Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukankah Batu Berkembang karena Apel, Jeruk dan Wisata?

7 Oktober 2023   12:30 Diperbarui: 7 Oktober 2023   12:39 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan ke Batu masa kolonial https://www.batukita.com/2020/09/masuknya-pertanian-kolonial-di-daerah-batu-sejarah-daerah-batu-malang-12.htmlt 

Batu dulunya merupakan sebuah desa terpencil di Jawa hingga kebun apel dimulai di sini oleh J.F. de Ruyter de Wildt sekitar 1900. Selain itu, kota ini telah memasok banyak buah dan sayuran ke kota-kota di sekitarnya sejak saat itu.

Sekitar 1928 di pegunungan dekat Batu, keluarga de Ruyter de Wildt membangun taman rekreasi lengkap (disebut Selecta) dengan kolam renang, lapangan tenis, bungalow, dan taman-taman yang indah, yang menjadi daya tarik wisata terutama bagi kaum borjuis Eropa di Malang. Ini merupakan tempat wisata pertama di Batu.

Soerabaijasch Handelsblad  edisi  4 April 1934  mengiklankan tur tamsya di Malang raya dan di antaranya ke Selecta. Disebutkan Mr De Ruyter de Wildt, "petani amatir", akan memberikan perhatian khusus pada koleksi kaktusnya.  Sejak awal orang Belanda menawarkan panorama alam dengan udara sejuk dengan  agrowisata.

Atas prakarsa pemilik Hotel Palace yang terkenal di Malang dan hotel pemandian Songgoriti, Mr Lambert, mata air obat di Songgoriti telah dieksploitasi untuk pembuatan air mineral. Kami diberi kesempatan untuk berkeliling pabrik.

Jauh sebelum Selecta lahir Batu pada masa kolonial sudah memiliki tempat wisata pemandian Songgoriti.  De Indische Courant 3 Desember 1925 menceritakan adanya mata air yang menjadi sumber air  yang dapat dicapai dengan mobil selama 35 menit dari stasiun Malang dan terletak di antara pegunungan Kawi dan Arjuno di ketinggian 3.200 kaki.

Pemandian itu mempunyai fasilitas tempat duduk dan pemandian dengan peralatan modern telah memulihkan kesehatan banyak penderita rematik, asam urat, penyakit kelenjar, penyakit radang selaput otak dan radang usus.

Sementara banyak orang yang tidak dapat menggunakan otot secara normal sebagai akibat dari pembedahan juga merasa lega dengan menggunakan pemandian dan sumber mata air ini.  Di areal pemandian ada reruntuhan candi Hindu yang memperkuat argumentasi bahwa pemandian untuk menyembuhan sudah ada sejak berabad-abad.

Candi yang dibangun pada awal abad ke 10 ini pernah dipugar oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1921.Saat itu ditemukan tulisan pada lembaran swarnapatra yang setipis daun tulisan terkiat dewata dengan gaya penulisan masa candi itu dibangun.

Arkeolog Belanda J Knebel melakukan inventarisasi yang dilakukan dengan pemugaran Candi Songgoriti tahun 1921. Candi Songgoriti ini tiga kali mengalami pemugaran, pada 1921, 1938 dan 1941. 

Hotel air panas yang dibangun sekitar 1911. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indi tertanggal 11 Maret 1916 memuat iklan tentang Hotel Pemandian Air Panas dengan tarif 4 gulden per orang.

Sementara itu De Locomotief edisi 14 Januari 1926 menceritakan jalan terkenal berkelok-kelok di atas hotel permandian Songgoriti yang menghubungkan Malang dengan Poodjon banyak mengalami kerusakan akibat hujan lebat.

Awal Budi Daya Apel dan Jeruk

Majalah Gids voor Batoe en omstreken edisi 1934 menyebutkan para petani asal Eropa memperkenalkan budi daya jeruk pada penduduk lokal dan memberikan mata pencaharian bagi banyak orang di wilayah ini.

Budi daya ini ternyata memberikan kontribusi yang signifikan antara lain untuk meningkatkan anggaran rumah tangga. Sebagai aturan, selain properti sawah dan/atau tegalan tertentu, penduduk asli memiliki pekarangan yang cukup luas di mana terdapat pohon jeruk, seringkali dengan tanaman perantara sayuran dan bunga.

Mayoritas penduduk Eropa juga mempraktikkan cabang budaya tanah ini, baik sebagai hobi dan hiburan, atau sebagai sarana penghidupan atau untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Majalah itu menyebutkan jeruk keprok dan "Jeruk Manis dari Batu" unggul dalam hal rasa dan bau sehingga secara umum dikenal dan dicintai masyarakat karena kualitasnya. Majalah itu mengungkapkan bahwa budi daya jeruk sudah ada selama kira-kira 35 tahun.

Iklan Jeruk Manis Kota Batu di Soerabaijasch Handelsblad /Delpher.Nl
Iklan Jeruk Manis Kota Batu di Soerabaijasch Handelsblad /Delpher.Nl

Itu artinya sejak awal abad ke 20. Sumber ini diperkuat oleh Preanger Bode edisi 23 Mei 1919 memuat iklan kedatangan 100 buah jeruk manis seharga 2,50 gulden dari Batu Malang.  Buiten; geillustreerd weekblad aan het buitenleven gewijd  edisi  28 Agustus 1909  menyebut  adanya :djeroek manies", yang diproduksi di daerah pegunungan seperti Garoet, Magei dan Malang."

Pada awalnya budi daya jeruk dimulai di Desa Sumbergondo, Bulukerto, dan Punten. Budi daya ini secara bertahap meluas ke desa-desa lainnya. Penghitungan pohon pada 1926 yang dilakukan oleh Dinas Hortikultura Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan memberikan hasil dalam bilangan bulat sebagai berikut: Jeruk manis Batu terhitung sebanyak 46.000 pohon dan jeruk keprok 85 ribu pohon.

Pada masa pendudukan Jepang dan lima tahun berikutnya, budi daya jeruk mengalami kemunduran.   perhatian penduduk lebih banyak tertuju pada budi daya apel, yang memang juga membawa manfaat lebih, menurut pendapat penduduk di Batu

Nijmeegsch Dagblad,  27  Maret 1951 mengungkapkan benih apel   didatangkan dari Belanda pada 1925 dan tersebar di seluruh Batu. Mereka terutama memperhatikan apa yang disebut varietas "Keindahan Roma" dan "astrachar", sedangkan varietas Cina atau apel asli digunakan sebagai batang bawah untuk okulasi.

Media lain yang melaporan keberhasilan budi daya apel di daerah batu, adalah  Algemeen Haldelsblad 6 Otober 1933. Menurut media itu penanaman apel yang menunjukkan hasil yang baik   berada lereng Gunung Kawi.

Pohon apel hanya dapat tumbuh subur pada ketinggian 700 hingga 1000 meter. Bedanya dengan negara lain, apel Indonesia dua kali lebih berat dan lebih keras.  Perkembangan apel dan jeruk seiring dengan pertumbuhan pembangunan di Batu dan Lawang  pada masa sebelum perang.   Daerah-daerah ini memiliki ratusan vila dan rumah pedesaan yang indah, sebagian besar dihuni oleh pensiunan dan pengusaha dari Surabaya.

Kebangkitan Awal 1950-an

Selama perang  sebagian besar dari ratusan vila dan rumah pedesaan di Batu dan Lawang telah hancur atau rusak parah. Pengusaha telah membeli dan memulihkan vila-vila yang rusak parah    pada 1950-an.

Mereka yang bermukim di Batu dan Lawang biasanya adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan di Malang, tetapi yang tidak mendapatkan tempat tinggal di kota ke Malang, untuk kembali sore hari.  Pemerintah Kabupaten melakukan  pembangunan sejumlah rumah di kedua tempat tersebut dengan biaya yang diambil dari dana pembangunan kabupaten

Pada 1950-an budi daya apel mulai berkembang. Menurut ANP-Aneta 23 Mei 1952 para petani di kawasan Malang-Batu mempunyai keinginan belajar dan terbuka terhadap ide-ide baru dalam teknik pertanian yang sederhana namun lebih modern.

Perubahan yang menguntungkan dalam mentalitas tani ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa produk-produk pertanian memiliki harga yang begitu tinggi sebagai akibat dari pertambahan penduduk Jawa yang sangat pesat selama sepuluh tahun terakhir, sementara luas lahan bangunan tetap hampir sama.

Di Batu, Punien, Pudjon dan Ngantang, para tani semakin fokus pada budi daya buah-buahan, sayuran dan bunga selama beberapa tahun sekarang. De vrije pers : ochtendbulletin,  25 Juli 1951 mengungkapkan mereka yang mengunjungi Batu akan bertemu dengan banyak pedagang yang menawarkan apel untuk dijual. Apel ini berasal dari Batu, Punten dan sekitarnya, di mana lebih dari 60.000 pohon apel dapat ditemukan.

Selama perang: budi daya apel benar-benar terancam; para peneliti melarikan diri dan  kebun diabaikan. Beberapa petani Indonesia yang giat kemudian merawat pohon dan melanjutkan budi daya. Pada 1950-an awal  harga 1 kilogram  apel adalah Rp8  hingga Rp10.

De Nieuwsgier  7 Februari 1955 menyebutkan Dinas Pertanian Kota Malang  kemudian menjadikan kawasan sekitar Batu sebagai sentra hortikultura utama seperti sebelum perang. Kepala Dinas Pertanian Umum PIA Kustomo mengatakan bahwa sebelum perang, Batu memasok jeruk dan jeruk keprok untuk seluruh Jawa Timur.

Penanaman lemon menghasilkan jutaan gulden bagi para petani. Karena penyakit akar, pohon jeruk di Batu hampir punah. Pada 1954 dan 1955 mereka mulai menanam kembali. Berkat kerja sama yang baik antara petani dan dinas pertanian, pada 1954 dimungkinkan untuk menanam sekitar 10.000 pohon jeruk dan pohon jeruk keprok di sekitar Batu.

Naluri para petani masa itu benar, generasi selanjutnya menikmati citra batu sebagai kawasan wisata dan hortikultura.  Sekalipun bukan tanpa tantangan yang bisa menghancurkan ikon-ikon yang sudah mendukung kehidupan Batu  (Bagian Satu dari Tiga Tulisan)

 Irvan Sjafari

Tulisan ini untuk  Seseorang Tersayang di Batu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun