Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Fragmen Pandemi dalam "Orakadut Jadi Tokoh"

16 Agustus 2020   13:49 Diperbarui: 16 Agustus 2020   13:49 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Karena situasi berbahaya, Mak." (halaman 171)

Cerita terus bergulir ketika Amin membutuhkan handphone untuk belajar di rumah, terutama untuk menyampaikan laporan bukti belajar di rumah.  Untuk makan saja, Amin kerap makan nasi dengan garam, bagaimana membeli handphone.  Widya Yustina mengakhiri cerpennya dengan realistis.  Namun apa yang digambarkan bahwa belajar dari jarak jauh situasi aktual yang ini dihadapi orang-orang miskin, jangankan kuota internet, punya handphone android saja adalah hal yang mustahil.

Cerita yang cukup baik menggambarkan situasi pandemi tanpa harus berkotbah soal pandemi bertajuk "Pesan dari Hareshanda" dengan tokoh utamanya bernama Janadi, seorang sopir taksi daring di Purwokerto.  Cerpen ini ditulis oleh Indra Defandra, nama pena dari seorang musisi bernama indra Gunawan, sekaligus owner dari SIP Publishing.

Tiga puluh tahun yang lalu dia ditolong oleh seseorang ketika hendak masuk jurang sewaktu mendaki Gunung Sumbing.  Sayangnya Janadi tidak pernah lagi kontak dengan pendaki gunung itu. Hingga dia memiliki seorang anak yang menjadi dokter lulusan FK UGM.

Wabah melanda dan nama anaknya bertugas sebagai dokter di RSUP Persahabatan.  Janadi kehilangan kontak dengan anaknya dan dia tahu bahwa wabah itu juga menjangkiti tenaga medis.

Janadi tetap menjalani kehidupannya dengan rasa kahawatir atas nasib anaknya, hingga akhirnya dia mendapatkan jawaban yang juga terkait dengan peristiwa tiga puluh tahun lalu.

Sementara beberapa cerpen lainnya yang bercerita soal suasana pandemi adalah karya Musriah berjudul "Memancing Keributan" tentang seorang Kiai di Desa Telagasari yang dikritisi seorang warganya terkait kotbahnya soal Covid-19, Tri Handayani "Terluka tapi Tak Berdarah", tentang nasib guru, Soleh Setyowati , "Mimpi Rizal", tentang anak yang butuh handphone untuk belajar jarak jauh,  cara mengungkapkannya normatif.  Namun tetap menggambarkan situasi masa pandemi yang bisa saja terjadi dunia nyata.

Cerita-cerita di atas seperti kumpulan "fragmen" (cuplikan lakon) dalam drama besar pandemi Covid-19 merupakan kelebihan dari antalogi cerpen ini.  

Kritik Terhadap Animo Jadi PNS 

Ada juga sejumlah cerpen bercerita soal kehidupan dengan isu aktual. Beberapa di antaranya kritik soal animo besar keinginan menjadi Pegawai Negeri Sipil yang masih menjadi obesesi masyarakat, terutama di perdesaan. 

Yang paling menarik dalam penyajiannya ialah yang ditulis Uniek Widyawarti  N bertajuk puitis "Lelaki Pemetik Bulan"  tentang keberhasilan Rusli dari guru honorer di SMP di sebuah desa fiktif bernama Pejanggalan, kemungkinan di Jawa Tengah lulus ujian PNS di Dinas Pendidikan daerahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun