"Kami tidak pernah menganggu manusia, tetapi kalianlah yang menganggu kami!" Suara protes mahluk gaib dilantangkan lewat mulut seorang pria yang dirasuki dalam sebuah adegan.
Kedua, "Bungkeuleukan" yang berdurasi 38 menit ini menggunakan Bahasa Sunda mengingatkan saya pada film "Cakra Buana" (2015), drama musikal karya Massimo Burhanuddin yang menggunakan Bahasa Sunda dengan cara berdendang. Â Sayang, daya tidak belum bisa menikmati film yang trailler juga sarat dengan budaya dan kearifan lokal di Priangan Selatan.Â
Saya cukup senang sudah cukup banyak film dengan nuansa budaya lokal diproduksi. Jadi jangan sudut pandang orang Jakarta saja. Â "Bungkeuleukan" menampilan kultur masyarakat Sunda bagian utara yang bahasanya lebih kasar, misalnya memakai kata Aing, bukan Abdi. Â Daerah disebutkan Lebak Gunung, di daerah Ciampea, Kabupaten Bogor.
"Bungkeuleukan" dalam Bahasa Sunda sendiri berarti yang menampakan diri
Ketiga, "Bungkeuleukan" membuktikan film horor tidak hanya dengan penampakan sosok yang dinamakan setan itu. Â Cara Agung menampilkan setan lewat sesuatu berwujud hitam berdiri di antara rerumpunan bambu dan sosok pocong sudah cukup mengundang kengerian. Â Tentunya bagi mereka yang kerap nonton film horor tidak cukup mengerikan.Â
Hanya saja bagi saya secara artistik cukup baik untuk ukuran sineas muda, dengan budget yang pas-pasan. Jangan "head to head" dengan sineas seperti Miles Film, Dapur Production, Star Vision dan PH kodang lainnya. Apalagi dengan sineas luar.
Menilai film itu menurut saya sesuai dengan jam terbang SDM-nya dan dana yang dimiliknya, bisa berbuat apa. Film ini juga dibuat di masa pandemi dan waktu yang cukup singkat.
Agung Jakarsih kelahiran 29 Mei 1995 terbilang milenial, namun sudah membuat sejumlah film pendek seperti "Ambisi" (2014), "Uprising" (2016), "Tangan-tangan Kecil II" (2018) dan "Jangan Bilang Bagas" (2018).
Sekarang kritiknya,  Pertama soal budaya Sunda yang justru dijadikan unggulan. Saya sampai saat ini  tidak menemukan referensi menyebutkan,  di rumah  pemukiman yang dihuni banyak orang Sunda ada menggunakan genta bambu yang digantungkan di beranda rumah.
Setahu saya itumemasang genta angin itu dari  feng shui dari budaya orang Tionghoa, tetapi dalam film ini dimaksudkan dengan datangnya sesuatu yang tak berwujud.  Dalam " Ambu"  (2019) bernuansa Sunda-Baduy memang ada "kolecer", baling-baling mampu dan musik Sunda dari bambu dalam film itu. Atau mungkin saya belum menemukan referensi.
Yang saya pernah lihat adalah film  "Asih" yang diangkat dari novel karya Risa Saraswati soal tiang yang dipukul tiga kali tanda ada mahluk gaib hingga gunting dekat bayi. Itu kearifan lokal yang menarik.