Tiba-tiba ada tembakan dari arah gerombolan mengenai  seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi Unpar bernama Julius Usman. Tembakan itu menyebabkan gugurnya anggota KAMI anggota Konsulat KAMI Bandung tersebut. Sementara berapa mahasiswa lainnya luka berat.
Sore harinya suatu gerombolan lagi melalui Balubur dan Kebun Binatan mencoba menyerang Kampus ITB. Untungnya saat itu sedang terjadi pergantian kompi yang akan bertugas jaga. Menwa segera mengadakan stelling di pintu gerbang dan sepanjang tembok kampus sehingga bisa menghalau massa (Moechtar, halaman 111).
Sore itu, Panglima Kodam Siliwangi H.R Dharsono menyampaikan pernyataannya bahwa kalangan mahasiswa kerap kurang sabar dan mau terus langsung pada tujuan utamanya. Sebelumnya, Pangdam mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh KAMI, serta pimpinan Orpol dan Ormas di Bandung.
Dharsono melarang mengumumkan untuk sementara pihaknya memperkenankan pawai-pawai dan demonstrasi, serta rapat-rapat umum terbuka di seluruh Jawa Barat. Langkah ini dimabil oleh Panglima untuk menciptakan kembali situasi tenang dan tertib, serta untuk memungkinkan diadakannya pengusutan terhadap pelaku insiden 19 Agustus di Bandung, Panglima menyatakan bahwa ia akan membuka tangan untuk segala bantuan dalam menciptakan ketenangan dan ketertiban tersebut.
Jenazah Julius Usman, mahasiswa Universitas Parahyangan yang tewas dalan insiden penyerangan pasukan bersenjata api dan golok yang menamakan dirinya pengikut Bung Karno hari Jumat di Bandung, atas keputusan Pangdam VI/Siliwangi Mayjen HR Dharsono dimakamkan di Makam Pahlawan Cikutra, 20 Agustus 1966.
Â
Antara 22 Agustus 1966 mengungkapkan gudang-gudang tempat penyimpanan barang-barang di Konsulat KAMI Jalan Lembong sudah dalam keadaan terbongkar. Sebanyak 250 buah jaket biru lenyap setelah terjadi penyerangan gerombolan liar tersebut. Akibatnya KAMI Bandung meminta seluruh anggotanya untuk tidak memakai jaket biru dalam kegiatannya.
Pada 27 Agustus 1966 Pngdam VI Siliwangi Mayjen HR Dharsono menyatakan pihaknya telah melakukan pengamanan terhadap beberapa orang perwiranya sehubungan dengan peristiwa 19 Agustus karena mereka bukan membela Presiden Sukarno melainkan karena telah membela usaha Gerakan politik PKI yang telah menggunakan isu membela Presiden Sukarno (Antara 27 Agustus 1966).
Pada 30 Agustus 1966 Pangdam Siliwangi Maydjen H.R Dharsono di depan ribuan peserta Muktamar dan pekan olahraga /Seni Peladjar Islam Indonesia di Bandung menyebutkan peristiwa teror 19 Agustus terkait teror liar dalam rangka geriliya politik PKI yang telah direncanakan sejak lama.
"Mereka ingin disebut pembela Bung Karno yang melakukan reaksi atas aksi pemuda/pemudi tanggal 18 Agustus. Padahal kita semua tahu bahwa itu hanyalah pengambinghitaman. Peristiwa 18 Agustus itu hanyalah motif yang mereka pilih dalam melaksanakan teror mereka, sebagaimana telah lama mereka rencanakan." (Dharsono dalam Antara 30 Agustus 1966.
Peristiwa 19 Agustus menjadi gerakan terakhir dari kelompok kiri di Bandung. Peristiwa makin memperburuk citra mahasiswa yang berafiliasi dengan CGMI maupun GMNI PNI-ASU yang sudah terdesak dan terancam oleh kebijakan screening.