Kalau ditanya buku kesayanganku pada masa anak-anak, kalau yang disebut anak-anak itu di bawah umur 12 tahun, maka saya akan menjawab komik karya George Remi alias Herge, yang bertajuk "Tintin, Rahasia Pulau Hitam" (kemudian disederhanakan jadi "Pulau Hitam") yang diterbitkan Indra pertama kali di Indonesia era 1970-an.
Apa yang membuat saya langsung terpikat pada Tintin? Pada waktu usia, anak-anak saya kira-kira Tintin adalah anak remaja yang suka berpetualang dengan anjingnya bernama Snowy. Cerita dibuka  ketika Tintin berjalan-jalan di suatu distrik di Inggris melihat pesawat tak bernomor mendarat di suatu lapangan rumput.
Rasa ingin tahunya membuatnya ingin mendekat. Awaknya dua orang, yang satu memperbaiki kerusakan mesin dan yang lain mengawasi keliling. Tintin langsung ditembak hingga dirawat di rumah sakit.
Tindakan itu justru membuat Tintin ingin menuntas rasa ingin tahunya, melakukan penyelidikannya, yang membawanya menjelajahi Inggris hingga Skotlandia dan berhadapan dengan satu komplotan pemalsu uang.
Penelusuran Tintin membawanya harus mengunjungi  Pulau Hitam, lepas pantai sebuah desa nelayan, kawasan Skotlandia. Konon, mereka yang pergi Pulau Hitam tidak pernah kembali karena ada hantu. Tak ada nelayan yang mau mengantarkan dia ke pulau itu, Tintin membeli motor boat dan nekat ke sana.Â
Klimaks yang bagus, karena pulau itu kamuflase komplotan pemalsu uang yang memelihara gorila untuk menyerang orang yang datang baik sengaja maupun tidak sengaja.
"Tintin Rahasia Pulau Hitam" menjadi buku pertama kesayangan saya yang dibaca berkali-kali. Kemudian saya tahu bahwa Tintin itu profesinya wartawan, asyik ya, menjadi wartawan itu dan Tintin yang menjadikan saya mengubah cita-cita yang tadinya kebanyakan, seperti jadi dokter, guru, menjadi jurnalis. Â Apalagi setelah membaca lanjutan Tintin.
Sekalipun ketika lebih besar sudah ada pertanyaan Tintin itu wartawan di media mana? Dari mana mendapatkan uang untuk jalan-jalan? Latar belakang keluarganya? Â Belakangan George Remi itu memang pandu dan jurnalis yang membuatnya ceritanya runtut.
Tapi Tintin memenuhi syarat menjadi jurnalis rasa ingin tahu, kalau saya dalami ketika sudah menjalani profesi jurnalis apa yang dilakukan Tintin tergolong  jurnalisme investigasi, di mana wartawan bertindak seperti detektif.  Tidak semua wartawan punya kemampuan tersebut.
Tintin itu sebangun dengan sosok wartawan  Mikael Blomkvist, dalam novel "The Girl with Dragon Tatoo", dengan dua sekuelnya  rekaan penulis Swedia Steig Larsson. Kemudian Akmal Nasery Basral, novelis Indonesia juga menuli trilogi Imperia dengan sosok rekaaanya "Wikan Larasati".Â
Jurnalisme investigasi sosok wartawan yang ditawarkan  kedua penulis ini bagus karena mereka juga berlatar belakang wartawan. Baik Herge, Steig, maupun Akmal  sama-sama menggambarkan sosok wartawan bukan profesi yang "petantang-petenteng" bawa kamera dengan topi pet atau nyentrik seperti gambaran dalam film dan sinetron Indonesia, saya geli melihatnya.Â
Setahu saya kalau perlu wartawan itu tidak terendus  ketika sedang melakukan investigasi, bahkan melakukan penyamaran.Â
Tintin, Mikael Blomkvist, maupun Wikan sama-sama bukan sosok jagoan, yang nggak pernah kalah, ya, tetap manusiawi, bisa "cengeng", kalah berkelahi, ditawan hingga cidera.
Hal kedua, membuat saya terpikat ialah Herge menyelipkan humor dalam berapa adegan komiknya. Dalam "Rahasia Pulau Hitam", ada adegan di mana Thomson dan Thompson, dua detektif naik pesawat capung fokker dan memaksa mekanik yang sebetulnya bukan pilot menerbangkan pesawat.
Akibatnya pesawat capung melakukan manuver di udara di mana salah seorang dari mereka terjatuh dan ditangkap lagi. Pesawat jatuh dan terhempas. Kebetulan ada kejuaraan akrobatik pesawat dan mereka menjadi pemenangnya.
Lainnya yang saya ingat, adegan di reruntuhan puri di mana Gorila yang mengejar Tintin tidak mempan ditimpuk batu, tetapi takut pada Snowy hingga jatuh bergulingan menimpa kawanan penjahat. Slapstik memang.
Lainnya adalah Tintin memakai kostum tradisional Skotlandia yang seperti rok perempuan, kedai yang menjadi tempat nongkrong dengan bir, hingga puri ala abad pertengahan di Pulau Hitam. Tentu Herge tidak sekadar mengkhayal, dia melakukan riset dulu mengunjungi Skotlandia.
Kalau dari seting sejarahnya, rasanya sezaman saya kecil (1970-an) dilihat dari televisi (yang masih hitam putih), mobil dan pesawat. Belakangan saya membaca versi aslinya itu sebelum Perang Dunia ke II, tentunya beda. Â Herge mengupdate untuk pembaca era 1970-an. Â Di sinilah kelebihan lahin dari Herge menghasilkan komik yang tidak saja gambarnya indah, tetapi cerdas. Â
Irvan Sjafari
Kredit Foto:
Rahasia Pulau Hitam kredit foto:
downloadtintinfree.blogspot.com
bedetheque.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H