Perempuan harus penghasilan sekalipun ibu rumah tangga, menjadi pelaku UKM. Selain bisa menjadi ban serep kalau suaminya misalnya ekonominya sedang morat-marit, kalau terjadi KDRT, perempuan bisa mandiri.
Sebagian yang dikatakan  Wulan bukan hal baru. Rohana Koedoes dari Ranah Minang, seorang pelopor emansipasi pernah menulis di Soenting Melajoe pada 1910-an.  Soenting Melajoe edisi 19 Juni 1914 menyerukan perempuan sebelum 15 tahun terlalu muda untuk menikah.
Meskipun (pada masa itu) perempuan usia 15-17 tahun sudah tidak bisa dibilang muda lagi, tetapi kalau perempuan itu hendak belajar hendaknya didahulukan kesukaannya untuk belajar. Sekalipun si perempuan sudah lebih dari 18 tahun kalau ia ingin terus belajar dan belum mau bersuami tetap harus diberi kesempatan.
Soenting Melajoe juga melaporkan perkembangan sekolah tenun di Kota Gadang yang dikelola oleh Rohana. Sekolah yang didirikan itu bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia pada 11 Februari 1911. Lembaga pendidikan khusus memberikan keterampilan bagi kaum perempuan. Sehingga mereka bisa mandiri dan tidak tergantung dari laki-laki.
Edukasi penting terhadap perempuan terutama untuk anak SMP dan SMA yang sudah dilakukannya pada 2016. Â Kalau pacaran para siswi diajarkan untuk mengatakan tidak ketika dipegang-pegang oleh cowoknya. Â Bahkan termasuk kalau diajak nonton bisa menganggu pelajaran.
Wulan menyampaikan anak laki-laki juga diajarkan untuk menghargai kawananya perempuan. Jangkat angkat rok. Â Wulan mengaku punya dua laki-laki yang dididik dengan keras apa yang tidak boleh pada perempuan.
Poin yang menarik lainnya ialah menggagas Rumah Aman di RW-nya. Menurut Wulan perempuan kerap tidak berani melaporkan perlakuan pelecehan seksual terhadap dirinya. Â Seharusnya para tetangga bisa menjadi orang pertama yang mendengarkan. Â
Untuk itu diperlukan tempat bagi korban di lingkungannya untuk bercerita dan mendapatkan pendampingan dari lingkungannya.
Satu wilayah (RW) bisa menciptakan rumah aman dengan memanfaatkan peran warga. Mereka bisa mendiskusikan rumah siapa saja yang memiliki kamar lebih untuk dipakai sebagai tempat perlindungan, mobil siapa yang bisa digunakan untuk mengantar korban melapor atau ke rumah sakit dan siapa yang menjadi sopir siaga, juga siapa di antara warga yang menjadi pendamping korban.
Catatan saya yang lain yang juga saya ungkapkan ialah konstruksi budaya patriaki yang membuat stigma terhadap perempuan sebetulnya yang paling utama disumbangkan oleh media massa, termasuk film dan sinetron.Â
Media massa-bahkan yang mainstream sekalipun-kerap memberitakan artis, selebgram atau perempuan yang berpakaian disebut seksi bikin warganet salfok. Kalau ada pengrebekan terhadap pasnagan mesum atau pekerja seksual yang ditonjolkan adalah sosok perempuannya, bukan pemakai jasanya yang laki-laki. Â Apalagi yang perempuan merupakan artis. Sekalipun dengan inisial dengan mudah bisa dilacak melalui googling.