Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bandung 1966, Screening di Kampus dan Peristiwa 19 Agustus (2)

17 Oktober 2023   20:35 Diperbarui: 18 Oktober 2023   12:58 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasyrul Moechtar, Mereka dari Bandung: Pergerakan Mahasiswa Bandung 1960-1967, Alumni 1998

Sejarah Tahun 1966 bukan saja hanya demonstrasi tritura tetapi juga gerakan bersih-bersih (screening)  dalam kampus, termasuk di Bandung sebagai kota dengan populasi lebih dari  30 ribu mahasiswa.  Kota ini juga mencatat peristiwa 19 Agustus yang berdarah. 

Setelah Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Sukarno ke Soeharto  bagi mahasiswa bukan akhir dari perjuangan mahasiswa.  Mereka terus bergerak  Di internal kampus bahkan terjadi gerakan pembersihan senat mahasiswa maupun mahasiswa yang dinlai berafiliasi ke kiri (baca terkait CGMI atau GMNI ASU).

Pada semester kedua 1966, berapa pihak beharap agar situasi kampus menjadi lebih tenang dan perkuliahan bisa berjalan normal. Awalnya tampaknya demikian. 

Sabtu pagi, 30 Juli 1966 ITB merayakan hari sarjana dengan meluluskan 200 sarjana baru dari berbagai bagian secara sederhana. Mereka yang lulus adalah angkatan pertama setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Antara 30 Juli 1966 menyebutkan salah seorang di antara mereka telah diangkat menjadi sarjana teladan atas jasa-jasanya selama mengikuti perjuangan mahasiswa yang berkobar sejak Februari 1966.

Rektor ITB Kolonel Ir. Kuntoadji dalam sambutannya mengharapkan agar Hari Sarjana ini merupakan pertanda dimulainya kembali kegiatan-kegiatan kurikuler ITB seperti biasa. Sejak berkobarnya aksi-aksi mahasiswa pada Februari hingga Juli 1966, kegiatan kurikuler di ITB terhenti untuk beberapa waktu lamanya. Walaupun dimulai kembali sejak Mei lalu, kegiatan kurikuler belum selancar biasanya.

ITB adalah salah satu kampus yang bergerak cepat melakukan "bersih-bersih" di kampus dan paling cepat pula untuk mencoba menormalisasikan kehidupan kampus. Rektor ITB Kuntoadji berlatar belakang militer yang sejak awal anti PKI memudahkannya untuk memikat mahasiswa yang menentang G 30 S.

Pada masa revolusi fisik, Kuntoadji bergabung dengan Tentara Pelajar di Gombong pada 1947 dan ikut menumpas Pemberontakan PKI di Madiun 1948. Kuntoadji diangkat jadi rektor pada Februari 1965 ketika kampus itu terbelah dua antara kelompok yang "progresif-revolusioner" (kubu GMNI, CGMI, Perhimi, dan Germindo) vs "progresif-in harmonia" (kubu Keluarga Mahasiswa ITB secara umum yang dipimpin DM ITB).

Dewan Mahasiswa ITB adalah satu-satunya perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang dewan mahasiswanya gagal dikuasai aliansi GMNI-ASU, CGMI, PERHIMI dan Germindo pendukung utama rezim Nasakom yang dipimpin Presiden Sukarno.

Beberapa hari setelah peristiwa 30 September 1965 ITB membekukan Siaran pemancar 8 EH Radio ITB dan harian Berita Berita ITB dihentikan kegiatannya sampai 22 Oktober 1965. Keesokan harinya pada 23 Oktober 1965 setelah pembersihan pengelolanya dari anggota ormas pendukung PKI kedua media ini memulai lagi kegiatannya (Mochtar, 1988, halaman 83).

Kuntoadji membekukan organisasi mantel PKI di Lingkungan ITB Pemuda Rakyat, HIS, CGMI, Gerwani, Perhimi, Lekra, IPPI Roby Sumolang. Semua oknum yang menjadi anggota organisasi tersebut yang berstatus mahasiswa, dosen, karyawan non dosen mulai 29 Oktober 1965 dipecat sementara waktu dari ITB.

Mahasiswa yang mendapat status dipecat tidak boleh mengikuti kegiatan kurikuler kuliah, pratikum, pinjam buku bahkan tidak boleh datang ke kampus ITB. Sementara yang dipecat sementara menjalani screening dan bilamana tidak terlibat G30 S akan diizinkan kembali ikut kuliah, pratikum dan ujian-ujian. Mereka wajib lapor.

DM ITB pun melakukan reshuffle dengan memberhentikan Basuki Winoto (Ketua I), Benny Subijanto (Ketua II), Djoko Sujono (Sekretaris I), Tatat Rachma (Bendahara I) dan Soedjatmiko (Ketua Seksi Pendidikan). Tatat Rachma adalah anggota CGMI. Sementara Basuki Winoto, Basuki Winoto, Djoko Sujono tercatat sebagai anggota dan aktivis GMNI Asu Komisariat ITB.

Gerakan Bersih-Bersih di Bandung

Gerakan bersih-bersih menular ke Universitas Padjadjaran. Mahasiswa yang anti PKI bergerak membersihkan senat mahasiswa fakultas masing-masing dari unsur G30 S PKI. Iwan Syarief, seorang mahasiwa Fakultas Ekonomi memimpin gerakan ini, dengan dukungan Robert Sutrisno (Fakultas Hukum), Aminullah Adiwijaya (Fakultas Sastra), Ridad Agoes (Fakultas Kedokteran), Achmad Saelan (Fakultas Publistik), Boy Musbar Nurmawan (Fakultas Ekonomi), Nugraha Besoes (Komandan Batalyon II Mulawarman) berhasil menjatuhkan Dewan Mahasiswa Unpad dan menjadikan Sugeng Sarjadi dari Fakultas Publistik sebagai Ketua Dema Unpad yang baru.

Kampus Unpar tak luput dari gerakan bersih-bersih. Ketua Dema Unpar Syahrul dari GMNI ASU dicopot digantikan aktivis PMKRI Cabang Bandung A.P Soegiarto. Sementara di IKIP Bandung Dewan Mahasiswa beralih ke tangan pihak KAMI, yaitu Asmawi Zainul dan Ketua KAMI IKIP dipimpin Sunarya.

Walaupun Sukarno masih menjabat Presiden, tetapi tidak lagi bisa mencegah gerakan pembersihan baik di pusat maupun tingkat lokal. Ketegangan di Bandung terasa sejak Juni 1966, Kompas edisi 4 Juli 1966 melaporkan kota itu penuh dengan coret-coretan. Isinya agar komunisme dilarang di seluruh Indonesia. Coret-coretan ini juga meminta agar Nasakom dibuang sama sekali.

Massa juga menempelkan plakat-plakat pada mobil yang lewat antara lain berbunyi "MPRS, Ayo tegas larang komunisme dan buang Nasakom". "Hasil Nasakom, Rakyat Gontok-gontokan, Lubang Buaya, Rakyat Melarat dan Harga-harga Naik." "Kabinet Ampera Harus Dipimpin Oleh Pancasilais Bukan Nasakomis."

Pada 27 Juli 1966 Panitia Penilaian Buku Departemen Pendidikan Dasar dalam rapat bersama dengan wakil-wakil Departemen Pendidikan Dasar, Departemen Kebudayaan, Departemen Perguruan Tinggi, Departemen Agama dan Kedjaksaan telah memutuskan untuk menarik dari peredaran serta melarang buku "Sedjarah Perdjuangan Pemuda Indonesia" yang disusun oleh Biro Pemuda Departemen PDK yang dicetak dan diterbitkan oleh PN Balai Pustakan pada1963.

Keputusan itu berdasarkan pertimbangan bahwa penyusun buku tersebut telah memutar balikan fakta sejarah yang sebenarnya, sehingga menguntungkan dan menonjolkan tokoh-tokoh PKI saja. Jasa-jasa tokoh Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir dalam bidang diplomasi sekali-sekali tidak dikemukakan serta tidak merata dalam menyoroti perjuangan pemuda umumnya (Antara 2 Agustus 1966).

Antara 7 Agustus 1966 menuturkan sejumlah 1.820 personil dalam wilayah Provinsi Jawa Barat telah terkena penertiban. Sebanyak 229 personil di antara mereka dipecat dengan tidak hormat karena nyata-nyata terlibat dalam petualangan kontra revolusi Gestapu/PKI yang terkutuk itu.

Jumlah tersebut belum terhitung para pejabat politis misalnya nggota BPH, anggota DPR_GR atau Wakil Ketua DPR-Gr yang juga terkena penertiban. Di samping itu tercata pula 212 pegawai perusahaan yang terkena penertiban di antaranya 31 orang dipecat tidak hormat.

Penertiban dan penindakan para pegawai, pejabat dan pegawai perusahan daerah adalah dalam rangka usaha pembersihan/penertiban personil dalam wilayah Provinsi Jawa Barat dari oknum kontra revolusi, eks PKI serta Ormas yang seazas atau pun yang bernaung/berlindung di dalamnya.

Di kalangan mahasiswa ada juga yang anti PKI, tetapi ingin pergantian Presiden Sukarno dilakukan secara terhormat. Salah seorang aktivis mahasiswa ITB Siswono Yudo Husodo dan kawan-kawannya mendirikan Barisan Soekarno di Bandung pada 1966.

Siswono dari GMNI Ali Surachman melihat aksi-aksi mahasiswa KAMI berkembang semakin kasar kasar dan brutal. Bagi Siswono dan kawan-kawan Sukarno berjasa mencapai Indonesia merdeka. Dalam perjuangannya lebih menjalani hidupnya dari penjara ke penjara. Meskipun pada 1965-1966 Bung Karno lengah hingga terjadi Peristiwa G 30 S PKI.

Sebagai catatan Siswono termasuk tokoh yang ditahan karena keterlibatannya pada Peristiwa 10 Mei 1963. Dalam kesaksiannya dalam sidang pengadilan dikutip Pikiran Rakjat 9 Januari 1964 Siswono mengatakan golongan Tionghoa dinilai kalangan mahasiswa sombong dan tidak acuh terhadap perjuangan bangsa Indonesia hingga menimbulkan rasa panas. Meskipun demikian Siswono membantah terpengaruh Gerakan Anti Tionghoa (Granat) 

Gerakan bersih di kampus-kampus di Bandung tidak sebanyak yang terjadi UGM. Menurut data yang diperoleh dari Dr. Abdul Wahid, dosen Sejarah UGM, seperti yang dikutip dari Balairung Press https://www.balairungpress.com/2018/03/genosida-intelektual-ugm-dalam-bayang-tragedi-65/ jumlah dosen dan mahasiswa yang dinonaktifkan oleh UGM jauh lebih banyak dibandingkan kampus lain. Menurut data tersebut, di UGM jumlah warga kampus yang terkena "jaring tangkapan" pemerintah mencapai 3.121 orang dan menempatkannya di urutan pertama.

Dalam data tersebut "jaring tangkapan" UGM terlihat jauh lebih banyak dibandingkan dengan Universitas Padjadjaran yang menempati posisi kedua, dengan total 252 orang dan IKIP Bandung di urutan ketiga dengan jumlah 80 orang.

Sementara Universitas Indonesia memecat 13 mahasiswa menurut Kompas 4 Agustus 1966. Sekira 264 mahasiswa terkena larangan mengikuti kuliah hingga awal 1967 dan 760 mahasiswa terkena wajib lapor dan indoktrinasi.

Pada tulisan lain Abdul Wahid memberikan data soal screening di PTN Bandung. Universitas Padjadjaran mengumumkan telah memberhentikan per 1 November 1965, 227 mahasiswa dari berbagai fakultas dan 25 dosen, asisten dosen, dan pengurus karena keterlibatannya dalam organisasi komunis.

Sementara Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung merilis hasil screeningnya. Total ada 80 orang yang divonis bersalah karena terlibat dalam organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Kelompok ini terdiri dari 17 orang dosen dan asisten yang sebagian besar tergabung dalam HSI, tiga orang pengurus, dan selebihnya adalah mahasiswa (anggota CGMI dan PERHIMI).

Institut Teknologi Bandung (ITB), universitas negeri lainnya, melaporkan bahwa mereka telah melakukan screening proses mahasiswa dan stafnya pada akhir tahun 1965, namun tidak mengumumkan hasilnya kepada public (Wahid, 2018).

Kalau angka dari Wahid akurat maka angka mahasiswa yang terkena screening relatif dibanding jumlah mahasiswa Unpad berdasarkan 11.503 orang (berdasarkan data 1965), sekitar 2-3%. Sayang tidak dapat data yang kena screening dari universitas lain, karena jumlah total mahasiswa di Bandung 30 ribuan. Namun saya prediksi juga sekitar 2-3% sehingga tidak terjadi genosida intelektual secara masif di Bandung. Berbeda dengan di Yogyakarta.

Dok Pribadi
Dok Pribadi

Masih jadi tanda tanya bagaimana caranya tim penyaringan mendapatkan informasi akurat siapa-siapa yang terlibat atau afilisasi politik mahasiswa. Bagaimana Universitas merekrut, apakah punya database? Lalu tim penyerangan direkrut dari dosen atau mahasiswa juga.

 

Peristiwa 19 Agustus 1966

Konflik antara dua kelompok mahasiswa yang berseberangan mencapai puncaknya pada 19 Agustus 1966.

Pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1966 Presiden Sukarno menyampaikan pidato bertajuk "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" (Jas Merah). Banyak pihak menantikan pidato ini, termasuk kalangan aktivis mahasiswa untuk mengetahui bagaimana sikap Sukarno terhadap rentetan peristiwa yang terjadi pasca peristiwa 30 September 1965.

Sekalipun sejumlah tokoh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) Bandung sudah meraba isi pidato itu mencerminkan sikap kukuh Sukarno yang tidak membaca perubahan yang telah terjadi.

Sidang Umum IV MPRS (20 Juni hingga 5 Juli 1966) menolak pidato pertanggungjawaban Sukarno. Pada pelantikan Kabinet Ampera Sukarno bersikukuh agar konfrontasi terhadap Malaysia tetap berlanjut. Sementara sejumlah politisi Indonesia berunding dengan Malaysia untuk menghentikan konfrontasi.

Selain itu Sukarno menyebutkan Surat Perintah 11 Maret 1966 adalah surat perintah biasa bukan pemindahan kekuasaan. Salah satu petikan pidato Sukarno berbunyi:

SP 11 Maret adalah satu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan, pengamanan jalannya any pemerintahan, demikian kataku pada waktu melantik Kabinet. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah pengamanan beberapa hal. Jenderal Soeharto telah mengerjakan perintah itu dengan baik. Dan saya mengucap terima kasih kepada Jenderal Soeharto akan hal ini. Perintah pengamanan, bukan penyerahan pemerintahan! Bukan transfer of authority!

Namun SP 11 Maret 1966 sudah diperkuat oleh Tap MPRS yang tidak bisa dicabut oleh Sukarno. Namun bagian yang paling kontroversial ialah ketika Soekarno melontarkan tuduhan terhadap arus penentangan terhadap dirinya dan Nasakom sebagai sikap revolusioner yang palsu. Semua mengerti bahwa yang dimaksudkan terutama adalah kesatuan-kesatuan aksi. Seruan itu bermakna komando bagi para pengikutnya yang masih setia untuk membela dirinya menghadapi penentangan "kaum revolusioner palsu".

Senin sore 15 Agustus 1966, mahasiswa menggelar pawai allegoris keliling kota Bandung, Dalam pawai itu sebuah patung besar menyerupai Sukarno di atas sebuah bak terbuka memikat puluhan ribu massa rakyat yang menonton di sepanjang jalan.

Patung itu disematkan berbagai bintang dan tanda jasa di dadanya komplit dengan tulisan "Tjing kuring hayang nyaho, naon Hati Nurani Rakyat". Hayo saya ingin tahu apa itu Hati Nurani Rakyat.

Di sekeliling patung itu duduk bersimpuh sejumlah perempuan cantik, berkebaya dan berpakaian kimono Jepang, yang diperankan sejumlah mahasiswi. Kendaraan pengikutnya berjalan lambat-lambat ditarik sejumlah manusia kurus kering, berbaju gembel, berjalan tertatih-tatih tanda kelaparan (Rum Aly, 280).

Pada 18 Agustus  dalam apel mahasiswa dan pelajar di Markas KAMI Jalan Lembong, salah seorang tokoh KAMI Sugeng Sarjadi  melakukan orasi yang menuding Sukarno  sebagai otak lubang buaya dan menyobek gambar Sukarno dan membuangnya ke tanah. Akibat orasi itu massa menyerbu sejumlah kantor dan rumah menurunkan gambar Sukarno (Rum Aly, halaman 283).  

Rupanya kejadian ini dianggap penghinaan oleh Barisan Sukarno.  Hal itu mungkin menjadi pemicu apa yang disebut sebagai Peristiwa 19 Agustus 1966.

Namun ungkap salah seorang pelaku sejarah Hasrul Moechtar mengatakan sejak 16 Agustus 1966 suatu kelompok yang menamakan dirinya ASU (Aku Anak Sukarno) berpakaian hitam-hitam berkeliling Bandung melakukan unjuk kekuatan. Pada 17 Agustus pagi, mereka menyerang markas KAPPI di Kebonjati.

Sore harinya suatu kelompok tak dikenal menyerang barisan KAMI/KAPPI di depan Hotel Preanger, sehingga menyebabkan satu anggota KAMI terluka.

 

Antara 19 Agustus 1966 suatu gerombolan berkuatan sekira 300 orang bersenjata api dan tajam mengepung markas KAMI/KAPPI di Jalan Lembong sekitar jam 8 pagi. Kesatuan ABRI berhasil menghalau gerakan pertama sehingga tidak menimbulkan korban jiwa.

Gerakan itu terus berlanjut, gerombolan tadi menyerang Kampus Universitas Parahyangan sekitar pukul 10.00. Bentrokan fisik tidak terhindarkan. Mulanya para mahasiswa berhasil menghalau gerombolan pengacau sampai ke perempatan Jalan Merdeka/Jalan Aceh.

Dari sini  para penyerang mendapatkan bantuan. Di antara mereka ada yang menggunakan senjata api. Mereka menembak ke arah kampus dari jarak 100 meter. Sejumlah anggoa Resimen Mahasiswa dipimpin Jopie Pantonuwu serta anggota KAMI berusaha mempertahankan kampusnya.

Tiba-tiba ada tembakan dari arah gerombolan mengenai  seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi Unpar bernama Julius Usman. Tembakan itu menyebabkan gugurnya anggota KAMI anggota Konsulat KAMI Bandung tersebut. Sementara berapa mahasiswa lainnya luka berat.

Sore harinya suatu gerombolan lagi melalui Balubur dan Kebun Binatan mencoba menyerang Kampus ITB. Untungnya saat itu sedang terjadi pergantian kompi yang akan bertugas jaga. Menwa segera mengadakan stelling di pintu gerbang dan sepanjang tembok kampus sehingga bisa menghalau massa (Moechtar, halaman 111).

Sore itu, Panglima Kodam Siliwangi H.R Dharsono menyampaikan pernyataannya bahwa kalangan mahasiswa kerap kurang sabar dan mau terus langsung pada tujuan utamanya. Sebelumnya, Pangdam mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh KAMI, serta pimpinan Orpol dan Ormas di Bandung.

Dharsono melarang mengumumkan untuk sementara pihaknya memperkenankan pawai-pawai dan demonstrasi, serta rapat-rapat umum terbuka di seluruh Jawa Barat. Langkah ini dimabil oleh Panglima untuk menciptakan kembali situasi tenang dan tertib, serta untuk memungkinkan diadakannya pengusutan terhadap pelaku insiden 19 Agustus di Bandung, Panglima menyatakan bahwa ia akan membuka tangan untuk segala bantuan dalam menciptakan ketenangan dan ketertiban tersebut.

Jenazah Julius Usman, mahasiswa Universitas Parahyangan yang tewas dalan insiden penyerangan pasukan bersenjata api dan golok yang menamakan dirinya pengikut Bung Karno hari Jumat di Bandung, atas keputusan Pangdam VI/Siliwangi Mayjen HR Dharsono dimakamkan di Makam Pahlawan Cikutra, 20 Agustus 1966.

 

Antara 22 Agustus 1966 mengungkapkan gudang-gudang tempat penyimpanan barang-barang di Konsulat KAMI Jalan Lembong sudah dalam keadaan terbongkar. Sebanyak 250 buah jaket biru lenyap setelah terjadi penyerangan gerombolan liar tersebut. Akibatnya KAMI Bandung meminta seluruh anggotanya untuk tidak memakai jaket biru dalam kegiatannya.

Pada 27 Agustus 1966 Pngdam VI Siliwangi Mayjen HR Dharsono menyatakan pihaknya telah melakukan pengamanan terhadap beberapa orang perwiranya sehubungan dengan peristiwa 19 Agustus karena mereka bukan membela Presiden Sukarno melainkan karena telah membela usaha Gerakan politik PKI yang telah menggunakan isu membela Presiden Sukarno (Antara 27 Agustus 1966).

Pada 30 Agustus 1966 Pangdam Siliwangi Maydjen H.R Dharsono di depan ribuan peserta Muktamar dan pekan olahraga /Seni Peladjar Islam Indonesia di Bandung menyebutkan peristiwa teror 19 Agustus terkait teror liar dalam rangka geriliya politik PKI yang telah direncanakan sejak lama.

"Mereka ingin disebut pembela Bung Karno yang melakukan reaksi atas aksi pemuda/pemudi tanggal 18 Agustus. Padahal kita semua tahu bahwa itu hanyalah pengambinghitaman. Peristiwa 18 Agustus itu hanyalah motif yang mereka pilih dalam melaksanakan teror mereka, sebagaimana telah lama mereka rencanakan." (Dharsono dalam Antara 30 Agustus 1966.

Peristiwa 19 Agustus menjadi gerakan terakhir dari kelompok kiri di Bandung. Peristiwa makin memperburuk citra mahasiswa yang berafiliasi dengan CGMI maupun GMNI PNI-ASU yang sudah terdesak dan terancam oleh kebijakan screening.

Di sisi lain ketika rekan-rekannya semahasiswa dan intelektual tak berdaya di kota lain, peristiwa 19 Agustus menunjukkan PKI memang mempunyai kekuatan di kalangan terdidik Kota Bandung. Sementara Jawa Barat praktis bukan basis PKI. Namun pada Pemilu 1955 untuk Kota Bandung meraih 64.384 suara disusul PKI 62.191, disusul Masyumi 40.561 suara dan NU 16.243 suara.

Lebih lanjut kasus 19 Agustus 1966 memberikan imbas lain di Kota Bandung. Lauw Seng Pek, seorang Radja benang Tenun di Jawa Barat diamankan karena diduga keras terlibat dalam pengumpulan biaya untuk kelompok pengacau. Meskipun dalam pemeriksaannya Lauw Seng Pek membantah keras bahwa ia bersimpati kepada kaum komunis bahkan dia mengaku anti komunis (Antara 3 September 1966).

Ketua Dewan Pimpinan Harian Daerah KAPPI Konsulat Djawa Barat Mursalin Dahlan dalam penyataan kepada Gubernur Jawa Barat selaku Ketua DPRD GR Jawa Barat agar segera mengeluarkan pernyataan resmi menolak pidato Jas Merah Bung Karno dan mengutuk Peristiwa berdarah 19 Agustus (Antara 4 September 1966).

Kekuatan kiri di Bandung praktis runtuh di bidang pendidikan akhir 1966. Kompas edisi 13 Desember 1966 melaporkan penyitaan dokumen yang dilakukan Linud Kujang yang mengungkapkan pendirian sekolah-sekolah oleh CGMI yang masih berjalan dan mendapat subsidi dari Departemen P dan K.

Nama-nama yang tercantum dalam dokumen tersebut antara lain Yayasan Perguruan Pendidikan Nasional di Jalan Riau 46 (sekarang Jalan Martadinata), SMP Sabang di Jalan Sabang, SMP dan SMA 45 di Majalaya. Lembaga-lembaga pendidikan itu dinilai sebagai proyek CGMI.

Brigade Linud Kujang menyampaikan temuan ini kepada Kodim dan Pepelrada dan meneruskannya kepada Inspeksi P dan K (Bersambung untuk Sejarah Mahasiswa).

Irvan Sjafari

Referensi

Abdul Wahid, "Campus On Fire: Indonesian Universities During The Political Turmoil of 1950s-1960s" dalam Archipel 95, 2018

Hasyrul Moechtar, Mereka dari Bandung: Pergerakan Mahasiswa Bandung 1960-1967, Alumni 1998

Rum Aly, "Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966: Mitos dan Dilema Mahasiswa Indonesia dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, Kata Hasta Pustaka, Juli 2006

Historia 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun