Raya bertepuk tangan pertama kali. Â Dia mengacungkan jempol. "Setelah ini lagu kita, ya!"
Purbasari dan saudari-saudarinya terpukau. Mereka tidak menyangka Purbaendah bisa menyanyi. Begitu juga para pejabat istana. Â Purbaendah menyelesaikan lagu pertamanya dan kemudian lagu keduanya.
"Ini spesial untuk Kang Bagus, Teteh Raya, Kang Atep, serta Teteh Zia," ucapnya. Lalu dia mulai menyanyi dalam bahasa Sunda. Lagu yang ada di perpustakaan Preanger, tetapi jarang didengar.
Mesat ngapung luhur jauh di awang-awang/Meberkeun jangjangna bangun taya karingrang/Sukuna ranggaos reujeung pamatukna ngeluk/Ngapak mega bari hiberna tarik nyuruwuk.
"Maksudnya nyindir kita nih, melupakan jati diri?" Serma Malik berbisik pada kami.
Ambu menyimak dengan serius.
Manuk Dadali manuk panggagahna/Perlambang sakti Indonesia Jaya/Manuk Dadali pangkakon carana/Resep ngahiji rukun sakabehna
Hirup sauyunan tara pahiri-hiri/Silih pikanyaah teu inggis bela pati/Manuk dadali ngandung siloka sinatria/Keur sakumna Bangsa di Nagara Indonesia.
Purbaendah menyanyikannya ceria tetapi serius dan penuh semangat. Â Semua yang mendengar tertengun. Dia turun panggung, mulanya hanya empat sekondannya itu bertepuk tangan, namun kemudian kami semua bertepuk tangan. Untuk pertama kali Raya bereaksi hangat, dia memeluk Purbaendah begitu turun panggung, setelah menyalaminya.
"Musik ini didengar di luar istana?" bisik Ambu.
"Ialah, aku yang mengaturnya dan menggunakan speaker yang kita bawa dari Titanium," kata mekanik kami.