Kota Bandung dalam beberapa cerita fiksi di harian Pikiran Rakjat pada 1965 menjelang peristiwa prahara 30 September 1965 digambarkan tidaklah menegangkan, tetapi masih merupakan kota yang romantis, kota yang pernah orang-orang terpelajar, ketegangan politik di kalangan elite tidak terlalu terasa di masyarakat kota.Â
Hal ini memperkuat asumsi saya bahwa gaduh Partai Komunis Indonesia dengan lawan-lawannya terutama dari kelompok Islam untuk di Kota Bandung lebih banyak di kalangan kampus, itu terasa sejak kasus pemberhentian Mochtar Kusumaatmadja pada 1962.Â
Masyarakat kota menurut para penulis memberikan respek mendukung kebijakan Sukarno, sekalipun kesulitan ekonomi juga diakui terasa oleh beberapa penulis. Â Moralitas timur masih dipegang kukuh, tetapi pengaruh Barat dalam mode busana dan cara berpikir juga menjadi keniscayaan.
 Arinta Dias , merupakan salah satu penulis yang cukup produktif.  Cerpen pertamanya bertajuk "Sahabat Karib" dimuat dalam Pikiran Rakjat 14 Maret 1965 mengkritik situasi sosial di Kota Bandung masa itu. Sahabat sang tokoh diceritakan maunya hanya bergaul dengan orang yang terkenal.Â
Padahal ada yang menjadi terkenal, menggunakan segala macam cara termasuk sekongkol dengan juri suatu lomba.  Setting cerpen ini menarik  saat Konferensi Islam Afrika Asia di Bandung (Maret 1965) dan pemutaran film di Dian Theater bertajuk "Peace to New Born"
Masih Arinta Dias dalam cerpennya bertajuk "Suatu Senja di Bulan April" yang dimuat di Pikiran Rakjat 20 Mei 1965 mengungkapkan betapa eksotisnya kota Bandung: Â
"Jalan Asia Afrika yang memanjang dari barat ke timur senja itu bermandikan warna sejuk dalam hiasan umbul-umbul dan banner di sepanjang jalan yang dilalui tokoh utamanya. Dia berpapasan dengan banyak  manusia yang bergerak ke arah Barat."
Jelas settingnya Bandung menjelang peringatan satu dasawarsa Konferensi Asia Afrika (April 1965). Kota Bandung ramai di pusat kota, sekalipun menjelang malam.Â
Tokoh utamanya laki-laki ingin menepati janjinya bertemu seorang gadis di Jalan Naripan sehabis bekerja. Dia menelusuri trotoar melewati Grand Hotel Preanger dan lampu-lampu neon indah karena langit sudah kelam dengan secupan warna jingga di sebelah Barat. Begitu gambaran Arinta betapa cerahnya kota dan nyaman berjalan kaki.
Di depan etalase Toko Obor Baru, ia bertemu Ita, gadis yang kemudian membelikannya sebuah buku. Â Ita digambarkan berparas ayu. Kemudian mereka berdua berjalan menelusuri kota ke Jalan Oto Iskandar Di Nata. Mereka juga menyaksikan pertunjukan kembang api di langit.
Dalam obrolan keduanya, Nana menolak ikut rombongan misi kesenian karena kawannya Enong yang lebih mahir menari ditolak, karena tidak cantik. Padahal Ita justru berguru pada Enong di sekolah tari.