Sinetron? Perempuan digambarkan begitu mudah ditindas oleh laki-laki, tidak bisa melapor bila menghadapi Kekerasan dalam Rumah Tangga, tidak ada tetangga yang bisa menolong, yang ada pemilik kontrakan menagih biaya sewa. Bahkan sebagian tokoh tidak punya saudara, kerabat atau teman. Memangnya semua anak tunggal?
Film masih bagus ada sineas yang kritis seperti Kamila Andini, Lola Amaria, Nia Di Nata, yang menyuarakan kesetaraan, namun tampaknya tidak punya pengaruh besar. Yang pernah saya alami sebagai jurnalis malah untuk mendapatkan foto salah satu film karya salah seorang sutradara ini  banyak aturan copyright-nya.  Entah untuk film lain.  Bagaimana mau menyebar edukasi, akses saja sulit?
Dalam diskusi terlontar, Komunitas KOMiK atau Ladiesiana bisa membuat gerakan menciptakan skenario film bertema perempuan, terutama untuk sinetron  Bisa jadi yang  buat skenario orangnya itu-itu saja. Sekalipun saya paham  pesoalannya terkait soal budget dan  lagi-lagi rating. Para pemirsa dianggap orang yang tidak suka berpikir berat, karena hidup memang sudah berat.Â
Saya memberi catatan, saat ini bukankah masih banyak iklan yang menggiring bahwa perempuan cantik itu harus memenuhi kriteria ini dan itu? Bukankah masih banyak lomba ratu-ratu kecantikan sekalipun dikaitkan dengan brain, beauty, behavior untuk menyamarkannya? Bahkan dengan kesetaraan gender?
Mengapa tidak seperti Abang dan None Jakarta atau Mojang dan Jejaka? Di mana laki-laki dan perempuan muda sama-sama berlomba menyampaikan visi dan misi pariwisata, misalnya.
Saya termasuk pesimis bahwa perempuan untuk lepas dari stigma dan persoalan seperti diulas di atas bisa terjadi, selama budaya patriaki kuat.  Apa yang dilakukan kawan-kawan komunitas dan orang yang peduli, termasuk regulasi seperti UU PKS sekalipun gol (saya yakin sulit), hanya bisa meminimalisir (Irvan Sjafari). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H