"Mau bagaimana lagi? Saat ini Si Pemberi Bunga adalah  wartawan media daring. Menurut catatan malam ini dia menonton film Jakarta Festival Film Internasional (Jiffest) di kawasan Cikini," ujar aku.
"Kamu mau sapa dia?" tanya Chiara.
"Jangan itu berpotensi mengubah sejarah. Lagipula kita mendarat di Danau UI dan harus menyembunyikan pesawat kita dengan teknologi kamuflase," sergah Umima.
Kami berempat berpakaian ala mahasiswa tahun 2000. Â Umima menyembunyikan Guru Minda dalam danau dengan teknologi kamuflase hingga tak terlihat. Lalu kami berempat bersepeda, karena Maurizia bisa tampak seperti sepeda biasa. Padahal sepeda itu bisa berjalan di air dan melayang.
Kami menyewa dua kamar kost dengan mudah di daerah Margonda, yang satu untuk Umima dan Chiara, yang satu untuk aku dan Kilat.
Esok paginya aku sudah mengenakan clean jins dan kemaja kotak-kotak, Ummima mengenakan hijab. Chiara memakai rok panjang dengan blazer. Sementara Kilat mengenakan jins dan kaos. Â Kami berempat bersepeda menuju FIB UI. Aku membawa satu buket bunga segar sebelum jam kuliah pukul 7.30. Â Aku membekali diri dengan foto Si Cantiek waktu mahasiswa.
Benar dia ada di dekat Gedung Satu bersama temannya-temannya. Chiara, Umima dan Kilat mengawasi. Â Aku dengan tenang mendekatinya dan memberikan buket berisi sebelas kuntum mawar putih dan enam kuntum mawar merah.
"Selamat Ulang Tahun Cantiek!" ucap Aku. "Bukan dari aku loh, tetapi dari IS, penggemarmu!"
Yang disebut Si Cantiek terperanjat. "Iya, memang hari ini ulang tahun aku. Kapan aku punya anak?  Siapa itu IS? Mungkin penggemar rahasia  naksir aku."
Ternyata anaknya ramah sekali. "Entah mengapa dia menamakan aku si Cantik. Namaku sebenarnya ini, dia berbisik padaku. Iya aku dari Malang, Jawa Timur."
"Kalau kamu siapa? Temannya si Pemberi Bunga? Kok nggak dia sendiri?" ujar seorang kawannya yang berhijab bernama Nuraisyah.