Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pangandaran Masa Hindia Belanda: Menciptakan Wisata Alam

4 Maret 2022   15:13 Diperbarui: 5 Maret 2022   01:00 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pananjung-Foto; Colletie Troppen Museum.

"Kawasan terbersih di Pantai Selatan Jawa.  Untuk mencapainya dari Banjar dengan kereta api dengan mobil. Sementara dari Cilacap Anda bisa menggunakan perahu motor melewati Nusa Kambangan dan desa-desa panggung ke Sungai Kalipucang. Perjalanan kereta api yang paling megah sambil menyaksikan keindahan alam, terowongan yang mewah dan jembatan yang kokoh.

Di sana terdapat monumen alam dan taman hewan antara Dirk de Vries dan Mauritsbaai di dekat hotel. Pantai yang luas, laut yang tenang, gua dan atraksi lainnya, tenang dan sehat, akomodasi liburan yang indah untuk tua dan muda, harga yang adil".

Demikian iklan bertajuk "Badhotel Pangandaran" dimuat dalam "Preanger Bode" 30 Mei 1923.

Sejak  masa Hindia Belanda, Pangandaran menjadi tempat wisata tersembunyi di pantai selatan Priangan karena keterpencilannya. Nama Penanjung, Parigi, Kalipucang di wilayah Pangandaran itu sudah mulai disebut pada awal abad ke 20.

Teluk Penanjung disebut dalam buku  "Onderzoek naar de oorzaken van de mindere welvaart der inlandsche bevolking op Java et Madoera, terbitan 1905 tentang budi daya ikan. Residen Preanger (waktu itu dijabat Gustaaf Adolf Frederik Jan Oosthout: 1903--1907) memberikan catatan bahwa dekat muara sungai lebar di Teluk Penanjung, kawasan Sukapura (masa itu Pangandaran masuk Sukapura)  terdapat kelimpahan ikan yang cocok untuk pemancingan terutama masa musim timur. Tambak alami bisa diciptakan dengan cara membendung air laut.  

Namun akses utama baru dimulai dengan pembangunan jalur kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi pada Juli 1913, sekalipun pada 1909 telah dilaksanakan pengukuran pada jalur tersebut.

Menurut informasi dari KAI. Heritage dalam tulisannya "Jalur Keretapai Banjar Pangnadaran Cijulang, Pembangunan jalur ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian 1) Banjar-Kalipucang dan bagian 2) Kalipucang-Parigi, dengan total keseluruhan sepanjang 82,5 km yang dipimpin oleh Ir. J. K. Lagerway.

Wilayah Banjar-Kalipucang merupakan daerah dataran sedangkan Kalipucang-Parigi merupakan daerah pegunungan. Jalur Banjar-Kalipucang rampung pada  15 Desember 1916 dan dapat dibuka untuk eksploitasi umum.

Jalur tersebut memang diprioritaskan selesai terlebih dahulu mengingat daerah yang dilewati lebih potensial dibandingkan daerah yang dilewati jalur bagian kedua. Pada awal pengoperasian jalur Banjar-Cijulang tersedia dua kali aktivitas pengangkutan kereta api.

Tahun 1918 pembangunan bagian kedua dapat diselesaikan. Dalam rencana semula, Parigi merupakan titik akhir pembangunan. Namun, daerah Parigi kurang cocok sebagai akhir pemberhentian. Akhirnya pemerintah mengusulkan menambah ujung akhir jalur menuju Cijulang sepanjang 5 kilometer.

Ilustrasi-Foto: www.barangtempodoeloe.com/
Ilustrasi-Foto: www.barangtempodoeloe.com/

Cijulang dianggap strategis karena memiliki lembah unik yang dapat meneruskan lajur sampai ke Tasikmalaya atau sepanjang pantai selatan . Pembangunan ke Cijulang selesai  pada 1921 dan dapat digunakan 1 Juni 1921.

Pada jalur Banjar-Cijulang dibangun beberapa terowongan dan jembatan sebagai penghubung. Terowongan yang dibangun antara lain Terowongan Wilhelmina (1.116 m), Hendrik (105), Juliana (147 m), dan Philip (281 m). Sementara itu, dibangun beberapa jembatan di atas Sungai Cipamotan (310 m), Sungai Cipembokongan (299 m) dan Sungai Kabuyutan (176 m). Ketiga bahan material untuk pembangunan jembatan dilakukan melalui Pelabuhan Cilacap.

Terowongan yang terkenal di lintas ini ialah Terowongan Wilhemina yang mulai dibangun pada Februari 1913 dengan menembus Gunung Kendeng. Pembangunan terowongan merupakan solusi alternatif yang diambil insinyur dinas kereta api Staatsspoor (SS) bernama J.K. Lagerwey dalam upayanya menghubungkan jalur kereta api dari Kalipucang menuju Lembah Parigi.

Adapun teknis pembangunan terowongan di ketinggian 58 meter di atas permukaan laut itu dengan cara menggali tanah secara bersamaan pada setiap sisi barat dan timur mulut terowongan. Cara ini sama dengan yang dilakukan dalam pembangunan Terowongan Sasaksaat pada lintas Cikampek-Padalarang.

Penggalian lubang terowongan sejauh 1,1 kilometer itu menemui hambatan berupa batuan andesit yang berada di dalam gunung. Setelah berusaha memecah batuan dengan bor tangan, akhirnya terowongan dapat selesai seluruhnya pada 1916 dan mulai diresmikan penggunaannya sejak 1 Juni 1921. Untuk mengenang jasa ratu Belanda yang berkuasa ketika itu, nama Ratu Wilhelmina diabadikan sebagai nama terowongan.

Laporan perjalanan yang saya temukan dimuat di "Preanger Bode" 25 Agustus 1920 bertajuk "In De Zuid-Oost Preanger" dengan penulis berinisial Slot Volgt  menulis perjalanannya lewat Kapal Soekapoera yang berangkat dari Pelabuhan Cilacap pada pukul sepuluh lagi.

Slot, Sang Penulis berangkat dari Cilcacap sekitar pukul sepuluh pagi dengan menggunakan kapal Soekapoera. Kapal  itu digambarkan mempunyai bangku-bangku dengan terpal untuk meindungi penupang dari terik matahari.

Dia merupakan satu-satunya orang Eropa yang berangkat waktu itu. Slot menceritakan banyak kapal-kapal penangkap ikan di pantai. Berarti masa itu sudah banyak nelayan di Pantai Cilacap. Bau terasi tercium olehnya begitu tajam dibawa oleh angin yang cukup kencang. Laporan ini secara tak langsung mengungkapkan kehidupan kuliner sudah marak waktu itu.

Dari kesaksian Slot, sudah kilang minyak  di Cilaca dan dia melihat panorama bagian dari  Nusa Kambangan di mana  terdapat beberapa rumah, kebun pisang dan pekerja paksa dan penjaga. Dia melihat panorama pohon nipa (sejenis palem) dan bakau di tepi pantai yang digoyang oleh hembusan angin dan menimbulkan riak-riak di atas air.

Sekitar satu setengah jam perjalanan, Slot menyaksikan pemandangan sbeuah desa nelayan dengan rumah-rumah panggung yang tampak suram dan di sana ada jembatan untuk menghubungkan dengan perahu-perahu yang ditambatkan.

"Kita seperti melihat film di bioskop (pada waktu itu sudah ada)  begitu banyak bidikan alam dari negeri yang jauh di mana kita tidak akan pernah pergi, dan di sini di dekat kita ada pemandangan alam yang begitu indah, menunggu untuk ditangkap oleh operator film."

Dalam laporan perjalanan itu disbeutkan beberapa lokasi seperti Desa Klaces, masih dalam wilayah Cilacap, Muara Citanduy, Muara Ciseel, Nusa Were (Nusa Wiru) dan melewati Teluk Maurits, Pananjung.

Sang Penulis turun  ke sekoci dengan 5 atau 6 orang pendayung. Begitu  tiba di Pananjung kemudian mencari pasanggrahan yang disebut dalam tulisan itu milik Pemerintah Hindia Belanda. Dia melihat sebuah tanjung yang  dipisahkan dari dataran utama antara dua teluk dengan jalan tanah yang lebarnya hanya sekitar dua ratus meter. 

"Hebat! Ada tebing kapur menjulang di depan pasanggrahan. Di sebelah kanan, sebuah tanjung menunjuk ke laut, benar-benar tenggelam, dimahkotai dengan sebuah pondok, di mana banyak pegawai negeri yang lelah mencoba melupakan kekhawatirannya dengan pancing di tangan,"  ucap Slot dalam tulisannya.

Pepohonan yang lebat menutupi bebatuan, gua dengan air yang menetes dari langit-langit menciptakan batu kapur bergerigi dan kolam berbentuk gajah. Namun untuk menjelajah  gua itu dibutuhkan pemandu dengan obor. Di gua masih ada kelelawar yang segera terbang menjauh begitu ada yang memasuki gua.

Slot mengungkapkan sudah ada jalur trem yang dimulai dari Banjar dan sudah beroperasi ke Kalipucang. Jalur itu melewati Parigi dan Cijulang.  Terdapat juga hotel sederhana namun rapi, kantor konstruksi Banjar-Cijulang, dengan insinyur berkebangsaan Ceko-Slowakia. 

Menurut kesaksian, terdapat sebuah rumah sakit berdiri dengan dokter pribumi mengadakan rawat jalan beberapa kali seminggu untuk merawat pekerja yang terluka. Pada masa itu penyakit malaria masih menjadi masalah bagi mereka yang tinggal di Pangandaran.

Sebagai catatan, perusahaan transportasi dan perdagangan Soekapoera sudah melayani rute Cilacap-Pangandaran jauh sebelum ini. "Bataviaasch Nieuwsblad" edisi 7 Desember 1918 sekalipun memberitakan soal biaya pemeliharaan kapal. Namun juga memuat informasi bahwakapal uap melayani perjalanan dua kali seminggu dan sudah hadir paling tidak sejak Januari 1915.

Pananjung-Foto; Colletie Troppen Museum.
Pananjung-Foto; Colletie Troppen Museum.

Setelah adanya transportasi kereta api hadir.  Ada beberapa laporan  perjalanan lagi, di antaranya  di yang ditulis Reisma bertajuk "From Bandjar to Parigi"  yang dimuat dalam "Van Stockum's Traveller Handbook", Dutch East Indie, 1930 melukiskan perjalanan wisata pada masa Hindia Belanda.

Reisma melukiskan perjalanan menuju Parigi menempuh perjalanan dari Banjar menggunakan jalur kereta api  ke arah Maos (Cilacap). Perjalanan melalui pemandangan yang kurang menarik karena melewati daerah berawa.  Dia memutuskan singgah di Parigi dengan bantuan Bupati Tasikmalaya.

"Ada sebuah pesanggrahan yang baik di Semenanjung Penanjung, sebuah tanah genting yang berbatasan dengan Teluk Dirk de Vries dan Teluk Maurits. Pangandaran beberapa gua kapur yang mempersona  dan pemandian laut yang baik,"  ujar Reisma

Dalam tulisan lain  yang dimuat dalam "Zwerftochten door Indie" terbitan 1941  Reisma menceritakan perjalanan berikutnya ke Pangandaran dengan menggunakan kereta api dari Banjar ke Parigi.  Dia menyaksikan rumah panggung nelayan di Kalipucang  dan melewati panorama bebatuan dekat pantai.

Semenanjung pegunungan Pangandaran berhutan lebat dan dinyatakan sebagai monumen alam dan rumah bagi para banteng.  Semenanjung ini terhubung ke daratan oleh sebidang tanah berpasir yang sempit, di mana para insinyur kereta api mendirikan gedung dari kayu .

Teluk Dirk de Vries (salah satu bagian dari pantai Pangandaran masa itu) terletak seratus meter di depan galeri akomodasi tamu. Seratus meter di belakang  pesanggrahan, Samudra Hindia mendorong ombaknya di sepanjang tanjung ke Teluk Maurits..

"Anda bisa mandi di kedua sisi pasanggrahan dan membiarkan ombak besar menghantam pasir putih.  Di Pangandaran ombak menghempas bebatuan. Betapa indahnya, dari pasanggrahan untuk melihat ombak besar yang melaju kencang, tidak pernah berakhir, ke pantai selatan Jawa, sementara  di luar terdapat hutan bakau dan pegunungan yang  menjulang," paparnya.

Para pelancong bisa menikmati matahari terbit dalam nuansa lembut dari Teluk Maurits pada  pagi hari dan melihatnya terbenam dalam warna-warna cerah di malam hari. Reisma menyatakan kawasan ini seperti surga bahkan di atas Biarritz (kota pantai di Prancis waktu itu).

Reisma mengatakan, para pelacong  membeli hasil tangkapan nelayan berupa cumi-cumi dan hiu martil kecil  Tidak ada radio dan surat kabar, tetapi mereka menyatu dengan alam dan sangat bahagia.  Di Pangandaran, kadang rusa turun dan bermain dengan bayangan mereka di pantai, tetapi tiba-tiba menghilang saat para nelayan bergerak hampir tanpa suara ke perahu mereka

Pada  1922, Residen Priangan  August Johan Herman Eijken (menjabat pada 1921--1925) menjadikan  Pananjung sebagai  taman baru, pada saat melepaskan seekor banteng jantan, tiga ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa.

"Preanger Bode" 25 Mei 1922  memberitakan perjalanan Residen Priangan dengan sejumlah pejabat ke Pangandaran melalui kereta api.  Rombongan bermalam di Pesanggarahan bernama Wee Wee untuk kemudian ke Cilacap dengan kapal motor, untuk kembali ke Pangandaran.   Berita itu menyebutkan rencana membuat semacam taman satwa di tanah genting Pananjung. Eyken membeli tanah pertanian di Pananjung, Pangandaran, kemudian memindahkan penduduknya untuk memudahkan rencananya.

Nalurinya benar. Adanya suaka margasatwa itu menjadikan Pangandaran  menarik untuk dikunjungi, terutama mereka yang menyuakai wisata alam. "Preanger Bode" edisi 9 Desember 1922 memuat pemberitahuan  rencana sebuah komunitas wisata  alam akan melakukan tamasya ke semenanjung Pananjung dan Pangadaran saat Natal itu.

Selanjutnya daerah tersebut dikelola sebagai daerah perburuan pada 1931. Masih belum dipahami kebijakan apa yang mendorong tempat yang tadinya  jadi habitat hewan yang nyaman, menjadi tempat perburuan.

Namun pada perkembangan perburuan liar dikhawatirkan menghabiskan hewan. Untuk itu diperlukan tindakan agar habitat keanekaragaman satwa dan jenis -- jenis tanaman langka, dapat terjaga.  Pada Desember 1934 Pananjung dijadikan suaka alam dan marga satwa melalui  sebuah keputusan (Bersluit)  dengan luas 530 Ha (Soerabaijasch Handelsblad, 12 Desember 1934).

Sekalipun sudah jadi tempat wisata, Pangandaran masih terbilang sepi. Hingga 1935 penduduk Pangandaran sekitar  sekitar 20.000 jiwa termasuk 998 orang Cina dan 68 orang Eropa.  Arsip-arsip Belanda mengungkapkan Banjar dan Pangandaran masih jarang penduduknya, meskipun imigrasi di daerah tersebut tinggi.  Di tempat sepi dan  terpencil ini, cikal bakal sebuah tempat wisata telah tercipta, pantai yang bersih dan sebuah suka margasatwa yang cocok bagi mereka yang mencintai alam.

Irvan Sjafari

(Bagian pertama dari  serial Sejarah Pangandaran)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun