"Dewa ini senjatamu!" suara Dadung melempar pistol highvoltase kepadaku. Dengan tangkas aku tangkap dan pengawal kejang-kejang ditembak.
Lalu satu demi satu pengawal berjatuhan terkena sumpit dan kena tembakan highvoltase. Â Aku merasa heran, begitu terampil menembak senjata ini. Sekilas aku melihat menggunakan senapan highvoltase menembak dari kejauhan denga setelan maksimal, dua pengawal jadi debu dibuatnya.
Bahktanshar geram, dia menuju aku dengan gada. Â Pukulannya aku elakan yang hancur justru gerobak. Â Lalu aku mengait kakinya dan Bakhtansar terjerambab membentur gerobak hingga rodanya patah. Â Dia tampak oleng dan bangkit lagi. Sebuah tombak menghujam perutnya.
Muncul beberapa orang dipimpin seorang perempuan muda. Â Para pengawal bertumbangan. Termasuk Baktanshar.
"Sampunrasun urang asing. Aku Purbaleuwih. Â Dadung sudah cerita pada Kami. Ayo, kami temukan pada Purbasari," ujar perempuan dengan kain berwana biru itu. Usianya sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun. Lebih tua dari Purbaendah.
Hiyang menterjemahkan ucapannya ke kepalaku. Sebaliknya.
Aku mengikuti Purbaleuwih yang hanya dikawal tiga orang. Padahal para prajurit tadi terlatih dua kali lipat kami. Tapi hanya ada tujuh mayat. Ada empat yang jadi debu. Ada yang membantu, tetapi tidak mau terlihat dan tampaknya bukan bagian dari para pemberontak.
Sekitar dua jam kami berjalan, tiba di sebuah dusun kecil. Penduduknya paling hanya sepuluh keluarga dilihat dari jumlah bangunan yang hanya belasan dan aku tahu ada bangunan lumbung, balai dan satu lagi mungkin tempat tinggal tokoh yang disebut Purbasari dan kakaknya Purbaendah.
Jantungku berdebar, seorang perempuan muda, usia delapan belas tahun atau paling tua dupuluh tahun keluar dari rumah. Rupanya mirip dengan perempuan dalam mimpiku. Dia pakai kebaya hijau.
Hanya saja wajahnya sekarang penuh bercak. Dia menunduk. "Sampun rasun. Sepertinya anjeun yang disebut lutung kasarung itu?"
"Rampes. Hamba Guru Minda," jawabku merendah. "Maafkan juga rupaku yang buruk ini."