"Kita seperti melihat film di bioskop (pada waktu itu sudah ada) Â begitu banyak bidikan alam dari negeri yang jauh di mana kita tidak akan pernah pergi, dan di sini di dekat kita ada pemandangan alam yang begitu indah, menunggu untuk ditangkap oleh operator film."
Dalam laporan perjalanan itu disbeutkan beberapa lokasi seperti Desa Klaces, masih dalam wilayah Cilacap, Muara Citanduy, Muara Ciseel, Nusa Were (Nusa Wiru) dan melewati Teluk Maurits, Pananjung.
Sang Penulis turun  ke sekoci dengan 5 atau 6 orang pendayung. Begitu  tiba di Pananjung kemudian mencari pasanggrahan yang disebut dalam tulisan itu milik Pemerintah Hindia Belanda. Dia melihat sebuah tanjung yang  dipisahkan dari dataran utama antara dua teluk dengan jalan tanah yang lebarnya hanya sekitar dua ratus meter.Â
"Hebat! Ada tebing kapur menjulang di depan pasanggrahan. Di sebelah kanan, sebuah tanjung menunjuk ke laut, benar-benar tenggelam, dimahkotai dengan sebuah pondok, di mana banyak pegawai negeri yang lelah mencoba melupakan kekhawatirannya dengan pancing di tangan," Â ucap Slot dalam tulisannya.
Pepohonan yang lebat menutupi bebatuan, gua dengan air yang menetes dari langit-langit menciptakan batu kapur bergerigi dan kolam berbentuk gajah. Namun untuk menjelajah  gua itu dibutuhkan pemandu dengan obor. Di gua masih ada kelelawar yang segera terbang menjauh begitu ada yang memasuki gua.
Slot mengungkapkan sudah ada jalur trem yang dimulai dari Banjar dan sudah beroperasi ke Kalipucang. Jalur itu melewati Parigi dan Cijulang. Â Terdapat juga hotel sederhana namun rapi, kantor konstruksi Banjar-Cijulang, dengan insinyur berkebangsaan Ceko-Slowakia.Â
Menurut kesaksian, terdapat sebuah rumah sakit berdiri dengan dokter pribumi mengadakan rawat jalan beberapa kali seminggu untuk merawat pekerja yang terluka. Pada masa itu penyakit malaria masih menjadi masalah bagi mereka yang tinggal di Pangandaran.
Sebagai catatan, perusahaan transportasi dan perdagangan Soekapoera sudah melayani rute Cilacap-Pangandaran jauh sebelum ini. "Bataviaasch Nieuwsblad" edisi 7 Desember 1918 sekalipun memberitakan soal biaya pemeliharaan kapal. Namun juga memuat informasi bahwakapal uap melayani perjalanan dua kali seminggu dan sudah hadir paling tidak sejak Januari 1915.
Setelah adanya transportasi kereta api hadir.  Ada beberapa laporan  perjalanan lagi, di antaranya  di yang ditulis Reisma bertajuk "From Bandjar to Parigi"  yang dimuat dalam "Van Stockum's Traveller Handbook", Dutch East Indie, 1930 melukiskan perjalanan wisata pada masa Hindia Belanda.
Reisma melukiskan perjalanan menuju Parigi menempuh perjalanan dari Banjar menggunakan jalur kereta api  ke arah Maos (Cilacap). Perjalanan melalui pemandangan yang kurang menarik karena melewati daerah berawa.  Dia memutuskan singgah di Parigi dengan bantuan Bupati Tasikmalaya.