Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Blonde", Kisah Marilyn Monroe dalam Kukungan Budaya Patriaki

3 Oktober 2022   10:06 Diperbarui: 4 Oktober 2022   17:06 2090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam hari 15 September 1954, aktris Marilyn Monroe (Ana de Armas) berjalan bersama lawan mainnya Tom Ewell keluar dari bioskop di Lexington Avenue, Manhattan. 

Mereka menikmati sejuknya angin malam melewati jeruji kereta bawah tanah. Namun ketika kereta api lewat, rok Marilyn Monroe terangkat dan aktris itu tertawa berusaha menahan roknya.

Itu adegan dalam syuting film Seven Year Itch menjadi ikonik aktris legendaris menjadi simbol seks dan budaya pop Amerika pada eranya, dan merupakan adegan yang penting dalam film Blonde karya sutradara Andrew Dominik.

Dalam adegan itu para kru film dan para awak media, termasuk fotografer yang semuanya pria tertawa puas dan bertepuk tangan. Ada yang menyaksikan sambil merokok menikmati tubuh molek Marilyn. Adegan ini bagi saya adalah kemenangan budaya patriaki. Entah apa yang ada di benak para pria itu. Mudah-mudahan hanya karena tugas profesional.

Penampilan Marilyn Monroe bagi sebagian orang boleh saja dibilang artistik tetapi bagi saya kok sangat menonjolkan bentuk tubuh perempuan. Dalam Blonde diungkapkan suaminya Joe DiMaggiodan berang dan pasangan itu kemudian bercerai.

Dalam sebuah adegan Marilyn pucat ketika pulang menemui suaminya. Mantan atlet bisbol itu lepas kontrol hingga melakukan kekerasan fisik. Pada era itu kekerasan dalam rumah tangga belum menjadi isu yang penting.

Film yang kini ditayangkan oleh layanan streaming Netflix banyak dikritik netizen menampilkan adegan vulgar. Namun entah mengapa saya sebagai laki-laki normal sama sekali tidak menikmatinya, tetapi justru melihat adegan-adegan miris. 

Gambaran seks dalam film justru membuktikan bahwa perempuan yang bernama asli Norma Jeane itu korban budaya patriaki.

Prolog film yang berdurasi sekitar 2,5 jam ini dibuka dengan kehidupan buram Norma Jeane kecil (Lily Fisher) di Los Angles, bersama ibunya yang single parent. Sang Ibu Gladys (Julliane Nicholson) kerap memperlihatkan foto ayahnya, yang tidak bertanggungjawab. Sejarah mencatat Norma lahir di Los Angles pada 1 Juni 1926.

"Mengapa ayah tidak menemui kita?" tanya Norma dengan polos. Dia kemudian mengetahui ayahnya tidak mau dia lahir. Bahkan Norma nyaris tewas dibenamkan ibunya yang mengalami gangguan jiwa di dalam baik mandi. 

Sang Ibu masuk rumah sakit jiwa dan Norma masuk rumah yatim piatu. Gladys kemudian divonis menderita skizoprenia. Kelak pengalaman masa kecilnya ini memberi dampak ketika dewasa. Adegan awal Blonde membuat saya justru menitikan air mata. Entah mengapa menjadi bersimpati.

Kemudian adegan berpindah ke awal karier Norma pada Januari 1949 menjadi model, ketika syunting film-film perdananya seperti One Bother to Knock. Para produser menobatkan Norma dengan nama Mariliyn Monroe dan rambutnya pun menjadi pirang, blonde.

Bukankah itu konstruksi kecantikan kapitalisme tampaknya di antaranya disumbangkan oleh figur Marilyn, pirang, berkulit putih, langsing? 

Masa keemasan Marilyn ada pada era dalam sejarah Amerika Serikat apa yang disebut ekonom Harvard John Kenneth Galbraith dalam bukunya The Affluent Society, masyarakat dalam kelimpahan, di mana kelas menengah tumbuh pesat. 

Pada 1945, Pendapatan Domestik Bruto Amerika adalah USD212 miliar. Tiba-tiba tidka sampai stau dekade pada akhir 1950-an meningkat dua kali lipat mencapai USD503 miliar. Kelas pekerja menyusut karena semakin banyak orang Amerika yang berhasil masuk ke kelas menengah yang sedang booming.

Fakta atau Fiksi?

Dalam Blonde, Marilyn digambarkan menikmati kemakmuran itu. Dia sempat hidup bersama dengan dua laki-laki sekaligus, di antaranya dengan anak, komedian kondang Charlie Chaplin. Mereka menyebut diri mereka sebagai Trio Gemini tidak terpisahkan. Marilyn memang lahir di rasi Gemini.

Fakta sejarahnya untuk kisah dengan dua laki-laki sekaligus hal ini tidak terkonfirmasi. Film Blonde berdasarkan novel karya Joyce Carol Oates. Sekalipun pada satu sisi film hanya mengumbar bahwa Marilyn hampir tanpa rasa senang sedikit pun, kalau pun terlihat fake (atau palsu). Hidupnya hanya dalam kesedihan dan kemalangan.

Entah benar atau tidak tindakan aborsi yang terjadi pada diri Marilyn juga atas kontribusi keinginan para produser film agar tubuh perempuan itu aman untuk terus dieksploitasi untuk meraup cuan. 

Yang paling membuat saya bertanya, benarkah artis ini benar-benar terlibat skandal dengan orang nomor satu Amerika Serikat menjelang akhir hayatnya pada 1962?

Justru hingga saat ini satu-satunya Presiden Amerika Serikat yang menjadi idola saya adalah tokoh itu, karena perhatiannya yang besar pada dunia ketiga. Seorang presiden yang kharismatik. Bisa jadi benar, karena tak ada manusia yang sempurna.

Kisah Marilyn dan presiden yang kemudian tercatat menjadi korban pembunuhan ini kerap disebut dalam teori konspirasi. Yang sampai saat ini lebih banyak jadi cerita fiksi.

Adegan pertemuan Marilyn dengan presiden itu merupakan adegan tak kalah miris. Di televisi ada adegan film fiksi ilmiah serangan alien berupa piring terbang menabrak gedung putih. 

Saya bisa menginteprestasikan sebagai metafora yang bagus. Selama masa jabatannya yang tidak sampai tuntas, AS menghadapi berbagai peristiwa, di antaranya Krisis Kuba.

Film ini juga mengungkapkan sosok Arthur Miller, suami terakhir Marilyn. Seorang penulis naskah sandiwara dan buku yang mau menerima Marilyn apa adanya. Mustahil dia tidak tahu soal artis itu dengan foto-fotonya di majalah Playboy.

Dia tidak peduli dengan ejekan media itu perkawinan seorang intelektual dengan jam pasir. Saya sebagai orang yang kini bekerja sebagai jurnalis bertanya, lah, apa itu penting bagi publik? 

Hidup-hidup dia, itu pilihan dia dan bukan pilihan selera publik (yang celakanya untuk para selebritas, pasangan ideal itu dikonstruksikan atas nama selera publik: baca pasar).

Arthur digambarkan terlihat sabar kalau berhadapan dengan Marilyn, termasuk meminta menemui teman-temannya. Sayang tidak dijelaskan mengapa mereka bercerai.

Film diakhiri dengan kematian Marilyn yang tragis pada Agustus 1962 seperti dalam catatan sejarah. Cara menggambarkan kematiannya sangat artistik dan membuat saya menitikan air mata. Norma Jeanne yang malang mati muda dalam usia 36 tahun di tengah popularitas tinggi.

Dengan secara keseluruhan, Blonde bagi saya adalah film yang humanis. Jujur dan sebetulnya bisa diintepretasikan kritik sosial terhadap situasi masa itu.

Marilyn hanya perempuan yang butuh (benar-benar) dicintai dan ingin hidup normal. Atau seperti percakapannya dengan para ibu di sebuah adegan: Aku bukan bintang, tetapi perempuan berambut pirang. 

Dia memang kerap ditampilkan dalam film-filmnya dengan kesan 'Si Pirang yang Bodoh'. Konstruksi yang diinginkan pasar kapitalis patriaki. (Irvan Sjafari) 

Foto: Adegan dalam Blonde Kredit| Foto: Tribunnews.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun