Purbaendah punya naluri yang kejam. Tak kalah dengan Purbararang. Menurut aku dia juga punya kencenderungan membunuh, tetapi hanya kalau perlu.
"Lutung ini?" kata seorang pengawal menunjuk aku. Perenunganku buyar.
"Bawa dia ke Cupu Mandalayu. Patahkan kakinya, "
" Bakhtanshar , kau yang memimpin pasukan ke Cupu Mandalayu! Kau yang mematahkan kakinya," Dia memanggil seorang berkulit putih berbadan tinggi. Wajahnya bengis.
Celaka aku. Â Orang yang bernama Baktanshar itu seorang perwira berbadan tinggi bekulit putih. Lebih tepat seperti raksasa, Â sebahu dari Hiang.
Jangan takut Guru Minda. Aku tetap di sampingmu. Tidak bisa ikut campur, tetapi bisa membuat orang-orang yang tidak suka Purbararang menolong.
Suara Hiang. Mahluk alien itu hebat. Â Dia bicara melalui telepati, tidak menampakan diri. Dia tahu apa yang terjadi di depan. Â
Perjalanan cukup jauh. Sayang kompas di dalam tas ransel yang dibawa Dadung Baladewa.  Memasuki malam hari  Bahktanshar dan rombongannya yang membawa aku sudah tiba di sebuah hutan.  Dia bicara pada anak buahnya dan Hiang menterjemahkan di kepalaku,
"Aku tak sabar mematahkan kaki manusia lutung itu. Â Sayang bukan lehernya. Bukakan kerangkengnya!" perintahnya.
Dua pengawal membukakan kerangkeng. Â Pria raksasa itu menatapku dengan bengis. Begitu kerangkeng dibuka, dua pengawal menyeretku. Tapi begitu aku keluar, sesuatu melesat, seperti sumpit mengenai pengawal yang memegangku hingga dia terjengkang. Sumpit itu beracun, pengawal itu menggeliat kesakitan.