Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bukankah Anak Korban Industri Media?

20 November 2020   21:18 Diperbarui: 20 November 2020   21:25 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Foto: Berbagi Ilmu

Apakah wajar jika anak-anak sekarang lebih cepat dewasa karena sejak kecil mudah merasa suka kepada lawan jenis?  Saya jawab wajar, karena anak-anak zaman dulu juga suka dengan lawan jenis sejak kecil. Saya melewati masa anak-anak tahun 1970-an sudah tertarik pada lawan jenis waktu TK.

Yang saya ingat telinga saya dijewer ibu guru ketika ada acara menyanyi anak-anak cewek merangkak sambil tertawa-tawa di lantai, saya ikut-ikutan merangkak.  Begitu juga waktu SD, biasa saja naiksir-naksiran dengan anak cewek.  Tentu saja masa pubertas dan kebanyakan psikolog juga setuju. Jadi apa masalahnya? 

Teknologi digital seperti Youtube, WhatsApp, Facebook sebetulnya tidak masalah, kalau konten yang dibaca atau dilihat sekalipun untuk orang dewasa asal tidak mereka mengerti, saya kira akan dilewatkan. Lagipula kan orangtua juga yang kasih gadget ke anak-anak. Saya bersyukur kalau hanya untuk main game, asal jangan mengganggu belajar.

Cuma kan dulu ada media untuk anak seperti TVRI, majalah Bobo, Kawanku, Ananda, yang memberi referensi positif, setidaknya kalau pun anak-anak juga menonton film dewasa ada filter dan imbangannya.  Moral dan budi pekerti anak-anak masih terjaga, setidaknya pada 1970-an. Masih banyak film anak yang normatif.  Sekalipun 1980-an ada pergeseran untuk film remaja yang sudah pernah saya tulis juga di Kompasiana.

Nah kembali ke anak-anak, itu yang menurut saya dikhawatirkan pada sekarang? Bagaimana pikiran anak-anak  dikonstruksi oleh media (baik mainstream cetak maupun elektronik seperti televisi dan akhirnya bisa dicerna di media sosial). Konstruksi anak-anak jadi cepat matang justru dimulai oleh acara yang tampaknya positif.

Lah, siapa yang suruh dalam ajang pencarian bakat anak-anak malah menyanyikan lagu cinta dewasa daripada lagu-lagu AT Mahmud atau lagu Chicha Koeswojo dan kawan-kawannya dulu dengan alasan terselubung kalau membawakan lagu non anak-anak itu "menjual"?  Kan masih ada lagu daerah, yang pernah dibawakan oleh satu atau dua penyanyi, ternyata bagus.

Saya juga menyesalkan mandegnya membuat lagu anak-anak setelah era Ibu Kasur, Ibu Soed dan AT Mahmud, ya mungkin masih ada Papa T Bob, tapi sudah itu? Pada 1970-an penyanyi anak-anak yang benar-benar anak-anak seperti Chicha Koeswojo, Adi Bing Slamet, Ira Maya Sopha dan sebagainya, lagunya pun juga lagu anak-anak.

Tanpa sadar dunia anak-anak sudah dijadikan industri terutama sejak booming televisi peretengahan 1990-an.  Berapa banyak film anak-anak yang pas, selain "Petualangan Sherina"?  Bagaimana dengan televisi? Hanya "Upin dan Ipin", "Sapo Jarwo" yang menggambarkan dunia anak-anak (yang pas untuk kultur Indonesia) seperti Si Unyil dulu.  Coba sinetron seperti "Sultan Aji"? Ada tokoh anak digambarkan jahatnya seperti orang dewasa. 

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Bagong Suyanto mengatakan, kasus bullying atau persekusi dipicu dari adegan-adegan sinetron yang menjadi percontohan anak-anak muda. Adegan genre-genre sinetron dinilainya dapat mempengaruhi cara berpikir anak-anak remaja. Hal itu juga diungkapkan Hanandya Primaskara dalam skripsinya di Universitas Muhammadyah Surakarta, yang mengambil contoh sinetron Anak Jalanan, di mana pelakunya mengucapkan kata tolol, bego, adegan kekerasan. Penulis juga mengkritisi sejumlah film kartun (1).

Masalahnya itu ditayangkan di jam "prime time" karena rating tinggi, serta tidak diimbangi acara anak-anak yang benar anak-anak. Kalau ada alternatif, maka orangtua atau anak akan mencari acaranya sendiri. Memang tidak mudah membuat konten anak-anak, tetapi harus. Kalau nggak, anak-anak juga butuh hiburan.

Ya, sudah jangan heran, pergaulan antar lawan jenis jadi tampak mengkhawatirkan seperti yang jadi topik pilihan Kompasiana, bullying juga merebak (walaupun dulu juga ada bullying) dan itu seperti dibenarkan karena konstruksi di sinetron. Jadi buat apa menyalahkan teknologi, karena itu sudah terkonstruksi?

Bagaimana dengan iklan? Sama saja industri televisi juga menggiring anak-anak jadi obyek industri (kapitalisme). Sutupo dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret mengungkapkan  munculnya anak-anak dalam iklan komersial dewasa ini tidak hanya dalam iklan produk konsumsi anak-anak. Anak-anak tampil menggelitik dalam iklan-iklan yang secara tidak langsung menawarkan produk yang bukan konsumsi primer anak-anak. Iklan-iklan tersebut misalnya, iklan produk elektronik, iklan mobil, iklan pembersih lantai, iklan perumahan, iklan pariwisata dan sebagainya (2)

Media cetak? Walah, sulit mencari media cetak untuk anak dengan berakhirnya era Bobo, Kawanku dan sebagainya. Pikiran Rakyat masih bagus punya Pe-er kecil, walau makin mengecil, dengan konten yang benar anak-anak. Cukup kompromi, menjelaskan soal dinosaurus, robot, tetapi juga menyedikan konten edukatif seperti budi pekerti. Seandainya setiap media cetak (yang masih bersisa), seminggu sekali menyedikan konten anak-anak.

Kalau nggak anak-anak harus apa dong? Kembali ke gadget?  Sudah pikirannya dikonstruksi, dapat informasi tentang pornografi yang juga aktif diberitakan mainstream, hingga mereka penasaran mencarinya (saya juga menyoroti ini di Kompasiana), plus dapat kiriman via WA di gadget, nyambung daah. Belum lagi soal kekerasan, bullying.

Jadi masalahnya kematangan anak-anak sekarang itu dikonstruksi industri media (dengan melibatkan anak-anak pula), bukan karena salah teknologinya.

Irvan Sjafari

Catatan Kaki:

  1. https://infosurabaya.id/2019/07/17/adegan-sinetron-disebut-picu-kasus-bullying/ lihat juga Hanandya Primaskara "Kekerasan dalam Sinetron di Televisi" Skripsi Program tudi Ilmu Komunikasi di  Universitas Muhammadyah Surakarta, 2017
  2. Sutupo, "Wacana Kapitalis dalam Iklan Anak-anak di Media TV dan Persepsi Masyarakat Desa dalam Jurnal of Rural and Development, Volume 1 Nomor 1, Februari 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun