Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dayang Sumbi (5)

6 Juni 2020   21:22 Diperbarui: 6 Juni 2020   21:25 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Foto: South Paw Dance Company.

Sang Kuriang Tanding

Pihak istana sudah menyediakan satu rumah untuk kami dalam lingkungan istana. Ada dua kamar. Aku dan Ira di satu kamar, lainnya Harun, Andrian dan Ginanjar. Kami juga disediakan pakaian seperti warga Parahiangan. Kami  mandi dan berganti pakaian.

Kami mengadakan rapat di balai dalam rumah itu.

"Yang aku tangkap dalam omongan kalau dia benar Elang, dia cerita Iskanti dan Taruma sudah meninggal dibunuh bangsa Atlantis," ungkap aku.

Ira terkejut. Dia menitikan air mata.

"Elang dan Iskanti menikah..."

Ira memeluk aku dan aku menyambutnya. "Kita bisa lihat makam mereka di taman."

Ira mengangguk.

"Kalau begitu misi sudah selesai. Kita bisa kembali dan membawa Elang, juga jenazah Iskanti dan Taruma," ujar Kapten Ginanjar.

"Tidak semudah itu. Mereka sudah tinggal disini puluhan tahun menurut waktu di sini," jawab Harun.

"Tetapi yang berat, Elang yang sudah menganggap dirinya Sang Kuriang tidak percaya. Dia mengira aku orang lain yang dikirim tetua langit bukan ibunya. Logika dia aku harusnya nenek-nenek."

"Keajaiban lubang cacing interselar," Harun bergumam.

"Yang paling mengerikan, dia melamar aku," aku berkata merasa lucu, sekaligus juga khawatir.

"Tidak mungkin," cetus Ira. "Tetapi kamu memang cantik."

Aku meninju dia. "Anakku juga ganteng sih. Kalau aku nggak yakin itu anakku sudah kuterima lamaran itu jadi permaisuri di sini?"

"Mau tinggal di planet ini?"

"Iya, nggak lah...lebih maju beradaban kita."

Lalu kami berlima mengunjungi bangunan di taman itu. Ira membaca huruf di atas nisan. "Dah Yang Sum Bi dan Ta Lu Ma." ucap dia.

Ira rupanya bisa membaca huruf itu. Mungkin di perpustakaan Preanger.

Lalu kami berlima berdoa untuk anaknya dan Taruma. Ira yakin itu Iskanti. Dia atas nisan Dah Yang Sum Bi ada kalung yang digunakannya.

Di dekat makam itu ada semacam tugu, berbentuk anjing dan sudah berlumut. Robot Tumang. Mungkin sudah rusak. Harun dan Ginanjar memeriksa dan mereka menunjuk beberapa lubang di tubuhnya. Di situ juga ada tulisan Tu Ma Ga.

"Sepertinya ditembak semacam api, ada bekas hangus. Lihat moncongnya ada bekas keropos habis menggigit sesuatu. Tumang dilibatkan dalam pertempuran, mungkin dengan orang-orang Atlantis itu," kata Kapten Ginanjar.

"Seperti apa bangsa yang membunuh anakku," geram Ira. "Jelas bukan negeri Parahyangan yang cari-cari gara-gara."

Aku dan Ira memperhatikannya. Berarti Atlantis punya senjata yang canggih juga karena robot ini akan mudah mengalahkan mereka kalau hanya tombak dan panah. Tumang terbukti mampu mengoyak Bolo dengan gigi bajanya, mahluk buas yang bisa menggelinding di Planet Titanium.

Tiba-tiba berapa pengawal berlari ke arah kami.

"Anjeun, urang asing nyerang....!"

Sang Guriang menyusul mereka."Atlantis menyerang. Kalian berlindung...." Tampak dia khawatir.

"Atlantis? Yang membunuh anakku? Lalu aku disuruh berlindung. Enak saja!"

Kapten Ginanjar mengajak kembali ke pondok. Bukan untuk berlindung tetapi mengambil senjata. Aku dan Ira juga menggunakan pistol pelontar listrik.

"Right or wrong is my country," ujar Ira geram.

Para pengawal terperanjat karena kami lebih cepat larinya. Sebetulnya itu pengaruh perbedaan gravitasi. Planet Titanium gravitasi agak lebih besar dari Bumi hingga kami terbiasa.  Hingga kecepatan kami lebih dari mahluk yang tinggal di planet ini.

Kami jeluar istana sampai ke tepi danau. Dari langit sejumlah manusia dengan sayap seperti burung. Mereka memakai penutup kepala seperti burung. Entah bagaimana mereka menerbangkannya, tapi tak mungkin manusia burung.

Sebut saja manusia bersayap burung, datang menyerbu melontarkan peluru-peluru api. Beberapa pengawal hangus jadi arang.

"Itu kan mirip pelontar panas yang kita punyai? Mereka mempunyai semacam itu juga Cuma lebih kasar," ucap Kapten Ginanjar.

Manusia burung? Aku pernah membaca soal Icarus dari sejarah kuno Bumi.  Aku kira dongeng, tapi ternyata bisa diwujudkan.

Aku melirik Ira. Dia sama sekali tidak takut.  Wajar sebagai  tentara. Tetapi lawannya waktu di Titanium adalah Bolo yang tidak bersenjata api atau listrik dan bukan manusia yang cerdas juga. Yang aku khawatir Ira berperang dengan penuh kebencian.                                                         

Mungkin dia membayangkan seperti apa anaknya terkena tembakan itu. Lalu dia menembakan pelontar listriknya mendahului Kapten Ginanjar. Seorang manusia burung jatuh terhempas ke tanah. Kejang-kejang, reaksi seperti kena listrik  tegangan tinggi. Bagian terkena menghitam dan jaringannya mati. Akhirnya dia tewas.

"Kulit putih?" bisik Ginanjar ketika kami melihat sosok manusia terkapar. "Anggap saja kumpeni."

Aku melihat mayat terkapar, pakaiannya dari kulit tetapi dibalut sejenis logam yang menghubungkan kedua sayap masing-masing selebar tiga meter terbuat dari bulu-bulu yang direkat entah oleh apa. Disabuknya ada semacam kotak yang mungkin pengendalinya.

"Kumpeni? Saha?" tanya aku. "Penjajah nenek moyang kita dulu?"                

"Betul," jawab  Ginanjar.

Ilustrasi-Foto: South Paw Dance Company.
Ilustrasi-Foto: South Paw Dance Company.
Sang Kuriang segera datang dan dia menggunakan pelontar listrik. Juga seorang pengawalnya. Tetapi jumlah manusia burung begitu banyak. Sekalipun kami sudah menjatuhkan banyak. Pasukan Sang Kuriang terdesak mundur, kami pun juga mundur.

Kami terkesima, begitu mendarat kedua sayapnya ditarik masuk ke kotak besar di pungggungnya, hingga gerakan mereka leluasa. Seorang serdadu Atlantis tiba-tiba mendekati aku. Rupanya karena melamun aku lengah.

Dia membidikan senjatanya, namun ketika dia melihat aku. Dia terdiam dan menurunkan senjatanya. Entah apa yang dipikirkan. Tapi dia meraihku dan kemudian membawa aku terbang.

Belum pernah aku setakut ini.

Dari bawah, kulihat Ira, Ginanjar dan Andrian menggunakan capung terbang mengejar kami. Pertempuran terjadi cukup seru di atas danau yang besar. Dengan motor capung yang punya penghindar otomatis, manusia burung ditembak dengan pelontar panas dengan mudah, seperti main game dan berjatuhan.

Bala bantuan tiba-tiba datang Mamo dan Sisil dengan motor capung.  Pasukan manusia burung Atlantis terdesak.

Andrian bisa mendekati manusia burung yang membawaku.  Dia berhasil menjatuhkan dua manusia burung pengawal kami.  Tapi si penculiku menembak tiba-tiba.

Aku memekik. Motor capung Andrian kena dan dia terhempas  ke atas permukaan danau. Jatuh dari ketinggian dan mental dan jatuh lagi baru tenggelam.  Sulit untuk bisa hidup. Sementara motor capung  terbang  yang dikendarai itu meledak dan kepingan jatuh. 

Pada saat yang sama sebuah motor capung lainnya mengejar. Sang Kuriang. Pasti yang dibawa oleh Taruma. Dia sangat tangkas menjatuhkan manusia burung demi manusia burung.  Begitu berani, seorang mempertaruhkan nyawanya. Anak itu peduli padaku.

Begitu gigihnya hingga dia mampu mendekati kami, dia kemudian meraihku dan menendang manusia burung itu.

Aku kini membonceng motor capung yang dikemudikan dengan baik oleh Sang Kuriang.  Dia kemudian mengejar manusia burung yang tadi menculiku dengan geram.  Tapi manusia burung tangkas menghindar tembakan.

Si Penculik malah terbang ke atas dan dengan tangkas mengambilku kembali lalu dengan cepat membawaku.  Kami menyeberangi danau besar timur ke danau yang satu lagi ke arah bukit kapur, tempat pesawat kami mendarat.   Manusia burung lainnya entah mengapa mau saja menghalangi pengejar kami hingga terhambat.

Dia kemudian mendarat di salah satu bukit kapur.  Di sana sudah ada sepuluhan manusia burung lainnya.

Setelah aku berdiri. Si Penculik kemudian menghadap aku. Tutup kepala otomatis terbuka.

"Mayang? Tidak Mungkin?" ucap dia terbata-bata.

Aku ganti terperanjat. Itu Angga Wibawa? Suamiku? Bisa-bisanya di Atlantis? Hanya saja rambutnya sudah sangat memutih.

Aku kemudian menengok sekeliling.  Tampak sosok berbulu yang kami lihat di gua dan atas bukit bergelimpangan mati.

"Ada apa ini Kang? Kamu bisa-bisanya di pihak penjajah? Kalian pembunuh manusia?" Aku rindu, tetapi sekaligus bertanya.

"Penjajah? mahluk ini bukan manusia? Binatang. Kami perlu negeri untuk tempat penduduk Atlantis pindah."

Bukankah tak bedanya orang Spantol membunuh orang Indian dengan kejam hanya untuk emas. Aku pernah baca itu. Bangsa yang menggunakan kelebihan teknologi untuk membunuh. Mereka menganggap orang barbar sah-sah saja dibunuh.

"Tapi kalian menjajah! Apa-apaan Kang Angga, kamu kan dari Titanium, peradaban kita humanis. Kita tidak kenal pembunuhan terhadap sesama manusia. Membunuh Bolo saja, karena menyerang lebih dulu."

Angga diam. "Dulu aku orang Titanium. Kini aku orang Atlantis. Mereka menyelamatkan nyawaku dan rajanya mengangkat aku jadi panglimanya."

"Kamu terdampar di Atlantis? Di mana itu?"

"Jauh dari sini."

Angga dan belasan orang Atlantis membawa aku  ke atas bukit.  Aku meliihat berapa prajurit Atlantis menembaki manusia gua yang sudah meraung, minta dikasihani.  Rupanya mereka ingin menggunakan guanya untuk jadi markas. 

Di dalam gua sudah ada seorang Atlantis lainnya yang menunggu. Dia memakai jubah.

"Siapa dia Panglima Angga? Pakaiannya seperti dari Parahyangan."

"Panjang ceritanya Panglima Ares.  Dari tempat asalku juga. Istriku."

Yang disebut Ares terhenyak.  Dia memandang aku. "Mengapa dia bisa jauh lebih muda?"

"Di atas sana semua bisa terjadi. Seperti cerita dewa-dewa Atlantis, bukan?"

Icarus mengangguk. Dia tidak mempersoalkan.  Aku justru terheran. Orang Atlantis bercakap dengan bahasa kami.

"Bagaimana dengan serangan kita hari ini?"

"Mundur. Aku tak memperhitungkan orang-orang tak dikenal di pihak mereka."

"Sepuluh tahun yang lalu kita juga dikalahkan mereka, bukan?"

"Tapi kita bisa bunuh panglima mereka dan permaisuri putra mahkota mereka. Harusnya mental mereka jatuh," ucap Angga.

Aku tak tahu harus marah, harus sayang, harus rindu dan tidak tahu menjelaskan apa. Yang pasti konfirmasi, pasukan Angga yang memang membunuh Iskanti dan Taruma.  Aku tidak menyetujui tindakan penjajahan dan pembunuhan ini.  Aku juga tidak tahu harus berpihak di siapa. Yang pasti Ira, Kapten Ginanjar dan teman-teman yang lain tidak akan memakluminya.

Perjalanan ke mari membuat anomali ini, kedua pihak tidak saling mengenali.

"Aku juga kehilangan ayahku terkena senjata itu. Lilin sayap burung meleleh terkena tembakan dan dia jatuh ke laut." 

"Itu sebabnya pasukan ini dinamakan Icarus, nama ayahanda Panglima," kata Angga.

"Kang Angga, Daeng?"  Aku  bertanya dengan tajam. Rasa hormat aku berkurang, walau aku masih sayang.   Aku mencium bau keserakahan, hal yang ditakuti para perintis kami di Titanium.

"Zulfikar? Dia gugur waktu kami menyerang daratan besar musuh kami."

Angga menjawab enteng.  Berarti bangsa Atlantis penjajah?                       

"Panglima Deaukalion masih di Atlantis. Raja Pelasgos ingin dia menyiapkan penyerangan ke negeri belahan Barat." 

Angga tampak gelisah. "Aku tidak paham kemauan Raja Pelasgos. Sudah dua negeri takluk dengan kita. Kini yang ketiga mendapat perlawanan, mau menyerang negeri lain."

"Aku juga tidak setuju Panglima Angga. Tapi ini perintah. Tugas kita tuntaskan misi. Kau tahu sifat raja kita."

"Hiyang pasti tidak merestui kita."

Ares mengangguk. "Bukan kau saja yang dapat peringatan."

Aku ingin bersuara. Tapi Angga sudah menoleh. Lalu menarik tangan aku.

"Beri aku waktu, aku ingin bicara dengan istriku."

Ares mengangguk. "Silahkan!  Sore nanti kita kembali ke kemah.  Pagi besok kita lakukan serangan lagi."

Dengan agak gusar, aku menurut ketika Angga menarik tanganku meninggalkan gua. Dia meminta enam  tentara Atlantis mengawal kami. Kami memutari gua ke atas bukit yang lebih tinggi.

"Apa-apaan Kang Angga. Hiyang, mahluk Alien itu?"

"Iya, mereka menganggap mereka dewa. Juga orang-orang di negeri ini."

"Jadi gambar Elang benar?"

Ilustrasi-Foto: Irvan Sjafari.
Ilustrasi-Foto: Irvan Sjafari.
masih diam. Lalu menoleh padaku, ketika kami  sudah di atas tanah yang lapang. "Aku juga menggambar Hiyang waktu kecil. Hiyang meminta aku dan Daeng ke planet ini."

"Apa?"

"Negeri Atlantis butuh bantuan ketika diserang orang-orang dari Lemuria. Mereka meminta kami mengajarkan teknologi senjata untuk melindungi Atlantis. Berhasil. Bahkan kami berbalik menyerang Lemuria dan melumpuhkan mereka. Daeng gugur."

Aku tak tahu jadi memaafkan dan kagum. Tapi kemudian aku menduga, para  Hiyang kemudian kecewa karena Atlantis juga menggunakan teknologi untuk menaklukan bangsa lain.  Hiyang mengkhawatirkan bangsa di tanah Sunda ini dimusnahkan dan mereka membujuk Elang dan Iskanti, sebetulnya Taruma. Kali ini mereka tepat, Taruma mengajarkan kebijakan pada Elang hanya untuk mempertahankan diri.

"Kang Angga, Elang itu raja negeri ini. Anakmu...Anak kita!"

"Apa?"

Angga berpikir. "Pantas saja, teknologi negeri ini maju. Kupikir ada dari planet lain yang membantu."

Angga menutup wajahnya. Dia duduk di sebuah batu dan tampaknya terpukul. Aku menghampirinya, tampaknya dia mulai menangis.

"Negeri lain?"

"Iya, transmigrasi manusia bukan di Titanium juga ada di planet lain, dilakukan  orang Amerika, Tiongkok, juga rahasia."

Belum sempat aku bertanya lagi.  Dari atas langit dua capung mendarat.  Yang pertama Sang Kuriang langsung menembak para pengawal Angga, kemudian diikuti Kapten Ginanjar yang membonceng seorang prajurit Parahyangan yang juga bersenjata pelontar.  Diikuti Ira bersama prajurit lain. Mereka langsung menembak.

Angga menarik tanganku maksudnya melindungi, tapi ditafsirkan lain oleh Sang Kuriang dan teman-temanku.

Sang Kuriang tampaknya berang dia kemudian meloncat dan menembak senjata listriknya ke berapa prajurit. Lalu mengambil semacam senjata tajam dan menikam Angga yang tak sempat mengelak. "Rasakan kujang Tanah Parahyangan!"

"Jangan, dia ayahmu!" seru aku.

"Ayah? Tidak mungkin. Anjeun juga tidak mungkin ibuku!"

Angga roboh, dia sempat memeluk kakiku. "Senang jumpa anjeun lagi walau sebentar," dia menangis.

Sang Guriang melihatnya dengan bengis. "Dia orang Atlantis! Orang-orang pembunuh Istriku!"

Angga sempat melirik anak muda itu. Aku berlutut memeluknya. "Dia anak kita, Elang!"

Dia mengangguk dan menatap Sang Kuriang dengan lembut, lalu menatap aku. "Aku mengerti, nasib masuk inteselar."

Angga meninggal di pelukanku. Tentu saja aku meraung sejadi-jadinya. Sang Guriang mengangkat tubuhku. Aku berdiri menampar dia. Prajuritnya ingin marah. Tetapi Sang Guriang menahan.

"Kamu bunuh ayahmu sendiri!" tuding aku dengan berang.

Lalu aku jatuh pingsan.       

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun