lebih sedikit.