Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Geng dalam Sekolah Sejak Kapan?

3 Mei 2021   04:30 Diperbarui: 3 Mei 2021   06:23 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Geng yang menjadi topik pilihan di Kompasiana ini tampaknya mengacu pada geng di dalam sekolah, lebih spesifik lagi pada masa remaja, tepatnya waktu SMA. Apakah saya ikut bergabung di geng, jawaban, iya sewaktu saya duduk di bangku SMA 1983-1986. Jadi setidaknya geng di sekolah sudah marak sejak awal 1980-an 

Saya masuk jurusan IPS di mana nyaris seratus persen dari empat kelas bergabung di geng tersebut dengan pimpinan informal. Di SMA saya, setiap angkatan punya geng, sementara di angkatan saya siswa jurusan IPA juga punya geng yang lebih kecil, karena sebagian anak IPA bergabung dengan geng yang berbasis di IPS.

Apakah ada bentrokan? Iya, beberapa kali dan masih dalam taraf wajar bahkan juga dengan angkatan di bawah saya. Apakah ada perkelahian dengan siswa sekolah lain? Seingat saya berapa kali indisidentil saja dan bukan dalam taraf tawuran masif yang merusak seperti yang terjadi antar sekolah di Jakarta era 1980-an hingga 1990-an.

Apakah ada manfaatnya? Iya, geng kami punya klub basket, punya grup musik hingga punya divisi kegiatan sosial (walau tidak pernah jalan, tapi niatnya baik). Aktivitas basket dan musik bahkan berjalan dengan baik.

Geng juga melahirkan kepemimpinan informal yang lebih dipatuhi siswa dibanding pimpinan formal (OSIS), yang waktu zaman saya pimpinannya ditunjuk guru berdasarkan nilainya yang bagus, bukan pimpinan yang punya leadership dan berakar di kalangan siswa.  

Selain itu  tidak satu pun anggota geng yang punya masalah dengan narkoba atau terlibat tindakan kriminal yang pasalnya ada di KUHP.

Saya membedakan antara kenakalan remaja dan kriminal remaja. Kalau anak sekolah membolos, berkelahi satu lawan satu yang seimbang, bukan menganiaya, itu masih kenakalan. Tapi kalau sudah melakukan penganiayaan terhadap siswa yang tidak berdaya, apalagi narkoba itu sudah kriminal dan bukan kenakalan.

Karena bias dengan tindakan kriminal dan saya yakin bisa kena pasal KUHP, kalau polisi mau menindaklanjuti, maka citra geng di SMA menjadi begitu buruk. Tawuran begitu brutal dengan senjata tajam, layaknya geng kriminal, bahkan lempar batu kerap menciderai masyarakat umum. 

Saya bertemu dengan seorang korban tawuran yang bukan anak sekolah, karena di naik bis, kaca bis pecah kena batu dan matanya buta sebelah. Sudah melakukan perusakan terhadap properti orang lain, membuat cacat juga.

Saya pernah menyaksikan serombongan pelajar seenaknya menghentikan kopaja untuk mencari lawannya  dan pernah menyaksikan serombongan pelajar mengeroyok pelajar lainnya dengan pisau cutter di dalam bus penuh penumpang.

Nama-nama geng di berbagai SMA di Jakarta yang mentereng menjadi menyeramkan dan citranya buruk karena kerap terkait perundungan bahkan penganiayaan, hingga tawuran.

Kalau demikian, maka geng dalam citra negatif itu tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan crossboy (dan crossgiril) tahun 1950-an akhir hingga awal 1960-an di Jakarta, Bandung dan kota-kota lain.  Mereka menggunakan celana ketat, jins ketat dan kenakalannya dinilai melampaui batas.

Diduga ini didorong pengaruh film Hollywood masa itu seperti "Rebel With A Cause" (1955)  yang dibintangi James Dean. Para crossboy ini kemudian tidak saja ditindak oleh polisi, tetapi juga militer dan mereka ditangkap di bioskop atau di tempat umum dan masuk "pendidikan".

Hanya saja dulu geng di sekolah yang menjurus kriminal  tidak saya temukan dalam berita di surat kabar 1950-an hingga 1960-an (mungkin ada tidak mencolok). 

Penelusuran Detik menyebutkan geng di SMA, terutama di Jakarta  baru marak menjadi pretisius sejak akhir 1970-an. Nama gengnya pun sungguh unik. Ada yang bernuansa militer, nama kawasan tongkrongan, bahkan yang terkesan gaul, funky dan girlie. 

Penyebabnya? Saya menduga itu pengaruh film dan media dari Barat yang sejak awal 1970-an begitu deras masuk setelah sempat tersendat karena politik anti "ngak-ngik-ngok" Sukarno era Demokrasi Terpimpin.    Lihat saja dari nama-nama gengnya.

Pada era 1980-an dikenal nama seperti Pastel, Militery, GAB, Abor, dan Basis.Era 1990-an ada Laskar, Separatis, Sandinista, Legiun, Rezim, Ekstrimis, Agresor, Platoon, Garnizoon, dan Zapatista. Dari nama-nama itu jelas pengaruh dari film dan media Barat.

Selain tentunya juga ada aspek psikologis, seperti masa remaja mencari identitas dan manusia sebgai mahluk sosial.  Namun bukankah sebeutlnya bisa disalurkan dengan perkumpulan yang positif seperti Pramuka, PMR dan pencinta alam?  Ya, sebagian bisa, bisa memikat remaja. Kalau kegiatannya sesuai aspirasi remaja.   

Tetapi karena organisasi ekstra kurikuler siswa di sekolah terutama Pramuka sering dikooptasi dengan berbagai beban ideologi dari pemerintah Orba  dan para pembinanya yang juga bukan Pramuka, jadi masuk organisasi ini  terkesan "nyinyir", menggurui,  tampaknya kurang berhasil memikat remaja era itu bahkan 1990-an sejumlah organisasi Pramuka sudah banyak tinggal plang. 

Remaja lebih suka pada yang terkesannya gaul, seperti cheerleader, grup dance hingga band yang langsung booming pada era 1990-an. Kelompok ekskul seperti ini sebetulnya bentuk lain dari geng sekolah, tidak banyak intervensi guru, walau masih positif.

Pada 2000-an sejumlah geng di sekolah lenyap karena mulai adanya "passing grade" yang ketat terhadap siswa yang masuk pada sekolah tertentu  dan pada sejumlah sekolah pentolan gengnya dikeluarkan.  Iya, selesai di sekolah-sekolah itu, tetapi belum tentu di sekolah yang anak-anaknya bukan dari kalangan terpilih.

Selain itu mungkin ada kelompok-kelompok yang tidak bernama, namun tidak lagi masif seperti era sebelumnya. Namun tawuran antar remaja dengan bentuk antar geng, seperti geng motor hingga antar kampung tetap terjadi. Geng-geng seperti ini sudah menjurus ke kriminal murni. Begitu juga pembully-an di sekolah oleh kelompok juga masih terjadi.

Geng dalam konotasi negatif terjadi karena kegagalan pemerintah dan masyarakat yang abai menyediakan saluran energi yang meluap dari remaja dalam bentuk positif yang sesuai dengan aspirasi remaja itu, bukan aspirasi orangtua. Apalagi sekarang sudah ada kemajuan teknologi dan media sosial, semakin susah membendungnya.

Geng remaja sebetulnya bentuk "counter culture" yang harus disikapi dengan "counter culture" pula. Itu harus melibatkan para ahli multidisiplin, psikolog, sosiolog ahli pendidikan dan sebagainya, agar geng remaja ini bisa dijadikan positif tanpa menggurui dan mengabaikan aspirasi remaja, seperti falsafah founder pendidikan Indonesia: KI Hajar Dewantara" Tut Wuri Handayani. 

Irvan Sjafari

Sumber:
detik.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun