Kelebihan alun-alun Bandung adalah pada hamparan rumput sintetis yang membuat pengunjung bisa bermain lari-larian, tentunya harus melepas sepatu. Â Selain itu tempat sampahnya tertata lebih rapi dengan petugas yang selalu keliling.
Alun-alun Malang lebih pada plaza dengan sebagian beton dan sebagian rumput. Hanya saja keberadaan sejumlah bangunan tua memberikan sensasi berbeda. Â Pada sebelah selatan ada Hotel Pelangi yang dibangun pada dekade kedua abad ke 20 bernama Hotel Palace dan ada beberapa bangunan lagi merupakan bangunan bersejarah era kolonial.
Menemukan Sejarah di Kampoeng Heritage Kajoetangan.
Dulu nama Jalan Basuki Rachmat adalah Jalan Kajoetangan pada masa era Kolonial hingga era 1960-an.  Pada masa kolonial, Jalan Kajoetangan adalah tempat prestesius gaya hidup penduduk Eropa masa itu.  Terdapat Societet Concordia, tempat nongkrong orang kaya yang kini menjadi Gedung Sarinah.  Ada toko serba ada Onderling Belang sudah lenyap tertelan gelombang sejarah masa Revolusi hingga  deru pembangunan.
Hanya sedikit sisa bangunan heritage yang tersisa di jalan yang panjangnya sekira satu kilometer ini, di antaranya Toko Oen, yang tetap jadi tempat kuliner eskrim yang legendaris. Resminya restoran ini berdiri pada 1930. Namun dalam  De Malanger edisi  17 Juni 1929 menyebut keberadaan Warenhuis Weissberg, milik seorang Amerika sebelum Toko Oen.
Di deretan Oen, terdapat Kedai Namsum, yang menyajikan masakan Tionghoa resep pemiliknya turun-temurun.  Namun dahulunya bangunan  bukanlah kedai, tetapi Studio Foto  Fotax antara 1932 hingga 1942. Sayangnya saya tidak menemukan Studio Malang yang saya lihat pada 1994 yang merupakan bangunan juga. Entah apa yang terjadi pada bangunan itu.  Sementara di perempatan terdapat sebuah bangunan gereja bergaya gotik akhir abad ke 19 yang relatif utuh.
Untungnya saya masih menikmati wisata sejarah lain, Â ketika melihat gerbang dari Kampoeng Heritage Kajoetangan yang terletak pada sisi barat jalan ini. Secara administratif kawasan ini masuk dalam Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen ini. Â Kampung tua ini sudah ada sejak abad ke-13.
Dari referensi yang saya baca, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat mencoba mengembangkan Kampoeng  Kajoetangan untuk menarik para wisatawan. Kampung terdiri dari  4 RW ini mampu menselaraskan antara ekonomi dan wisata. Pemerintah Kota Malang mendukungnya.  Kampoeng Heritage Kajoetangan  berdiri pada 2018.
Saya kemudian  membayar tiket masuk sebesar Rp5.000.  Dari penjaga lokel saya mengetahui, tempat itu buka setiap hari mulai pukul 08.00-18.00 WIB.
Saya menelusuri gang demi yang berliku dan menemukan sejumlah warga menjadikan rumahnya sebagai usaha kuliner, kerajinan hingga feysen. Kampung Kayutangan ini sangat bersih. Warganya ramah kepada pengunjung.Â