Di sini tidak ada kearifan lokal terkait sosial selain soal hunian milik mahluk gaib yang terganggu, soal persugihan dengan mantera Bahasa Sunda.  Misalnya, tokoh  Jantra sekalipun jauh dari agama, tetapi dia tahu soal jurik, setan, harusnya tidak abai soal ancaman pada anaknya.
Soal dukun berpeci, yang banyak disinggung teman-teman komiker (Komik Kompasiana) di mana kami nobar bersama lewat virtual pada Sabtu, 31 Oktober, ya, itu biasa saja. Memang realitasnya bisa jadi demikian halnya.
Sudah ada perubahan pada sosok dukun, yang dulu  persepsinya rambut gondrong, memakai baju tradisional, ikat kepala atau sejenisnya.  Memakai peci itu lebih ke arah budaya orang Indonesia daripada religi.
Kedua, berapa adegan terakhir dari film ini sebetulnya bukan hal yang baru dalam film horor. Adegan terakhir itu mengingatkan saya pada film horor Amerika "Silent Hill" (2006) Â yang juga sebangun dengan "Angker Batu" (2007) soal dua dimensi dunia berbeda.Â
Sekalipun Agung menawarkan cara bertutur yang berbeda yang sulit ditebak  dan memberikan ending yeng menggantung.
Secara keseluruhan saya menyambut baik "Bungkeuleukan" ke blantika film Indonesia. Mudah-mudahan bisa disaksikan secara luas, paling tidak lewat festival.
Oh, saya setuju bahwa sineas Indonesia harus berkolaborasi dengan banyak pihak  karena itulah era film sekarang.Â
Agung dalam diskusi dengan teman-teman Komiker  juga mengungkapkan hal sama. Sebagai catatan Bale Films bekerja sama dengan Raincinema Pictures, Katapel,  Banua Tanggo, Babang Production.
Irvan Sjafari Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H