Media lain yang melaporan keberhasilan budi daya apel di daerah batu, adalah  Algemeen Haldelsblad 6 Otober 1933. Menurut media itu penanaman apel yang menunjukkan hasil yang baik  berada lereng Gunung Kawi.
Pohon apel hanya dapat tumbuh subur pada ketinggian 700 hingga 1000 meter. Bedanya dengan negara lain, apel Indonesia dua kali lebih berat dan lebih keras.  Perkembangan apel dan jeruk seiring dengan pertumbuhan pembangunan di Batu dan Lawang  pada masa sebelum perang.  Daerah-daerah ini memiliki ratusan vila dan rumah pedesaan yang indah, sebagian besar dihuni oleh pensiunan dan pengusaha dari Surabaya.
Kebangkitan Awal 1950-an
Selama perang  sebagian besar dari ratusan vila dan rumah pedesaan di Batu dan Lawang telah hancur atau rusak parah. Pengusaha telah membeli dan memulihkan vila-vila yang rusak parah   pada 1950-an.
Mereka yang bermukim di Batu dan Lawang biasanya adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan di Malang, tetapi yang tidak mendapatkan tempat tinggal di kota ke Malang, untuk kembali sore hari.  Pemerintah Kabupaten melakukan  pembangunan sejumlah rumah di kedua tempat tersebut dengan biaya yang diambil dari dana pembangunan kabupaten
Pada 1950-an budi daya apel mulai berkembang. Menurut ANP-Aneta 23 Mei 1952 para petani di kawasan Malang-Batu mempunyai keinginan belajar dan terbuka terhadap ide-ide baru dalam teknik pertanian yang sederhana namun lebih modern.
Perubahan yang menguntungkan dalam mentalitas tani ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa produk-produk pertanian memiliki harga yang begitu tinggi sebagai akibat dari pertambahan penduduk Jawa yang sangat pesat selama sepuluh tahun terakhir, sementara luas lahan bangunan tetap hampir sama.
Di Batu, Punien, Pudjon dan Ngantang, para tani semakin fokus pada budi daya buah-buahan, sayuran dan bunga selama beberapa tahun sekarang. De vrije pers : ochtendbulletin, Â 25 Juli 1951 mengungkapkan mereka yang mengunjungi Batu akan bertemu dengan banyak pedagang yang menawarkan apel untuk dijual. Apel ini berasal dari Batu, Punten dan sekitarnya, di mana lebih dari 60.000 pohon apel dapat ditemukan.
Selama perang: budi daya apel benar-benar terancam; para peneliti melarikan diri dan  kebun diabaikan. Beberapa petani Indonesia yang giat kemudian merawat pohon dan melanjutkan budi daya. Pada 1950-an awal  harga 1 kilogram  apel adalah Rp8  hingga Rp10.
De Nieuwsgier 7 Februari 1955 menyebutkan Dinas Pertanian Kota Malang  kemudian menjadikan kawasan sekitar Batu sebagai sentra hortikultura utama seperti sebelum perang. Kepala Dinas Pertanian Umum PIA Kustomo mengatakan bahwa sebelum perang, Batu memasok jeruk dan jeruk keprok untuk seluruh Jawa Timur.
Penanaman lemon menghasilkan jutaan gulden bagi para petani. Karena penyakit akar, pohon jeruk di Batu hampir punah. Pada 1954 dan 1955 mereka mulai menanam kembali. Berkat kerja sama yang baik antara petani dan dinas pertanian, pada 1954 dimungkinkan untuk menanam sekitar 10.000 pohon jeruk dan pohon jeruk keprok di sekitar Batu.