"Memang dia punya pesawat kecil.  Dia sering kali  bolak-balik  dari Tanjung Jakarta karena punya pesawat pribadi. Biar saya ambil gambar," kata Rini. Lalu dia mengirim ke seseorang.
Keenam laki-laki itu memasuki jembatan kayu yang cukup panjang membuat mereka berada di ketinggian yang cukup memetik apel dan jeruk. Raya, Robin, Rini dan Anom, menjaga jarak agar tidak diketahui. Adanya rombongan lain membuat mereka bisa tersamar.
Jembatan ini berliku seperti angka delapan, tetapi salah satu ujungnya ke lantai dua bangunan. Di sana keenam laki-laki itu masuk. Dari jarak sekitar dua ratus meter, Raya, Robin, Rini dan Anom mengikuti dan memasuki ruangan penginapan. Tetapi di dalam keenam laki-laki itu menghilang. Di sana banyak kamar dan ruangan.
"Sampai di sini. Kita nggak bisa menggeledah. Bisa riuh nanti Kota Mahameru. Mbak Raya dan Mas Robin kembali saja ke hotel," ujar Rini.
"Kota ini tempat asyik untuk main petak umpet. Waktu kecil, marahan sama Ibu dan Bapak waktu libur di sini ngumpet dicari sehari semalam baru ketemu," ujar Raya.
"Dulunya Kak Raya keras kepala, ya" tanya Robin.
"Kalau nggak keras kepala, sudah mampus gue waktu di Bumi," ucap Raya.
                             Â
                                                     *****
Raya dan rombongannya menikmati makan siang serba asparagus yang disediakan Ciciek. Mereka makan di Rooftop menikmati pemandangan Kota Mahameru. Berada pada ketinggian seribu meter tidak terlalu terik, walau tengah hari. Anginnya kencang membuat mata cepat mengantuk, terutama setelah makan.
"Di mana Dik Ciciek menanam asparagusnya?" tanya Raya.