Di tengah pandemi Covid-19 ini SIP Publishing meluncurkan kumpulan cerita pendek dari kelas menulis bersama Gol A Gong bertajuk "Orakadut Jadi Tokoh". Awalnya kelas menulis ini direncanakan secara luring namu  diubah scara daring karena pembatasan sosial yang harus dilakukan.
"Menulis adalah pelarian yang sempurna di kala kita "terkurung" sendirian di dalam kamar," tulis Gol A Gong dalam blognya "Golagongkreatif".
Tidak mengherankan sebagian cerpen yang terkait Tentang Tokoh ini mencerminkan situasi pandemi Covid-19.
Di antaranya cerpen yang ditulis Widya Yustina bertajuk "Handphone" yang bercerita tentang seorang muris SD bernama Amin yang tinggal di sebuah desa yang tidak disebutkan daerahnya, tetapi bisa saya tebak itu kawasan Priangan karena disebutkan Amin bermain di curug (air terjun dalam bahasa Sunda) dan tampian (tempat mencuci sekaligus mandi, yang memanfaatkan bambu liar).
Mulanya situasi lancar hingga suatu hari Amin tidak bersekolah. Ibunya seorang janda miskin hanya tamatan SD menjadi cemas dan menanyakan mengapa tidak sekolah.  Percakapan antar ibu bernama Sukiah dan anaknya menarik, tanpa perlu menggurui apa itu virus  Covid-19. Keduanya sama-sama tidak mengerti, tetapi merasa terdampak.
"Katanya ada virus, Mak."
"Virus? Apa itu Virus?"
"Virus itu yang bikin badan kita jadi lemah, Mak, jadi sakit."
"Kamu sakit?"
"Enggak,Mak."
"Terus kenapa Enggak Perlu ke Sekolah?"
"Karena situasi berbahaya, Mak." (halaman 171)
Cerita terus bergulir ketika Amin membutuhkan handphone untuk belajar di rumah, terutama untuk menyampaikan laporan bukti belajar di rumah. Â Untuk makan saja, Amin kerap makan nasi dengan garam, bagaimana membeli handphone. Â Widya Yustina mengakhiri cerpennya dengan realistis. Â Namun apa yang digambarkan bahwa belajar dari jarak jauh situasi aktual yang ini dihadapi orang-orang miskin, jangankan kuota internet, punya handphone android saja adalah hal yang mustahil.
Cerita yang cukup baik menggambarkan situasi pandemi tanpa harus berkotbah soal pandemi bertajuk "Pesan dari Hareshanda" dengan tokoh utamanya bernama Janadi, seorang sopir taksi daring di Purwokerto. Â Cerpen ini ditulis oleh Indra Defandra, nama pena dari seorang musisi bernama indra Gunawan, sekaligus owner dari SIP Publishing.
Tiga puluh tahun yang lalu dia ditolong oleh seseorang ketika hendak masuk jurang sewaktu mendaki Gunung Sumbing. Â Sayangnya Janadi tidak pernah lagi kontak dengan pendaki gunung itu. Hingga dia memiliki seorang anak yang menjadi dokter lulusan FK UGM.
Wabah melanda dan nama anaknya bertugas sebagai dokter di RSUP Persahabatan. Â Janadi kehilangan kontak dengan anaknya dan dia tahu bahwa wabah itu juga menjangkiti tenaga medis.
Janadi tetap menjalani kehidupannya dengan rasa kahawatir atas nasib anaknya, hingga akhirnya dia mendapatkan jawaban yang juga terkait dengan peristiwa tiga puluh tahun lalu.
Sementara beberapa cerpen lainnya yang bercerita soal suasana pandemi adalah karya Musriah berjudul "Memancing Keributan" tentang seorang Kiai di Desa Telagasari yang dikritisi seorang warganya terkait kotbahnya soal Covid-19, Tri Handayani "Terluka tapi Tak Berdarah", tentang nasib guru, Soleh Setyowati , "Mimpi Rizal", tentang anak yang butuh handphone untuk belajar jarak jauh, Â cara mengungkapkannya normatif. Â Namun tetap menggambarkan situasi masa pandemi yang bisa saja terjadi dunia nyata.
Cerita-cerita di atas seperti kumpulan "fragmen" (cuplikan lakon) dalam drama besar pandemi Covid-19 merupakan kelebihan dari antalogi cerpen ini. Â
Kritik Terhadap Animo Jadi PNSÂ
Ada juga sejumlah cerpen bercerita soal kehidupan dengan isu aktual. Beberapa di antaranya kritik soal animo besar keinginan menjadi Pegawai Negeri Sipil yang masih menjadi obesesi masyarakat, terutama di perdesaan.Â
Yang paling menarik dalam penyajiannya ialah yang ditulis Uniek Widyawarti  N bertajuk puitis "Lelaki Pemetik Bulan"  tentang keberhasilan Rusli dari guru honorer di SMP di sebuah desa fiktif bernama Pejanggalan, kemungkinan di Jawa Tengah lulus ujian PNS di Dinas Pendidikan daerahnya.
Sepintas normatif, klise bahwa ini buah kerja keras, doa dan sebagainya seperti sinetron hidayah di televisi. Namun ternyata tidak si penulis yang berlatar seorang guru ini justru menyuguhkan hal tak terduga di belakang keberhasilan tokoh utamanya menjadi PNS, sebetulnya klunya sudah ada di prolog ceritanya. Cerdas. Â
Cara pengungkapan yang juga baik ditulis oleh Vira Nazifah Amelia, dengan setting sosial pedalaman Sumatera Selatan, tentang Fikri seorang sarjana lulusan perguruan tinggi yang jadi pengangguran di desanya. Ahirnya berhasil menjadi pegawai BUMN di perkotaan, tetapi dia mendapatkan kegetiran terkait keluarganya. Â Cerita bertajuk "Liontin Pertaruh" kuat karena mengungkapkan situasi sosial budaya daerah, seperti panggilan Uyung untuk anak laki-laki.
Hanya saja, saya tidak menemukan alasan dua penulis ini memberi judul cerpennya. Mungkin tersirat secara filosofis. Tetap bagus.
Penulis kelahiran Purwakarta 15 Agustus 1963 ini  populer pada 1980-an lewat karyanya "Balada si Roy", cerita serial yang dimuat di Majalah Hai. Gol A Gong seangkatan dengan Hilman Hariwijaya dengan  "Lupus"-nya.
Kelas Menulis Gol A Gong secara daring ini dilaksanaanApril 2020, yang digagas SIP Publishing Purwokerto cukup mengejutkan karena hanya berselang 2 bulan buku antologi ini siap terbit. Terdapat 15 cerpen dari 15 penulis di luar Gol A Gong sendiri. Masih banyak cerpen lain yang tidak singgung dalam review ini, yang tetap punya sisi menarik.
Secara keseluruhan antalog cerpen ini menurut saya memperkaya blantika fiksi Indonesia dan sekaligus juga menggali bibit-bibit para penulis dari berbagai penjuru nusantara dengan latar budayanya masing-masing. Â Mudah-mudahan diikuti antologi yang lain.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H