Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyoal Usia Minimal Pernikahan Perempuan, Catatan Sejarah

15 Januari 2022   21:40 Diperbarui: 15 Januari 2022   21:46 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://bolastylo.bolasport.com/Sisterhood is Global Institue

Demonstrasi ini reaksi terhadap sebuah perkawinan paksa yang melibatkan rekan mereka seorang pelajar putri berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku SMP Kelas I dengan laki-laki berusia 60 tahun. Orangtua si Gadis memaksakan perkawinan ini. Utusan mereka diterima oleh Kepala Daerah Kabupaten Cianjur (Pikiran Rakjat, 8 Oktober 1953).

Di Kota Bandung dalam "Pikiran Rakjat", 22 Oktober 1953 seorang perempuan bernama Sugiyanti menyoal sejumlah bentuk kawin paksa. Poligami yang dianggapnya sebetulnya bagian dari kawin paksa. Dia juga menyinggung pasangan pemuda dan pemudi satu sekolah yang saling mencintai kandas karena orang tua si pemuda tidak sederajat denagn si pemudi. Oleh orangtuanya dipaksa kawin dengan pemuda yang sederajat.

Sugiyanti juga menuntut perempuan harus diberdayakan Karena Pasal 38 UUD 1945 mengamanatkan pemerintah agar etiap warganegara mendapatkan pekerjaan yang layak. Itu artinya perempuan sebagai warganegara juga juga harus mendapatkan pekerjaan yang layak.

Hal senada juga diungkapkan Nji E.KS Ananda dalam Pikiran Rakjat 24 september 1953 bahwa banyak perempuan tidak mengetahui kedudukan istri dalam hukum maupun Agama Islam, hingga dia merasa berat kalau dicerai.

Namun tingginya angka perceraian tampaknya tidak bisa diatasi. Pada Februari 1956 Kantor Urusan Agama Jawa Barat mengumumkan bahwa angka perkawinan di provinsi tersebut  selama 1955 merosot jika dibandingkan pada 1954.

Menurut laporan  yang dimuat di "Pikiran Rakjat" 15  Februari  1956, sebaliknya angka perceraian meningkat. Pada 1955 tercatat 343.237 perkawinan dan jumlah perceraian 225.632.

Artinya jumlah perceraian dari segi presentase sebesar 65,6%dari jumlah perkawinan, suatu angka yang besar dibanding dengan negara lain sekalipun pada masa itu. Dari jumlah itu tercatat angka rujuk sebesar 19.587.

Sebagai catatan, pada 1954 angka pernikahan 316.875 dan talak sebesar 218.879 atau 63% dari jumlah perkawinan dan yang rujuk 18.272. 

Pada  pertengahan Mei 1957 beberapa anggota parlemen (DPRDP)PropinsiJawa Baratpada mengajukan resolusi tentang masalah perkawinan.

Mereka adalah Ny. Sutarsih Rachman, Ny.Tajhjati Setiasih, H. Mansyur dan A.H. Sjaronimendesak pemerintah pusat perlunya peraturan kepentingan kesehatan keturunan, tindakan jual beli dan perbuatan sewenang-wenang terhadap perempuan.

Seperti dilansir "Pikiran Rakjat", 16 Mei 1957, mereka mengecam maraknya perkawinan di bawah umur, hingga perkawinan jual beli yang memaksa anak perempuan menikah dengan laki-laki yang bukan pilihannya sendiri sebagai pembayaran hutang orang tua perempuan atau bantuan mengerjakan tanah, hingga poligami yang tidak sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun