Media massa mau cetak, online, televisi juga menampilkan orang kaya di tayangannya. Media massa menyebut selebritis ini sebagai "sultan" dengan puja dan puji.  Perkawinan selebritis (yang mewah) dijadikan tontonan).
Untungnya masih ada film layar lebar seperti" Galih dan Ratna" (itu karena berdasarkan novel 1980-an) tokohnya mau naik angkot, "Dua Garis Biru", Â walaupun ada tokoh anak orang kaya, tapi masih mau naik angkot dan tidak menjaga jarak dengan kelas sosial di bawahnya.
Mengapa tidak dipromosikan tokoh-tokohnya naik Transjakarta, MRT atau kereta commuter, kalaupun pun harus punya mobil, ya jenis Avanza, Xenia yang bisa dibeli dengan kredit? Semua bisa dilakukan dengan wajar.Â
Apa yang terlintas di benak pejabat dari atas hingga ke desa dihujani tayangan promosi kemewahan seperti itu tiap hari? Begitu juga di berita online bahkan media sosial. Kalau ingin berwibawa ya harus tampil mewah, tinggal di rumah mewah, naik mobil yang jalannya "smooth".Â
Tidak heran, kalau Kepala Desa juga ingin seperti itu, setidaknya jadi elite di desanya dan itu menjalar ke seluruh Indonesia.Â
Selain itu untuk mendapat jabatan ya tentunya butuh modal dan ada yang memodali dan ketika terpilih harus kembali. Ketika sudah jadi pejabat atau anggota parlemen ya harus mempertahankannya, kalau dengan dermawan kepada konstituen.Â
Ya, dari mana biaya hidupnya, ya dari lobi-lobi, jualan pasal dalam membuat kebijakan dan sebagainya  seperti yang  KPK kerap lakukan OTT
Celakanya rakyat tidak peduli terhadap korupsi karena memang tidak berakibat langsung pada mereka. Â Hingga mereka tetap senang menyambut wakil rakyat ketika pulang ke daerahnya. Mereka juga mendapatkan uang Â
Harus dibuat sistem agar wakil rakyat profesional hidup dengan gaji yang ditetapkan. Nggak boleh ada setoran untuk partai, karena seharusnya partai itu dibiayai konstituen.
Wakil rakyat  agar bisa kerja untuk konstituen tetap harus digaji layak. Kalau gaji nggak dipotong dan ada rumah dinas, mobil dinas (yang harus dikembalikan sesudah tidak menjabat) nggak ada alasan untuk korupsi.
Media massa harus mengangkat tokoh-tokoh anggota dewan (mudah-mudahan ada) ke kantor naik angkutan umum, tinggal di rumah yang biasa saja. Saya dulu punya narasumber favorit seorang anggota DPR tahun 1990-an Aberson Marle Sihaloho yang mudah ditemui di kediamannya yang biasa saja. Â