Belanda 1820-an membuka pemukiman gaya Eropa di Talun, Tongan dan di Sawahan. 1820-an di kanan kiri koridor Jalan Kajoetangan.  Itu sebabnya  terdapat bangunan bergaya Indies.  Periode arsitektur berikutnya sejak masa Kemerdekaan, khususnya pada 1950-an terdapat rumah bergaya jengki. Arsitektur asli Indonesia ini populer pada periode 1950-1970.
Arsitektur ini  menjadi bentuk perlawanan terhadap pengaruh arsitektur gaya Eropa yang mana identik dengan para penjajah. Ciri utama adalah bagian atap berbentuk pelana dan perisai yang berbeda dengan rumah tinggal pada umumnya.
Kampoeng Heritage Kajoetangan terdiri dari  RW 1,2, 9 dan 10 Kelurahan Kauman, Kota Malang. Destinasi ini mempunyai potensi berupa bangunan peninggalan baik berupa rumah hunian, galeri dan fasilitas umum, kurang lebih 38 titik yang tersebar di 4 wilayah tersebut.
"Rata-rata pengunjung weekdays sekitar  200-300 orang. Sementara weekend antara  400-500 pengunjung," ujar Ketua Pokdarwis Kampoeng Heritage Kajoetangan Mila Kurniawati.
Selama berada di Kampoeng Heritage Kajoetangan saya menikmati nasi campur seharga Rp15 ribu dari seorang emak yang tinggal di sana.  Menurut dia pada siang ini cenderung sepi dan baru ramai malam hari  Tempat tinggalnya pernah menjadi homestay namun akhirnya tidak bertahan lama.
"Tapi saya suka dengan hadirnya wisata heritage yang memberikan pemasukan pada kami sebagai warga," ujar emak itu.
Sementara pada kesempatan berbeda Geza Surya Pratiwi, warga Kampung Cempluk, Kota Malang, mengaku bangga dengan hadirnya Kampoeng Heritage Kajoetangan.
"Suasananya memang nyaman terutama di malam hari, membuat Malang menjadi semakin nyaman dan dirindukan," ujar alumni Jurusan Sejarah UGM yang kini menjadi ASN di Jakarta ini
Saya meninggalkan kampung ini menjelang asar kembali ke penginapan dan tidur siang. Perjalanan yang cukup padat baru dimulai (Bagian Pertama dari Lima Tulisan).Â
Irvan Sjafari
Bahan utama dari tulisan ini pernah dimuat di Koridor yang merupakan hasil kunjungan saya. Â Foto-foto adalah Dokumentasi Pribadi saya.Â