Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Guru Minda (4)

15 September 2020   16:56 Diperbarui: 15 September 2020   17:08 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibu Kota Pasir Batang-dari Halo.Grid.

EMPAT

Hari masih gelap, api unggun sudah tinggal bara. Alarm berbunyi di dekat telingaku. Aku terjaga dan menyiapkan senjata high voltaseku dengan setelan sedang. Aku belum mau membunuh mahluk apa pun saat ini.

Dadung Baladewa juga terbangun.

"Urang-urang Purbararang!"

Aku menggunakan night vision yang sudah saya bawa dari Titanium.  Tampak puluhan orang mengendap-ngendap dengan tombak dan mereka menuju ke arah kami.  Sebuah panah api meluncur membakar bivak.

Aku menarik Dadung keluar dan langsung menembakan senjata high voltase ke arah tentara memanah itu. Tampak tentara pemanah itu menggeliat, kejang-kejang, sambil berteriak. Lalu terkapar. Penombak kedua juga aku buat terkapar, setelah menari kejang sepuluhan detik.

"Lutung picalakeun (membuat celaka), Aki panyumpit sok...."  Suara perempuan. Purbaendah.

Sesuatu melesat mengenai leherku tak terlindung.  Aku tidak tahu posisi  yang disebut Aki Panyumpit. "Lari Dadung! Bawa itu!" Aku menunjuk ransel yang sudah aku keluarkan.

Dadung pun melarikan diri.  Yang membuat aku bersyukur, dia lari membawa ranselku yang berisi peralatan, pakaian dan makanan, serta beberapa magazin senjata high voltase.

Aku mulai goyang pemandangan mulai kabur. Namun aku sempat menembakan lagi senjata high voltase ke arah seorang serdadu yang mendekat, dia terlontar dan kejang-kejang, sebelum pingsan.  Tembakan kedua menghantam dahan pohon hingga patah dan menimpa seorang serdadu.

Bletaak.  Suaranya keras. Terdengar geraman pengawal yang marah. Kepalanya tertimpa dahan besar. Dia tampak pusing. Pengawal itu ingin menghajarku. Tetapi Purbaendah menghardiknya.  Mataku makin kabur,  Lalu aku pun tak sadarkan diri.

                                       ***

Sebuah guyuran air menyadarkanku.  Ada banyak orang di sekelilingku.  Badanku yang berbulu lebat telah terikat. Aku hanya mengenakan celana pendek.  Dalam keadaan seperti ini aku hampir 90 persen mirip lutung besar.  Aku sudah dilucuti dan sesuatu yang mengenai leherku pasti membiusku.

Aku melihat samar-samar seorang perempuan berambut panjang berombak, rupanya cukup cantik, tetapi sinar matanya penuh kemarahan.  Dia mengenakan baju semacam kebaya dan kain serba merah. Kemudian  Aku menebak dia Purbararang, karena orang sekelilingnya begitu segan pada dia.

Di sebelah kirinya seorang yang tampaknya perempuan namun sebagian wajahnya ditutupi topeng dan rambutnya memutih. Pakaiannya berwarna serba hitam berjubah panjang. Dia mengenakan tongkat yang tampaknya cukup berat dengan kepala tengkorak dari logam, mungkin perak.  Aku menebaknya Nyi Ronde.

Di sebelah kanannya seorang pria berpakaian keperakan. Tingginya kira-kira 175 cm, tak jauh dariku. Badannya tegab. Kulitnya putih, rupanya cakap, sepertinya bukan orang negeri ini. Apakah Nyi Ronde juga dari luar.  Dia berbisik pada Purbararang, yang tingginya sekitar 170 cm.

"Kakang Indrajaya, kita cari tahu dari mana datangnya dia..."

Aku tersenyum.  Hiyang ada di sini, tidak menampakan diri. Dia menterjemahkan bahasa mereka, ke dalam pikiranku. Itu Indrajaya, tunangan Purbararang.

Aku menduga dia separuh orang luar, mungkin orang Atlantis tersisah dan separuh orang Pasir Batang. Sangat sombong, seolah ingin mengusir darah anak negeri yang dianggapnya punya peradaban rendah. Padahal negerinya mungkin sudah hancur.

"Kalau pun dia manusia buruk rupa sekali dia. Jauh dibandingkan dengan Aku," ucap Indrajaya.

Purbararang tertawa. "Harus dicarikan jodoh yang sesuai."

Hiyang tidak memberikan informasi asal muasal Nyi Ronde maupun Indrajaya. Hiyang tidak diperbolehkan ikut campur oleh kaumnya. Boleh membantu secara terbatas. Mahluk alien yang aneh. Padahal raksasa hijau setinggi tiga meter ini dengan mudah bisa membebaskanku. Tetapi mungkin ada skenario lain yang disiapkan untuk aku.

Ada perempuan yang sudah dua kali bertempur dengan aku Purbaendah. Hiyang juga tidak memberi informasi dari mana dia mendapatkan teknologi. Kali ini dia berpakaian serba biru dengan ikat kepala biru. Dia tidak menyukai baju bangsawan, lebih menyukai keprajuritan.  Badannya kokoh dengan tinggi sekitar 165 cm.  Taksiran aku,

"Bukan lutung sembarangannya kakakku Ratu Purbararang. Dia datang dari negeri langit."

"Pantas dia melumpuhkan banyak tentara kita."

Yang membuat aku bergidik, Purbaendah memegang senjata highvoltase. Lalu dia menyetel maksimal dan mengarahkannya ke sebuah batu kokoh, mungkin megalithikum dan ketika ditembakan tiga kali, batu keras itu pecah berkeping-keping.

Sialan. Gadis muda itu cerdas. Dia mungkin lebih cerdas dari Purbararang. Dia Bahkan yang paling berbahaya dibanding yang laki-laki sombong itu. Agak aneh, Purbaendah tidak membunuhku. Entah apa yang dipikirkannya. Apa dia punya agenda sendiri? Hiyang tidak memberi informasi lagi.

Senjata cambuk dia juga dari atas, dari koloni manusia yang lain, tapi juga bisa dari koloni di Titanium. Bisa juga dari alien lain.  Begitu juga dengan perisainya. Dengan kekuatan seperti itu dia sebetulnya mampu jadi orang nomor satu. Tetapi sepertinya dia tidak tertarik pada kekuasaan besar. Dia mungkin cukup puas dapat wilayah sendiri.

Piuuh. Indrajaya tampak terkejut. "Senjata Dewa."

Ada seorang perempuan lain. Namanya Purbamanik. Saudara lain yang memihak Purbararang. Tetapi aku kira dia hanya pengikut.  Dia dan Purbaendah masing-masing punya wilayah dan memerintah sebagai pimpinan bawahan.  Purbamanik ini masih muda. Pakaiannya putih.

Lalu siapa Purbasari?

Nanti kamu tahu sendiri manusia. Hiyang membuatku penasaran.

Ada lagi seorang pria setengah baya dengan sumpit. Namanya Aki Panyumpit. Dialah yang melumpuhkanku.

"Enaknya diapakan lutung keparat ini, yang menganggu kerajaanku." Purbararang geram.

"Buang ke Hutan  Cupu Mandalayu. Biar dia bertemu Purbasari. Siapa tahu berjodoh. Wujud mereka hampir sama." Suara Indrajaya diikuti tawa Purbararang dan Nyi Ronde.

"Kakang Indrajaya, tahu apa yang dipikirkan aku," sahut Purbararang.

"Sebelumnya kita tunjukan pada dia, siapa kita. Bawa dia untuk mengadakan serangan ke pemberontak yang ada  di Kulon." Suara Purbaendah terdengar sedikit kejam. Tapi aku merasakan, dia ingin mengujiku

"Badannya bau, biar dimandikan dulu. Lalu kasih makan seperti lutung!" ucap Indrajaya.

Purbararang setuju. Tiga pengawal berkulit putih menyeretku. Mereka tentara bayaran.  Lalu melemparku ke dalam kolam. Purbaendah menyaksikan dengan antusias dan melempar aku dengan kain.  Aku mengambilnya dan melap badanku.

Pakaian aku diganti dengan pakaian rakyat negeri ini. Lalu aku digiring ke ruangan lain, melewati sebuah ruangan. Di sana ada beberapa orang bergeletakan. Tubuh mereka hangus. Aku menduga kena senjata api dari orang Atlantis dulu yang masih tersisa.  Ada lagi mayat orang digantung.  Pemberontak yang dikalahkan. Mereka benar-benar kejam.  Entah Purbararang kejam atau pengaruh gerombolan orang asing ini.

Aku dimasukan ke dalam kerangkeng.  Purbaendah melempar berapa pisang dan buah mangga yang sudah dikupas dengan tangkas aku tangkap karena jatuh akan kotor. Lalu aku makan dengan lahap. Aku disamakan dengan monyet.

Purbararang kemudian datang dengan Indrajaya.  "Kamu mau memelihara lutung ini, jijik." Suara Indrajaya. Lagi-lagi dia.

Purbaendah tak menjawab. "Bawa dia dengan pasukanku."

"Kamu mau memimpin penyerangan ke negeri Kabandung?"

Purbaendah mengangguk. "Negeri itu ancaman paling berbahaya. Ada sedikit bersenjata seperti orang Atlantis."

Ilustrasi Drama musikal Luutng Kasarung- zerosumo.wordpress.com
Ilustrasi Drama musikal Luutng Kasarung- zerosumo.wordpress.com
Sejam kemudian aku dimasukan dalam kerangkeng dan diarak keliling Ibu Kota Pasir Batang diiringi sorak-sorai bocah. "Lutung sebesar manusia!" 

Mereka melempari dengan kacang. Di antara yang menyaksikan aku melihat Dadung membawa tasku di tempat tersembunyi. Anak yang cerdik. Namun kemudian dia hilang. Aku menduga cara Hiyang membantuku membuat Dadung berkamuflase.

Sekitar seratus prajurit. Dua puluh orang berkulit putih bersenjata pelontar api. Dua puluh pemanah, dua puluh penyumpit dan sisanya menggunakan tombak dan pedang. Mereka semua berkuda.  Termasuk Purbaendah.

Ibu Kota Pasir Batang kota yang megah. Banyak bangunan seperti gedung. Rumah-rumah banyak dari batu, ada juga dari bambu. Sementara jalannya dari batu yang disusun.  Arsitekturnya menakjubkan, dominan unsur lokal tetapi dimodifikasi. Apa pengaruh orang asing itu?

Pasukanku membawaku melintasi pegunungan, aku mengingat peta virtual. Sialan dia mengarah ke negeri Sang Kuriang dulu.  Perjalanan sangat menyiksaku seharian. Aku buang air di kandang seperti lutung dan makan di kandang juga. Lalu dibersihkan dengan semprotan air.  

Purbaendah bahkan menyuapiku dengan pisang dan tentunya dengan ancaman pengawalnya yang bersenjata pelontar api.  Dia melakukannya sebagai kesenangan. Entah menghina atau ada maksud lain.

"Ayo makan lutung! Makan yang banyak!" katanya sambil tertawa.

Aku berusaha salat di dalam kandang.  Purbaendah menyaksikan.  Tapi dia tidak menganggu. Itu yang aku herankan.

Keesokan paginya aku terbangun oleh semburan air. Rupanya penyerangan akan dimulai.  Negeri  Kabandung melawan

Aku terkejut, ternyata ada beberapa orang Kabandung punya senjata highvoltase, peninggalan orang Titanium dulu. Tetapi sudah melemah, karena sudah lama. Berapa pengawal bertombak dan pemanah roboh dengan tubuh hangus.  Namun jumlah mereka terlalu banyak.

Apalagi Purbaendah menggunakan  senjata highvolate miliku menghancurkan tembok perlindungan dan membuat para pengawalnya bisa menyapu semua tentara Kabandung yang mempertahankan pagar kota.

Menjelang tengah hari, aku melihat  kota di kaki gunung yang mirip perahu terbalik berasap. Mungkin bangunannya banyak yang dibakar akibat pertempuran. Warganya tampak berlarian. Tentara Purbaendah menembak mereka yang melawan.  Tetapi Purbaendah melarang, membunuh mereka yang lari.

Aku melihat ada yang  melesat dari Kabandung. Sialan, seorang perempuan muda mengendarai capung terbang yang tampak sudah tua.  Namun masih bisa menghindari tembakan.  Capung terbang itu melewati atap kandang, mata aku sempat bertatapan dengan perempuan muda itu. Dia menatapku sambil menggeleng kepala. Seragamnya agak mirip dengan tentara Titanium, putih perak.

Keturunan Sang Kuriang. Tapi jelas sudah ratusan tahun kemudian. Danau mungkin sudah menjadi situ-situ.

Aku dibawa kembali ke kerajaan.  Pesta kemenangan. Seluruh tanah Priangan sudah di tangan Purbararang. Tinggal pemberontakan kecil dari Purbaleuwih, yang masih setia pada Purbasari. Tetapi aku dengar dari percakapan sudah terdesak ke Cupu Mandalayu.

Aku hanya bisa menyasikan dalam kandang yang dipajang hingga para tamu bisa menyaksikan mahluk teraneh di negeri Pasir Batang.

Beberapa tamu mengamatiku dan ada yang menyambit buah jeruk, buah jambu hingga pisang. Di dalam kandang ada lutung lain.

Purbaendah menatapku dengan geli.  Dia tak henti-hentinya memamerkan senjata highvoltase yang magazinnya tinggal separuh.  Tapi dia masih punya satu magazin penuh lagi.  Saya khawatir sekali perempuan itu menggunakannya untuk membunuh. Tanpa itu dia juga punya senjata cambuk entah dari dunia mana.

Yang membuatku bergidik ialah Indrajaya yang menyuruh pengawal membawa dua orang tawanan. Dia lalu meminjam senjata highvoltasee itu dan menembak salah seorang tawanan dengan stelan maksimum.  Tawanan itu bukan saja hangus tetapi menjadi tumpukan debu.  Bau daging terbakar begitu menyengat.

Para tamu menyaksikan adegan sadis itu dengan tepuk tangan. Mereka menyaksikan itu sebagai sebuah pertunjukan hiburan. Lalu Indrajaya mengembalikan highvoltase itu pada Purbaendah.

"Kita punya senjata dewa," katanya.

"Lah, yang satu lagi mau diapakan?" tanya seorang tamu begitu antusias.

Purbaendah tersenyum. Dia mengeluarkan cambuknya. Tawanan itu ketakutan. Keringatnya bercucuran.  Purbaendah menghentakan cambuknya ke arah lain membuat api menghancurkan sebuah batu.

"Kamu mau merangkak ke kakiku atau mau merasakan cambuk sakti ini?"

Laki-laki itu merangkak ke arah Purbaendah dan mencium kakinya.

"Kamu mau jadi budakku?"

Laki-laki kerempeng memeluk kakinya sambil menangis. "Mau?"

"Cukup, Aku ingin dia jadi budakku!"

"Hatur Nuhun!"

Purbaendah memberi isyarat. Tawanan laki-laki itu  diseret pengawal ke suatu tempat. Aku menyaksikan itu cukup bergidik. Gadis Purbaendah itu masih misterius. Sejauh ini dia hanya suka merisak dan mungkin pernah menyiksa musuh-musuhnya, namun belum pernah membunuh di mataku.

"Anjeun baik sekali," kata Purbararang tertawa. "Kamu mau tugaskan apa?"

"Aku belum punya tukang kuda, kan?"

Purbaendah punya naluri yang kejam. Tak kalah dengan Purbararang. Menurut aku dia juga punya kencenderungan membunuh, tetapi hanya kalau perlu.

"Lutung ini?" kata seorang pengawal menunjuk aku. Perenunganku buyar.

"Bawa dia ke Cupu Mandalayu. Patahkan kakinya, "

" Bakhtanshar , kau yang memimpin pasukan ke Cupu Mandalayu! Kau yang mematahkan kakinya," Dia memanggil seorang berkulit putih berbadan tinggi. Wajahnya bengis.

Celaka aku.  Orang yang bernama Baktanshar itu seorang perwira berbadan tinggi bekulit putih. Lebih tepat seperti raksasa,  sebahu dari Hiang.

Ilustrasi Ibu Kota Pasir Batang-dari Halo.Grid.
Ilustrasi Ibu Kota Pasir Batang-dari Halo.Grid.
Sore itu aku dibawa  entah ke daerah mana.  Aku juga ingin tahu apa yang disebut Cupu Mandalayu. Bahktanshar setinggi dua meter membawa dua belas pengawal menggiring aku di kerangkeng yang ditarik gerobak.

Jangan takut Guru Minda. Aku tetap di sampingmu. Tidak bisa ikut campur, tetapi bisa membuat orang-orang yang tidak suka Purbararang menolong.

Suara Hiang. Mahluk alien itu hebat.  Dia bicara melalui telepati, tidak menampakan diri. Dia tahu apa yang terjadi di depan.  

Perjalanan cukup jauh. Sayang kompas di dalam tas ransel yang dibawa Dadung Baladewa.  Memasuki malam hari  Bahktanshar dan rombongannya yang membawa aku sudah tiba di sebuah hutan.  Dia bicara pada anak buahnya dan Hiang menterjemahkan di kepalaku,

"Aku tak sabar mematahkan kaki manusia lutung itu.  Sayang bukan lehernya. Bukakan kerangkengnya!" perintahnya.

Dua pengawal membukakan kerangkeng.  Pria raksasa itu menatapku dengan bengis. Begitu kerangkeng dibuka, dua pengawal menyeretku. Tapi begitu aku keluar, sesuatu melesat, seperti sumpit mengenai pengawal yang memegangku hingga dia terjengkang. Sumpit itu beracun, pengawal itu menggeliat kesakitan.

"Dewa ini senjatamu!" suara Dadung melempar pistol highvoltase kepadaku. Dengan tangkas aku tangkap dan pengawal kejang-kejang ditembak.

Lalu satu demi satu pengawal berjatuhan terkena sumpit dan kena tembakan highvoltase.  Aku merasa heran, begitu terampil menembak senjata ini. Sekilas aku melihat menggunakan senapan highvoltase menembak dari kejauhan denga setelan maksimal, dua pengawal jadi debu dibuatnya.

Bahktanshar geram, dia menuju aku dengan gada.  Pukulannya aku elakan yang hancur justru gerobak.  Lalu aku mengait kakinya dan Bakhtansar terjerambab membentur gerobak hingga rodanya patah.  Dia tampak oleng dan bangkit lagi. Sebuah tombak menghujam perutnya.

Muncul beberapa orang dipimpin seorang perempuan muda.  Para pengawal bertumbangan. Termasuk Baktanshar.

"Sampunrasun urang asing. Aku Purbaleuwih.  Dadung sudah cerita pada Kami. Ayo, kami temukan pada Purbasari," ujar perempuan dengan kain berwana biru itu. Usianya sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun. Lebih tua dari Purbaendah.

Hiyang menterjemahkan ucapannya ke kepalaku. Sebaliknya.

Aku mengikuti Purbaleuwih yang hanya dikawal tiga orang. Padahal para prajurit tadi terlatih dua kali lipat kami. Tapi hanya ada tujuh mayat. Ada empat yang jadi debu. Ada yang membantu, tetapi tidak mau terlihat dan tampaknya bukan bagian dari para pemberontak.

Sekitar dua jam kami berjalan, tiba di sebuah dusun kecil. Penduduknya paling hanya sepuluh keluarga dilihat dari jumlah bangunan yang hanya belasan dan aku tahu ada bangunan lumbung, balai dan satu lagi mungkin tempat tinggal tokoh yang disebut Purbasari dan kakaknya Purbaendah.

Jantungku berdebar, seorang perempuan muda, usia delapan belas tahun atau paling tua dupuluh tahun keluar dari rumah. Rupanya mirip dengan perempuan dalam mimpiku. Dia pakai kebaya hijau.

Hanya saja wajahnya sekarang penuh bercak. Dia menunduk. "Sampun rasun. Sepertinya anjeun yang disebut lutung kasarung itu?"

"Rampes.  Hamba Guru Minda," jawabku merendah. "Maafkan juga rupaku yang buruk ini."

"Ini perbuatan Nyi Ronde," bisik Purbaleuwih.

Aku diajak makan di balai desa. Apa adanya. Ada nasi merah dengan ikan asin. Sayurnya lalapan.

"Kami kekurangan pangan. Ada berapa dusun lagi menjadi pengikut aku. Kami butuh bibir padi untuk memperluas huma," kata Purbasari. "Purbararang melarang penjualan padi ke tempat kami. Negeri lain di sekeliling kami juga sudah ditaklukannya."

Jahat sekali. Blokade makanan agar pengikut Purbasari kelaparan. Tapi siapa yang mengajarkan mereka taktik cerdas itu yang belum pada masanya. Setahu aku dari perpustakaan virtual Planet Titanium taktik menghancurkan negeri pensuplai makanan itu dilakukan Sultan Agung. Okelah, Romawi pernah memblokade Chartago dengan kekuatan besar.

Pertanyaannya, ini kekuatan tidak terlalu besar. Tetapi persenjataan canggih, pergerakan pasukan efesien.

"Siapa panglima mereka? Apa Indrajaya?" tanyaku. Aneh, Hiyang mampu membuat aku fasih berbahasa Sunda.

"Adikku Purbaendah. Sejak dia menemukan benda langit itu dia jadi pintar. Sepertinya dia punya penolong di kahyangan atau malah dari langit angkara. Sayangnya, dia memilih jadi sekutu Purbarang."

Benda langit? Jangan-jangan pesawat dari Titanium dulu yang tertinggal. Atau koloni manusia dari planet lain juga  terdampar di sini. Keterangan ini memperkuat dugaanku sebelumnya.

 Dia paham tenologi. Ada yang mengajarinya.  Entah siapa. Tidak mungkin dia bisa sendiri.  Berarti ada orang lain yang membantunya. Namun waktu di istana, orang itu tidak tampak.  Bisa jadi Purbaendah punya sekutu sendiri tanpa setahu Purbararang. Lalu apa maunya? Dia berkali-kali tidak membunuhku. Sepertinya dia tahu siapa aku.  Dia juga tidak mau membunuh serampangan, apalagi orang tidak berdaya. Tadi yang membunuh Indrajaya. Purbaendah, hanya mempermainkan laki-laki yang jadi tawanannya.  Sepertinya senang kalau laki-laki bertekuk lutut di kakinya. 

"Aku bisa bantu Adinda Purbasari  memperluas huma. Aku bawa bibit padi berkualitas di pesawat aku dari Titanium kalau kalian menyebutnya Kahyangan," ucap aku.

Wajah Purbasari, Purbaleuwih menjadi cerah. "Bagaimana caranya?"

"Temaniku aku ke dusun tempat Dadung Baladewa berada.  Pesawatku di hutan di sana."

Purbasari dan Purbaleuwih berpandangan. Mereka mengangguk.

"Aku temani Kakang Guru Minda ke sana dengan kuda bersama berapa pengawal. Kita memutari gunung agar tidak kepergok patroli Purbararang."

Aku mengangguk.

"Kita istirahat sekarang. Besok akan menegangkan."

Purbasari masih muda, tetapi cukup bijaksana. Menghindari peperangan. Dia tahu aku juga punya senjata. Tapi dia ingin agar saling membunuh rakyat Pasir Batang bisa dihindari.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun