Sisa-sisa kejayaan masa kolonial hingga era 1960-an di kampung Kayutangan masih terjaga rapi dan menjadi potensi besar dan terpendam. Yang paling tua adalah Makam Mbah Honggo atau Honggoe Koesoemo, guru spiritual keluarga Bupati Malang Pertama R.A.A Notodiningrat dan berhubungan dengan sejarah Islamisasi Malang sekitar abad ke 18.
Di dalam kampung ini terdapat berapa rumah yang menarik yang menjadi tempat wisata sejarah. Di antaranya, Rumah Penghulu yang berdiri pada '1920an. Sesuai namanya di rumah ini dulu memang tinggal seorang penghulu. Rumah ini berfungsi sebagai kedai kopi.
Tak jauh dari Rumah Penghulu terdapat Rumah Jengki Nomor 976. Bangunan yang bernama Rumah Jengki ini mempunyai luas 160 meter persegi. Bangunannya memiliki gaya arsitektur jengki yang beratap sudut asimetris.
Rumah Jengki ini berdiri pada 1960 kemudian mengalami renovasi pada 1968 saat dimiliki oleh HSM. Ali, seorang keturunan Arab. Pemiliknya membuka usaha kuliner di rumahnya.
Saya juga mencatat Rumah Cerobong, kediaman keluarga Ibu Supijatun sejak 1950-an dengan ukuran 12 x6 meter. Mulanya hanya rumah dengan bahan bambu dan tembok dan baru menjadi bangunan tembok seutuhnya pada 1967.
Rumah Cerobong fungsi awalnya dapur untuk merebus daging sapi kemudian pemiliknya menjualnya ke Pasar Celaket. Guna cerobong ini agar saat pembakaran asap keluar melewati cerobong.
Menurut sejarawan dari Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono, Kempoeng Heritage Kajoetangan ini merupakan potret dari perjalanan panjang sejarah Kota Malang. Nama kampung ini sebetulnya adalah Kampung Talun.
"Prasasti Ukir Negara berangka 1198 menyebut nama Kampung Talun sebagai tempat tinggal penulis prasasti bernama Mpu Damawan. Sementara Kayutangan awalnya hutan bernama Patangpatangan. Ciri khas ada pohon kayu yang tak berdaun dengan cabang seperti tangan. Pada perkembangan namanya menjadi Kayutangan," ujar Dwi Cahyono.
Kitab Pararton juga mengungkapkan tempat persembunyian Ken Arok pendiri Singasari di Kampung Talun dan Hutan Patatangan. Dalam kampung itu terdapat Makam Mbah Honggo yang merupakan menyebar agama Islam di pedalaman Jawa Timur, khususnya Malang.
Sejak jatuh ke tangan VOC pada 1767 kemudian berlanjut ke Pemerintah Hindia Belanda, Malang berkembang pada 1820-an. Belanda membangun jalan Kajoetangan dan menyambungnya dengan Jalan Celaket di utara.