Pada perkembangannya Kaum Padri menganggap superioritas kedamaian pemerintah lemah dan selama 1824 . Kaum Padri tidak hanya menyerang Kaum Adat tetapi juga pos-pos Belanda dan bahkan mengancam kontak antara negara-negara Hilir dan Atas melalui jalur pegunungan Ambatjang, Namun Pasukan Padri  dipukul mundur ke mana-mana.
Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin mampu menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau. Â Laemlin terluka dalam sebuah pertempuran dan meninggal dunia di Padang pada Desember 1824.Â
November 1824, melalui mediasi seorang Arab, sebuah kedutaan kepala padri datang ke Padang, dengan siapa kesepakatan dibuat, menetapkan bahwa perang tidak boleh dilancarkan. Para pemimpin akan diakui oleh pemerintah, yang membuat komitmen untuk tidak memperdulikan masalah agama.
1825-1830 Â Belanda Defensif
Pada masa 1825-1830, ditandai dengan meredamnya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan gerakan Paderi pada  29 Oktober 1825. Pada masa ini (1824-1829, karena Raaf Sudah meninggal maka dia di gantikan oleh Kolonel Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers.  Â
Tidak banyak pertempuran terjadi, Kaum Padri tidak mengetahui maskud Belanda mengadakan perjanjian, yaitu memusatkan perhatian menghadapi Perang Diponegoro pada 1825-1830.  Hanya ada beberapa insiden yang menewaskan J. Bergman, Letnan Dua Infanteri J. Bergman  pada 10 Januari 1827 di Pantai Barat Sumatera dan Letnan Dua Infantri P. Van Baak pada 18 Desember 1827 di Airbangis.
Pada 1829 De Stuers menyerahkan fungsinya sebagai residen ke Mac Gillavry dan Kapten Rochemont mengambil alih sebagai komandan militer. Â Negosiasi dimulai dengan beberapa ulama gagal dan operasi militer berikutnya berakhir dengan tidak menguntungkan, mengancam kontak dengan Dataran Tinggi.
1830-1832, Imam Bonjol Jadi Pimpinan Utama Kaum PadriÂ
Perompak dari Aceh juga datang untuk memblokir pos di Air Bangis yang juga diancam oleh Kaum  Padri. Dalam keadaan seperti ini, Letnan Kolonel Elout, yang saat itu diangkat sebagai residen dan komandan militer, tiba di Padang pada  4 Maret 1831. Â
Serangan tentara Padri main gencar.  Belanda kehilangan seorang perwira lagi, Letnan Dua Infantri JWH Everts  dalam suatu pertempuran pada 5 September 1831 di  wilayah Tapanuli, bagian Pantai Barat Sumatera.
Karena situasinya tetap mengerikan dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda  menyetujui usulan De Stuers, penduduk pantai Barat Sumatera, bahwa gangguan yang sedang berlangsung harus diakhiri, diputuskan bahwa Lintau, Bonjol, Lima Puluh kota dan XIII  Koto Kampar harus diduduki.