Melawan kekerasan seksual, Kekerasan dalam Rumah Tangga, Â hingga ketidakadilan gender dapat dilakukan melalui edukasi terhadap perempuan, tetapi juga laki-laki. Perubahan visi media, film, sinetron hingga iklan penting melawan konstruksi patriaki jadi kunci utama. Â Â
Mengapa kalau perempuan pulang malam mendapat cibiran, siulan (kerap bernada mesum)? Â Mengapa ada stigma kalau perempuan yang pulang malam adalah perempuan yang 'tidak benar"? Padahal dia harus bekerja mencari nafkah atau kuliah malam.
Demikian kira-kira  ujar  aktivis Komunitas Lentera Sintas Indonesia Roosalina Wulandari membuka pembahasan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam diskusi plus peluncuran buku Perempuan dan Sinema di Taman Ismail Marzuki (TIM), Minggu 18 September 2022.
Pertanyaannya mengapa kalau laki-laki yang pulang malam tidak mendapat stigma demikian? Mengapa laki-laki bercelana pendek nongkrong di warung indomie tidak ada yang jahil?
Pertanyaan-pertanyaan ini sudah sudah saya dengar selama puluhan tahun, tetapi tetap saja stigma ini kukuh. Â Lalu saya komentari: Â Saya pernah mengungkapkan hal itu di media sosial. Kira-kira status sosialnya seperti ini:
"Kadang-kadang saya bertanya mengapa kalau seorang perempuan hang out lewat tengah malam dipergunjingkan dan dijudge sebagai tidak benar? Lalu mengapa laki-laki boleh hang out lewat tengah malam dan tidak dijudgje? Mengapa kalau seorang perempuan berada di luar rumah dini hari disangka buruk tanpa memeriksa dulu mengapa dia berada di luar rumah? Mengapa kalau laki-laki pulang subuh dianggap biasa saja?"
"Beneran nih mau punya istri yang macho dan bebas pergi kemana saja kapan saja??? hehe...," itu kira-kira komentar salah seorang kawan yang ternyata perempuan.
Perempuan yang karib disapa Wulan itu membenarkan bahwa banyak di  kalangan perempuan sendiri memberi stigma perempuan yang pulang malam berkonotasi negatif.  Persoalannya cetakannya (maksudnya konstruksi pemikirannya) sama saja. Â
Ternyata ada komentar yang senada dari peserta diskusi. Â Akhirnya Wulan menjawab perempuan yang memberi komentar negatif umumnya tidak merasakan menjadi single parent, yang harus memenuhi kebutuhan hidup anaknya. Mereka secara ekonomi nyaman dan kebutuhan hidupnya tercukupi.
Wulan juga menyatakan setiap perempuan (seharusnya)  punya kebebasan identitas sosial, punya kompleksitas sosial. Dia berhak hanya mengungkapkan aktivitas pekerjaanya, tidak menyebut bukan istri dari  seorang pria dalam status di media sosial.
Perempuan harus penghasilan sekalipun ibu rumah tangga, menjadi pelaku UKM. Selain bisa menjadi ban serep kalau suaminya misalnya ekonominya sedang morat-marit, kalau terjadi KDRT, perempuan bisa mandiri.
Sebagian yang dikatakan  Wulan bukan hal baru. Rohana Koedoes dari Ranah Minang, seorang pelopor emansipasi pernah menulis di Soenting Melajoe pada 1910-an.  Soenting Melajoe edisi 19 Juni 1914 menyerukan perempuan sebelum 15 tahun terlalu muda untuk menikah.
Meskipun (pada masa itu) perempuan usia 15-17 tahun sudah tidak bisa dibilang muda lagi, tetapi kalau perempuan itu hendak belajar hendaknya didahulukan kesukaannya untuk belajar. Sekalipun si perempuan sudah lebih dari 18 tahun kalau ia ingin terus belajar dan belum mau bersuami tetap harus diberi kesempatan.
Soenting Melajoe juga melaporkan perkembangan sekolah tenun di Kota Gadang yang dikelola oleh Rohana. Sekolah yang didirikan itu bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia pada 11 Februari 1911. Lembaga pendidikan khusus memberikan keterampilan bagi kaum perempuan. Sehingga mereka bisa mandiri dan tidak tergantung dari laki-laki.
Edukasi penting terhadap perempuan terutama untuk anak SMP dan SMA yang sudah dilakukannya pada 2016. Â Kalau pacaran para siswi diajarkan untuk mengatakan tidak ketika dipegang-pegang oleh cowoknya. Â Bahkan termasuk kalau diajak nonton bisa menganggu pelajaran.
Wulan menyampaikan anak laki-laki juga diajarkan untuk menghargai kawananya perempuan. Jangkat angkat rok. Â Wulan mengaku punya dua laki-laki yang dididik dengan keras apa yang tidak boleh pada perempuan.
Poin yang menarik lainnya ialah menggagas Rumah Aman di RW-nya. Menurut Wulan perempuan kerap tidak berani melaporkan perlakuan pelecehan seksual terhadap dirinya. Â Seharusnya para tetangga bisa menjadi orang pertama yang mendengarkan. Â
Untuk itu diperlukan tempat bagi korban di lingkungannya untuk bercerita dan mendapatkan pendampingan dari lingkungannya.
Satu wilayah (RW) bisa menciptakan rumah aman dengan memanfaatkan peran warga. Mereka bisa mendiskusikan rumah siapa saja yang memiliki kamar lebih untuk dipakai sebagai tempat perlindungan, mobil siapa yang bisa digunakan untuk mengantar korban melapor atau ke rumah sakit dan siapa yang menjadi sopir siaga, juga siapa di antara warga yang menjadi pendamping korban.
Catatan saya yang lain yang juga saya ungkapkan ialah konstruksi budaya patriaki yang membuat stigma terhadap perempuan sebetulnya yang paling utama disumbangkan oleh media massa, termasuk film dan sinetron.Â
Media massa-bahkan yang mainstream sekalipun-kerap memberitakan artis, selebgram atau perempuan yang berpakaian disebut seksi bikin warganet salfok. Kalau ada pengrebekan terhadap pasnagan mesum atau pekerja seksual yang ditonjolkan adalah sosok perempuannya, bukan pemakai jasanya yang laki-laki. Â Apalagi yang perempuan merupakan artis. Sekalipun dengan inisial dengan mudah bisa dilacak melalui googling.
Sinetron? Perempuan digambarkan begitu mudah ditindas oleh laki-laki, tidak bisa melapor bila menghadapi Kekerasan dalam Rumah Tangga, tidak ada tetangga yang bisa menolong, yang ada pemilik kontrakan menagih biaya sewa. Bahkan sebagian tokoh tidak punya saudara, kerabat atau teman. Memangnya semua anak tunggal?
Film masih bagus ada sineas yang kritis seperti Kamila Andini, Lola Amaria, Nia Di Nata, yang menyuarakan kesetaraan, namun tampaknya tidak punya pengaruh besar. Yang pernah saya alami sebagai jurnalis malah untuk mendapatkan foto salah satu film karya salah seorang sutradara ini  banyak aturan copyright-nya.  Entah untuk film lain.  Bagaimana mau menyebar edukasi, akses saja sulit?
Dalam diskusi terlontar, Komunitas KOMiK atau Ladiesiana bisa membuat gerakan menciptakan skenario film bertema perempuan, terutama untuk sinetron  Bisa jadi yang  buat skenario orangnya itu-itu saja. Sekalipun saya paham  pesoalannya terkait soal budget dan  lagi-lagi rating. Para pemirsa dianggap orang yang tidak suka berpikir berat, karena hidup memang sudah berat.Â
Saya memberi catatan, saat ini bukankah masih banyak iklan yang menggiring bahwa perempuan cantik itu harus memenuhi kriteria ini dan itu? Bukankah masih banyak lomba ratu-ratu kecantikan sekalipun dikaitkan dengan brain, beauty, behavior untuk menyamarkannya? Bahkan dengan kesetaraan gender?
Mengapa tidak seperti Abang dan None Jakarta atau Mojang dan Jejaka? Di mana laki-laki dan perempuan muda sama-sama berlomba menyampaikan visi dan misi pariwisata, misalnya.
Saya termasuk pesimis bahwa perempuan untuk lepas dari stigma dan persoalan seperti diulas di atas bisa terjadi, selama budaya patriaki kuat.  Apa yang dilakukan kawan-kawan komunitas dan orang yang peduli, termasuk regulasi seperti UU PKS sekalipun gol (saya yakin sulit), hanya bisa meminimalisir (Irvan Sjafari). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H