Pimpinan Pesantren Al-Ittifaq, Dandan M Falah pada April lalu pernah mengatakan hasil agribisnis para santri dan pengasuh di pondok pesantren, banyak komoditas pertanian yang didapatkan, di antaranya sayuran dataran tinggi tomat, wortel, dan kentang, sayuran spesifik (kale, daun-daunan, pakcoy, dan jenis sayuran lainnya yang ada di restoran Chinese Food dengan total 120 komoditas.Â
Terdapat juga produksi Jeruk Dekopon, Stroberi, Golden Berry. Di bawah pengelolaan koperasi di pesantren itu, mampu meraih omzet ratusan juta rupiah per bulan dan aset sekitar Rp49 miliar.
Semua sayuran yang didapatkan dari hasil agribisnis di jual ke pasar tradisional, supermarket maupun rumah sakit.Â
Hasil dari bisnis agribisnis, bilang dia, akan digunakan untuk operasional pesantren, biaya kehidupan santri, dan sebagainya. Â Bahkan terdapat santri yang tidak dipungut biaya sama sekali, baik kesehatan dan pendidikan mereka ditanggung oleh pesantren.
Lebih jauh sebelum itu kalau definisi santri diperluas menurut terminologi klasik yang diungkapkan Cliford Greetz maka santripreneur sudah lama ada.Â
Greetz mengidetifikasikan santri sebagai dalam pelaksanaan yang cermat dan teratur ritual-ritual pokok agama Islam, seperti salat lima kali sehari, salat Jumat, berpuasa selama Ramadan, dan menunaikan ibadah haji, juga dimanifestasikan dalam kompleks organisasi-organisasi sosial, amal dan politik seperti Muhammadiyah, Masyumi dan Nahdhatul Ulama.
Nilai-nilai bersifat antibirokratik, bebas dan egaliter. Varian santri diasosiasikan dengan pasar. Ini mengandung arti adanya analogi varian agama santri di Jawa dan semangat Protestanisme di Eropa menurut Max Weber.
Selain itu sudah ada beberapa penelitian ilmiah dari para sejarawan seperti Kutowidjojo, Christen Dobbin yang bisa dijadikan referensi, tentang para pengrajin batik, perak dan usaha lain di sejumlah kota di Jawa pada Hindia Belanda. Mereka punya etos kerja.
Sejarawan Kuntowidjojo misalnya menelaah bahwa sejak awal abad ke 20 terjadi kebangkitan borjuis pribumi di 102 daerah perkotaan di Jawa tempat 8,51% penduduk Jawa dan Madura tinggal. Kelas baru ini terdiri dari kaum pengusaha dan cendikiawan yang menguasai cakrawala kehidupan kota.
Mereka menggeser pengaruh kaum bangsawan dan pangreh praja yang disebut sebagai golongan priyayi-kecuali di Surakarta dan Yogyakarta. Sejarah mencatat kemunculan Sarekat Dagang Islam pada 1911 (ada sejarawan yang menyebut sejak 1905) didorong semangat kewirausahaan santri.