"Saya tidak mencari keadilan, saya mencari ikhlas." Salah satu kalimat yang diucapkan Yura Puspita Hartono (Clara bernadeth), karakter utama sekaligus sebagai sudut pandang dalam film "Tersanjung The Movie" yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan dan Pandhu Adjisurya.
Kalimat itu sepertinya "ideologi" tokoh utamanya, dalam film ini, makanya saya kutip.
Sosok Yura di tangan Hanung dan Pandu seperti Indah (yang dimainkan Lulu Tobing) dalam versi sinetronnya. Seperti yang diakui Hanung, film ini memang terinspirasi dari sinetron yang melekat dengan citra "sinetron yang tidak kelar-kelar" hingga "hidup kok lebay banget", seperti survei yang dilakukan Hanung dan Pandhu sebelum menggarap film untuk menjaring persepsi calon penonton era milenial ini terhadap sineron tersebut.
Yura harus kehilangan ibunya sejak berusia dua tahun harus menjalani hidup bersama ibu tirinya. Perekonomian keluarganya terguncang, karena ayahnya Gerry Hartono (Nugie) mengalami fase surut sebagai seorang musisi.Â
Ibu tirinya Besari (Kinaryosi) menjodohkannya dengan anak orang kaya bernama Bobby Sadewo (Marthinio Lio), yang memberikan janji akan membantu mengangkat kembali karya Gerry dan membahagiakan hidup Yura.
Yura pun merasa tersanjung, tanpa curiga memenuhi undangan Bobby untuk menengok rumah mewah yang akan ditempatinya, sekaligus juga membahas soal masa depan.
Pada malam itu, hujan lebat membuat Yura terperangkap dan Bobby yang meneguk anggur mencoba memperkosanya. Yura lolos dengan melukai Bobby dan ditolong sahabat di kampusnya Christian atau karib dipanggil Tian(Giorgino Abraham) dan Oka (Kevin Ardilova).
Tindakan Yura mengakibatkan, keluarganya ditekan keluarga Sadewo. Pasalnya diam-diam sang ibu berhutang Rp5 miliar dan rumah mereka terancam disita. Gerry berang bukan main, karena membuat keputusan tanpa setahu dia.
Gerry bersama anak lainnya Indah, anak dengan Bestari mencari Yura di tempat sahabatnya Oka, yang tinggal di keluarga pengusaha kuliner dan menemukan Yura di makam ibunya ditemani Tian.
Cerita bergulir, Yura harus keluar dari kuliahnya, padahal prestasi akademik di fakultas ekonomi bagus. Itu dilakukan agar tidak membebani keluarganya yang terpaksa menjual rumah mereka dan dia ingin adiknya agar tetap bersekolah. Dia sendiri tinggal di rumah Oka, yang memberikannya suaka.
Tiga sahabat ini kemudian merintis bisnis kuliner, mi instan, racikan Oka. Bisnis ini mendapat sambutan pasar.
Belakangan Tian, jatuh hati pada Yura dan mengajaknya menikah. Untuk meyakinkan Yura diajaknya berkenalan dengan keluarganya, Sang Ayah bernama Salim (Ari Wibowo) dan Ibunya, yang dipanggil Tante Amerika (Febiola) yang ternyata keluarga konglomerat.
Hidup Yura menjadi bahagia lagi, sekalipun Sang Ayah stroke, namun keluarganya tinggal di rumah kontrakan yang dibiayai oleh Tian.
Tian kemudian ditugaskan keluarganya membereskan masalah bisnis Robert di Amerika, untuk sementara berpisah dari Yura. Di sini kemalangan kembali diderita Yura, Christian menghilang tidak bisa dihubungi dan keluarganya sudah hengkang ke Amerika. Masalahnya Yura sudah terlanjur berhubungan badan dengan Tian dan hamil.
Review
Dari segi plot cerita ya, memang terinspirasi dari versi sinetronnya. Pemilihan Clara Bernadeth sebagai tokoh utamanya karena wajahnya mengingatkan pada Lulu Tobing. Untuk mengingatkan penonton akan sinetronnya, Hanung dan Pandhu menjadikan era 1990-an setting, terutama krisis ekonomi.
Namun seperti yang dituturkan Hanung dalam jumpa pers di Epicentrum, Jumat (13/3/20), latar politik hanya ditampilkan lewat berita koran dan televisi. Dia ingin menghadirkan generasi 1990-an tetapi dari anak daerah, dalam hal ini Yogyakarta.
Sekalipun begitu dalam berapa adegan, isu aktivis yang diculik, selebaran di kampus mengajak demo, betapa paniknya Yura ketika terjadi kerusuhan di Jakarta dan transportasi dari Yogyakarta sulit, hingga Oka mengantarkannya menjadi cerita ini kuat pada zamannya.
Itu kelebihan Hanung dan Pandhu yang mampu meriset zaman itu, termasuk penggunaan Yellow Pages untuk mencari alamat, hingga pager. Detail dan apik.
Bedanya, kalau dalam "Tersanjung" versi sinetron yang tujuh season tersebut (1998-2005) aroma Bollywood-nya kental sekali, kemewahan, drama cinta hingga khas sinetron Indonesia umumnya tokoh anatagonisnya lebay sekali. Di tangan Hanung dan Pandhu tidak demikian, lebih realistis, walau tetap memfokuskan kemalangan seorang perempuan.Â
Keluarga Sadewo mendapatkan ganjarannya dengan cara yang wajar, tidak dihukum dengan hal-hal yang aneh seperti sinetron kita umumnya, kecelakaan lah. Itu pun cukup dengan berita koran.
Sukses tiga sahabat itu juga menginspirasi, mandiri menjadi wirausaha. Pada zaman itu usaha kuliner seperti yang dijalankan mereka memang menjadi jalan keluar dari kesulitan ekonomi.
Dari sini Yura sudah digambarkan punya semangat mandiri. Dia juga menerima Tian, karena keputusannya sendiri dan mendapatkan akibat dari keputusannya. Apa dia menyesali? Mungkin, tetapi Yura di sini tegar.
Saya melihat Hanung sekalipun terinspirasi, tetapi juga revisionis dalam mereposisi karakter perempuan dalam film ini lebih baik dan lebih "feminis".Â
Juga pada sosok adiknya Indah, yang ingin keluar sekolah juga dan lebih memihak ayah dari ibu kandungnya yang dianggapnya zalim dalam bersikap. Bahkan sosok ibu Oka yang begitu toleran dan tidak hitam terhadap perempuan yang melahirkan anak di luar menikah.
Yura digambarkan juga naik sepeda motor dan dalam sebuah adegan diceritakan berani berangkat dari Yogyakarta ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, tetapi Oka berkeras mengantarkannya. Yura bukanlah Cinderella yang menanti pangeran kaya raya yang menyelamatkannya, seperti rumusan sinetron, Telenovella hingga cerita Bollywood.Â
Walaupun Yura mendapatkan "pangeran"-nya, tetapi itu atas keputusan dia dan bukan atas pertimbangan materi. Hanung dan Pandhu telah melakukan revisi dan keluar dari jerat citra sinteron 1990-an yang hanya pamer kekayaan.
Bahwa film ini juga menjual air mata. Iya, tetapi tidak lagi lebay. Malah yang membuat air mata saya jatuh ialah ketika Yura menyanyikan lagu "Ayah" karya Rinto Harahap, sementara ayah yang stroke dipapah ibu dan adiknya menyaksikan, bersama Oka dan Tian.
Begitu juga ketika Yura kedua kalinya mendapatkan kemalangan, lagu "Merpati Putih" yang jadi soundtrack film "Badai Pasti Berlalu" begitu mengiris. Semua adegan sedih ditempatkan dengan wajar.
Aplaus buat Hanung mau menghadirkan Ari Wibowo dan Feby Febiola idola 1990-an yang juga pemain sinetron "Tersanjung", menjadi romantis historis. Namun yang bermain paling mengesankan ialah Nugie menjadi musisi yang redup karirnya, kena stroke lagi.
Bahwa film ini juga potensi untuk ada sekuelnya, iya, dalam beberapa adegan isyarat itu diberikan. Saya berharap dalam sekuelnya nanti, konsistensi karakter Yura dan yang lainnya tetap dipertahankan.
Secara keseluruhan "Tersanjung The Movie" patut diapresiasi, bukan saja memberikan semangat milenial seperti yang dikatakan Febiola dalam jumpa pers, tetapi juga rasa baru. Bahkan bagi yang tidak pernah menonton sinetronnya juga tetap asyik diikuti.
Untuk Kompasianer 8/10. Kemungkinan berpotensi mendapat berapa nominasi dalam berapa kategori dalam ajang penghargaan film mendatang.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H