Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Nostalgia di Alun-alun Malang dan Kampoeng Heritage Kajoetangan

26 September 2023   15:07 Diperbarui: 26 September 2023   15:15 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berpose di alun-alun bagian Barat tampak Masjid Jami Agung Malang. Foto: Dokumentasi Irvan Sjafari

Pada 8 September hingga 11 September 2023, saya melakukan perjalanan ke Malang dan Batu, Jawa Timur.  Perjalanan itu didorong dua hal, pertama nostalgia. Saya terakhir kali ke Malang pada Desember 1994.  Pada waktu itu targetnya ingin mengupas toko-toko tua di Kota Malang. Tentunya perjalanan nostalgia perubahan apa yang terjadi.

Kedua, saya sengaja mengambil cuti dari kantor untuk memenuhi janji pada seseorang di Kota Batu dan itu harus jadi satu paket dengan budget yang pas-pasan dan dalam waktu singkat mendapatkan banyak hal.

Pengalaman waktu menjelajah Palembang hanya dalam tiga hari dua malam bersama TX Travel pada 2015 membuat pelajaran bagaimana singgah di sejumlah spot dan melakukan berbagai aktivitas secara efektif.

Berangkat dari Stasiun Senen pukul 17.25 pada 7 September dan tiba di Stasiun Malang keesokan paginya sekitar pukul 06.20 pada 8 September 2023. Saya segera ke Pondok Backpacker yang terletak di Jalan Basuki Rachmat yang sudah saya pesan sebelum keberangkatan.

Stevanus, karyawan penginapan itu menyambut saya pagi itu, namun saya check in baru siangnya. Harga per bed (karena system dormitory) Rp75 ribu mengingatkan saya waktu menginap di tempat yang konsepnya sama di Pasirkaliki, Bandung berapa tahun silam. 

Teman sekamar saya seorang Mesir, mengaku bernama Achmad, nekat travelling keliling Indonesia dengan uang pas-pasan.  Sayangnya hari itu dia pulang. Namun yang saya suka menginap di tempat penginapan Backpacker selalu dapat kenalan baru lintas negara dan budaya.

Setelah istirahat sejenak saya mengisi waktu dengan singgah di Alun-alun Malang sambil mencari sarapan.  Seperti saya baca pada sejumlah referensi, wajah alun-alun sudah jauh lebih bagus daripada ketika saya berkunjung dalam 30 tahun yang lalu. 

Salah satu inovasi yang menarik ialah adanya sarang burung merpati yang tak sungkan untuk mendarat di lapangan seolah tak terusik  dengan kehadiran manusia yang menjadi pengunjung.  Di sudut selatan ada kawasan bermain anak-anak dengan sarananya, mirip yang saya lihat waktu singgah di Alun-alun Bandung.  

Kandang Merpati -Foto: Irvan Sjafari
Kandang Merpati -Foto: Irvan Sjafari

Sudut selatan alun-alun tampak Hotel Palace-Foto: Irvan Sjafari
Sudut selatan alun-alun tampak Hotel Palace-Foto: Irvan Sjafari

Kelebihan alun-alun Bandung adalah pada hamparan rumput sintetis yang membuat pengunjung bisa bermain lari-larian, tentunya harus melepas sepatu.  Selain itu tempat sampahnya tertata lebih rapi dengan petugas yang selalu keliling.

Alun-alun Malang lebih pada plaza dengan sebagian beton dan sebagian rumput. Hanya saja keberadaan sejumlah bangunan tua memberikan sensasi berbeda.  Pada sebelah selatan ada Hotel Pelangi yang dibangun pada dekade kedua abad ke 20 bernama Hotel Palace dan ada beberapa bangunan lagi merupakan bangunan bersejarah era kolonial.

Menemukan Sejarah di Kampoeng Heritage Kajoetangan.

Dulu nama Jalan Basuki Rachmat adalah Jalan Kajoetangan pada masa era Kolonial hingga era 1960-an.  Pada masa kolonial, Jalan Kajoetangan adalah tempat prestesius gaya hidup penduduk Eropa masa itu.  Terdapat Societet Concordia, tempat nongkrong orang kaya yang kini menjadi Gedung Sarinah.  Ada toko serba ada Onderling Belang sudah lenyap tertelan gelombang sejarah masa Revolusi hingga  deru pembangunan.

Hanya sedikit sisa bangunan heritage yang tersisa di jalan yang panjangnya sekira satu kilometer ini, di antaranya Toko Oen, yang tetap jadi tempat kuliner eskrim yang legendaris. Resminya restoran ini berdiri pada 1930. Namun dalam  De Malanger edisi   17 Juni 1929 menyebut keberadaan Warenhuis Weissberg, milik seorang Amerika sebelum Toko Oen.

Di deretan Oen, terdapat Kedai Namsum, yang menyajikan masakan Tionghoa resep pemiliknya turun-temurun.  Namun dahulunya bangunan  bukanlah kedai, tetapi Studio Foto  Fotax antara 1932 hingga 1942. Sayangnya saya tidak menemukan Studio Malang yang saya lihat pada 1994 yang merupakan bangunan juga. Entah apa yang terjadi pada bangunan itu.  Sementara di perempatan terdapat sebuah bangunan gereja bergaya gotik akhir abad ke 19 yang relatif utuh.

Untungnya saya masih menikmati wisata sejarah lain,  ketika melihat gerbang dari Kampoeng Heritage Kajoetangan yang terletak pada sisi barat jalan ini. Secara administratif kawasan ini masuk dalam Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen ini.  Kampung tua ini sudah ada sejak abad ke-13.

Gerbang Kampoeng Heritage -Foto: Irvan Sjafari
Gerbang Kampoeng Heritage -Foto: Irvan Sjafari

Dari referensi yang saya baca, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat mencoba mengembangkan Kampoeng  Kajoetangan untuk menarik para wisatawan. Kampung terdiri dari  4 RW ini mampu menselaraskan antara ekonomi dan wisata. Pemerintah Kota Malang mendukungnya.  Kampoeng Heritage Kajoetangan  berdiri pada 2018.

Saya kemudian  membayar tiket masuk sebesar Rp5.000.  Dari penjaga lokel saya mengetahui, tempat itu buka setiap hari mulai pukul 08.00-18.00 WIB.

Saya menelusuri gang demi yang berliku dan menemukan sejumlah warga menjadikan rumahnya sebagai usaha kuliner, kerajinan hingga feysen. Kampung Kayutangan ini sangat bersih. Warganya ramah kepada pengunjung. 

Sisa-sisa kejayaan masa kolonial  hingga era 1960-an di kampung Kayutangan masih terjaga rapi dan menjadi potensi besar dan terpendam. Yang paling tua adalah Makam Mbah Honggo atau Honggoe Koesoemo, guru spiritual keluarga Bupati Malang Pertama R.A.A Notodiningrat dan berhubungan dengan sejarah Islamisasi Malang sekitar abad ke 18.

Di dalam kampung ini terdapat berapa rumah yang menarik yang menjadi tempat wisata sejarah. Di antaranya, Rumah Penghulu yang berdiri pada  '1920an. Sesuai namanya di rumah ini dulu memang tinggal seorang penghulu. Rumah ini berfungsi sebagai kedai kopi.

Tak jauh dari Rumah Penghulu terdapat  Rumah Jengki  Nomor 976. Bangunan yang bernama Rumah Jengki ini mempunyai luas 160 meter persegi. Bangunannya memiliki gaya arsitektur jengki yang beratap sudut asimetris.

Rumah Jengki ini  berdiri pada 1960 kemudian mengalami renovasi  pada 1968 saat dimiliki oleh HSM. Ali, seorang keturunan Arab. Pemiliknya membuka usaha kuliner di rumahnya. 

Rumah Jengki- Foto: Dokumetasi Irvan Sjafari
Rumah Jengki- Foto: Dokumetasi Irvan Sjafari

Saya juga mencatat Rumah Cerobong, kediaman keluarga Ibu Supijatun sejak 1950-an dengan ukuran 12 x6 meter. Mulanya hanya rumah dengan bahan bambu dan tembok dan baru menjadi bangunan tembok seutuhnya pada 1967.

Rumah Cerobong fungsi awalnya  dapur untuk merebus daging sapi kemudian pemiliknya menjualnya ke Pasar Celaket. Guna cerobong ini agar saat pembakaran asap keluar melewati cerobong.

Menurut sejarawan dari Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono, Kempoeng Heritage Kajoetangan ini merupakan potret dari perjalanan panjang sejarah Kota Malang. Nama kampung ini sebetulnya adalah Kampung Talun.

"Prasasti  Ukir Negara berangka 1198 menyebut  nama  Kampung Talun  sebagai tempat tinggal penulis prasasti bernama Mpu Damawan.  Sementara Kayutangan awalnya hutan bernama Patangpatangan.  Ciri khas ada pohon kayu yang tak berdaun dengan cabang seperti tangan. Pada perkembangan  namanya menjadi Kayutangan," ujar Dwi Cahyono.

Kitab Pararton  juga mengungkapkan tempat persembunyian Ken Arok pendiri Singasari di Kampung Talun dan Hutan Patatangan. Dalam kampung itu terdapat Makam Mbah Honggo yang merupakan menyebar agama Islam di pedalaman Jawa Timur, khususnya Malang.

Sejak jatuh ke tangan VOC pada 1767 kemudian berlanjut ke  Pemerintah Hindia Belanda, Malang berkembang pada 1820-an.  Belanda membangun jalan Kajoetangan dan menyambungnya dengan Jalan Celaket di utara.

Belanda 1820-an membuka pemukiman gaya Eropa di Talun, Tongan dan di Sawahan. 1820-an di kanan kiri koridor Jalan Kajoetangan.  Itu sebabnya  terdapat bangunan bergaya Indies.  Periode arsitektur berikutnya sejak masa Kemerdekaan, khususnya pada 1950-an terdapat rumah bergaya jengki. Arsitektur asli Indonesia ini populer pada periode 1950-1970.

Arsitektur ini  menjadi bentuk perlawanan terhadap pengaruh arsitektur gaya Eropa yang mana identik dengan para penjajah. Ciri utama adalah bagian atap berbentuk pelana dan perisai yang berbeda dengan rumah tinggal pada umumnya.

Kampoeng Heritage Kajoetangan terdiri dari  RW 1,2, 9 dan 10 Kelurahan Kauman, Kota Malang. Destinasi ini mempunyai potensi berupa bangunan peninggalan baik berupa rumah hunian, galeri dan fasilitas umum, kurang lebih 38 titik yang tersebar di 4 wilayah tersebut.

"Rata-rata pengunjung weekdays sekitar  200-300 orang. Sementara weekend antara  400-500 pengunjung," ujar Ketua Pokdarwis Kampoeng Heritage Kajoetangan Mila Kurniawati.

Selama berada di Kampoeng Heritage Kajoetangan saya menikmati nasi campur seharga Rp15 ribu dari seorang emak yang tinggal di sana.  Menurut dia pada siang ini cenderung sepi dan baru ramai malam hari   Tempat tinggalnya pernah menjadi homestay namun akhirnya tidak bertahan lama.

"Tapi saya suka dengan hadirnya wisata heritage yang memberikan pemasukan pada kami sebagai warga," ujar emak itu.

Sementara pada kesempatan berbeda Geza Surya Pratiwi, warga Kampung Cempluk, Kota Malang, mengaku bangga dengan hadirnya Kampoeng Heritage Kajoetangan.

"Suasananya memang nyaman terutama di malam hari, membuat Malang menjadi semakin nyaman dan dirindukan," ujar alumni Jurusan Sejarah UGM yang kini menjadi ASN di Jakarta ini

Saya meninggalkan kampung ini menjelang asar kembali ke penginapan dan tidur siang. Perjalanan yang cukup padat baru dimulai (Bagian Pertama dari Lima Tulisan). 

Irvan Sjafari

Bahan utama dari tulisan ini pernah dimuat di Koridor yang merupakan hasil kunjungan saya.  Foto-foto adalah Dokumentasi Pribadi saya. 

Koridor 1 

Koridor 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun