"Rakyat umumnya akan menyaksikan tarian dan memberikan penilaian jujur tentang baik dan buruknya tarian itu, tanpa ditambahi embel-embel lain. Dan aku lebih senang muncul di depan masyarakat kecil, seperti masyarakat di sini daripada muncul di  gedung mentereng, tetapi mengikuti kemauan penyelenggaraan yang tak wajar."
Demikian sikap Ita yang mencerminkan sikap penulisnya, yang bagi saya cukup dahsyat pada masa itu. Perempuan (yang berpendidikan) mulai mempertanyakan, apakah seorang perempuan diapresiasi karena prestasinya atau kecantikannya. Â Secara tidak langsung mengkritik patriaki (waktu itu konsepnya belum dikenal).
Apa hubungannya nilai suatu tari dengan wajah penarinya? Gugat Ita.
Di akhir cerita Ita digambarkan seorang gadis yang dikenal tokoh utamanya, laki-laki sebagai gadis ketika memanjat pohon jambu. Seorang gadis manja tetapi punya wawasan luas. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Masih penulis yang sama Arinta Dias dalam cerpennya bertajuk "Hari ke Enam Bulan Enam" yang dimuat dalam Pikiran Rakjat, 20 Juni 1965 mengisahkan seorang pria yang baru saja menjadi ayah seorang putri, tepat pada tanggal 6 Juni 1965. Â Dia baru saja pulang dari dinasnya di luar kota, menumpang bus umum.Â
Mulanya perjalanan lancar dari puncak, melalui Rajamandala dan Gunung Masigit, tetapi  mengalami kemacetan ketika memasuki Kota Bandung. Mulai dari pawai yang meriah sejak di Cimahi, pintu lintasan Kereta Api di Andir, dan akhirnya menemui kemeriahan perayaan hari kanak-kanak di Astanaanyar, Pasir Kaliki dan Jalan Padjadjaran.
Pada hari itu adalah hari uang tahun Bung Karno dan di akhir cerpen ayah itu menamakan anaknya Lusi Revolusiana. Â Jelas, cerpen ini menunjukan si penulis ingin menunjukan dirinya sebagai pendukung revolusi yang belum selesai yang dikumandangkan Sukarno. Â Dia berharap puterinya mewarisi watak agung "Pemimpin Besar Revolusi".
Sayangnya saya belum menemukan siapa Arinta Dias. Apa latar belakangnya?
Bagaimana dengan penulis lain? Min Resmana menulis "Sejuta Rupiah" dimuat dalam Pikiran Rakjat, edisi 4 April 1965 Â bercerita tentang seorang pendatang bernama Bandi dari desa ke Kota Bandung hanya punya uang Rp1.000. Dalam perjalanannya dia singgah di warung kopi dan melihat warga Bandung dengan baju wangi, perempuan dengan baju ketat, walau ada yang kebaya. Â Hal yang tidka ditemuinya di desa,
Di Kebon Tangkil Bandung, Bandi bertemu seorang perempuan yang minta uang sejuta rupiah. Mulanya dia sangka prostitusi. Ketika mengenal lebih dalam ternyata perempuan itu hanya ingin dilamar. Â Cerita ini secara tersirat kegamangan orang desa yang merantau ke kota dan desa masih digambarkan sebagai tempat orang yang polos dan jujur menghadapi orang kota yang punya karakter tidak bisa ditebak dan tidak lagi memegang norma.
Min Resmana ternyata penulis sejumlah novel pada tahun-tahun berikutnya. Dia menulis "Kabungkulengan", terbitan Sun Bandung pada 1965, Â kemudian "Sersan Mayor Maman", Pustaka Sunda, 1967, "Si Pelor", terbitan Pustaka Jaya, 1971, "Terpikat Gatot Kaca", 1975, "Kisah Pak Bidik", 1975 dan "Raja Bola", 1977 juga terbitan Pustaka jaya. Â Min juga menghidupkan kembali tokoh si Kabayan untuk mencapai kritik sosialnya dan Mohamad Toha, pahlawan Bandung Selatan.