Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pejabat Desa Korupsi Ingin Jadi "Sultan", Dipicu Media?

10 Desember 2021   11:06 Diperbarui: 10 Desember 2021   11:22 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia mengingatkan saya pada anggota parlemen 1950-an seperti Natsir, Syahrir yang menurut kesaksian senior saya yang hidup di era suka pakai kain sarung sehari-hari, mobil dan rumah dinas dikembalikan ketika tidak lagi menjabat.

Cara lain anggota DPR (juga jadi pejabat) sebaiknya sebaiknya sudah mapan dulu sehingga tidak mikir soal cuan.  Persoalan kalangan mapan kadang tidak bisa membawa aspirasi dari kalangan bawah karena tidak merasakan penderitaanya.

Jadi perlu ada wakil buruh, mantan aktivis mahasiswa atau orang biasa saja yang tahu persoal suatu kelompok misalnya UKM, sopir angkutan umum, nelayan  digaji negara untuk memperjuangkan aspirasi kelompoknya.

Gajinya nggak boleh dipotong di luar pajak. Tetapi dia diminta untuk tidak menerima penghasilan lain. Kecuali dia sebelumnya  sudah punya usaha yang bisa dijalankan istrinya atau dia jadi pengajar.  Yang dimaksudkan penghasilan lain ialah, menjadi pembicara seminar, menerima gratifikasi dengan alasan apa pun.

Wakil rakyat tidak  perlu banyak keluar modal, tetapi diusung dan kampanyenya dibiayai konstituennya dengan kontrak tertulis dengan konsekuensi hukum jika melanggar bisa dituntut mundur, kalau bisa dengan ketentuan pidana penipuan.   

Begitu juga dengan pejabat, gaji saja dengan layak, dapat fasilitas dan jika dia jadi wakil partai, partainya jangan menjadikannya ATM.  Begitu juga dengan Kepala Desa, ya gaji saja sesuai kebutuhan hidupnya. Kalau punya usaha sebelumnya jalankan saja. Hanya jangan manfaatkan jabatan untuk membesarkan usaha. 

Orang-orang ini tinggal di rumah dinas (jika tidak punya rumah), kalau pun punya mobil yang biasa saja, yang bisa dibeli oleh mereka yang berpenghasilan sekitar Rp10 hingga Rp20 juta secara kredit.

Mengapa anggota parlemen  dan pejabat 1950-an tidak banyak yang melakukan korupsi.  Bukan saja karena jiwa nasionalisme tinggi, tetapi waktu itu belum ada televisi dan film Indonesia tidak menampilkan kehidupan mewah secara menyolok. 

Bahkan hingga 1970-an sebetulnya juga begitu.  Acara televisi dan film masih menampilkan kehidupan sederhana.  Kalau pun ada orang kaya dipandang sinis. Korupsi masa Orde Baru hanya  terjadi di kalangan elite tidak menjalar sampai ke desa. 

Bahkan hingga 1980-an dan 1990-an awal saya masih bertemu dengan selebritis, anak pengusaha besar naik metromini dan kereta api commuter pulang ke rumahnya.

Sekarang, selebritis makan di tempat premium yang harga makanannya sama dengan UMP buruh dijadikan tontotanan dan itu merangsang orang-orang ramai jadi selebritis dengan cara instan dan pejabat juga ingin seperti itu.  Ya, sudah jangan salahkan orang Desa pun ingin jadi "Sultan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun