"Rindu itu berat, kamu tidak bisa menanggungnya. Biar aku saja." Kalimat yang diucapkan Dilan dalam Film Dilan 1990 diulangi lagi dalam sekuel pamungkasnya "Milea: Suara dari Dilan", menjadi ruh dalam keseluruhan trilogi yang diangkat dari novel karya Pidi Baiq ini.
Ungkapan populer yang kerap digunakan dalam dialog sehari-hari generasi milenial, bahkan generasi Z untuk berbagai hal, menunjukkan pengaruh Dilan yang begitu kuat sebagai pop art. Tentu saja masih banyak bertaburan kalimat gombal lainnya.
Secara umum trilogi Dilan tak ada bedanya dengan kisah cinta remaja dengan kenaifannya dari era Romi dan Juli yang diperankan Sophan Sopian dan Widyawati era 1970-an, dilanjutkan Ratna dan Galih-nya Rano Karno dan Yessy Gusman dalam "Gita Cinta dari SMA" tahun 1980-an dan Rangga dan Cinta dalam "Ada Apa dengan Cinta" awal 2000-an.
Renyah dan gurih dan masing-masing film kisah cinta remaja punya ungkapannya yang tercatat dalam sejarah dan tidak bisa dilupakan. Ingat, "aku akan kembali dalam satu purnama" yang diucapkan Rangga? Betapa para remaja mendadak menyukai dan bisa berpuisi, setelah film ini booming?
"Milea: Suara dari Dilan" seperti "cover both sides" dalam jurnalistik atau hak jawab dari tokoh yang tersudut dalam pemberitaan, dalam hal ini dua sekuel sebelumnya "Dilan 1990" dan "Dilan 1991", di mana Dilan adalah tersangka utama penyebab putusnya hubungan cinta antara dua remaja. Milea tidak suka Dilan ikut geng motor, karena khawatir jadi korban seperti kawannya Akiong bahkan terlibat tindak kejahatan. Namun kedua film sebelumnya dari sudut Milea sebetulnya.
Sekuel ketiga ini mendalami sosok bernama Dilan mulai dari masa kenak-kanaknya menyebut Bundanya dalam konteks berbeda, misalnya kalau lagi butuh uang disebut Bunda Ara (plesetan bendahara), kalau lagi lapar memanggal Sari Bunda (plesetan nama sebuah restoran).
Juga bagaimana Dilan meminta doa dari ibunya agar bisa mendekati cewek anak baru bernama Milea Adnan Husein.
Cerita begulir terus dari sudut pandang Dilan, menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya betapa gamangnya Dilan antara memilih Milea atau geng motornya, betapa tidak hitam putihnya Dilan harus memukul Anhar, yang notabene adalah gengnya sendiri, hingga soal perkelahian antar geng, hingga betapa cemburunya Dilan melihat Milea jalan dengan beberapa cowok, yang tidak dia ungkapkan.
"Milea: Suara dari Dilan" menjadi cerita yang kuat sinematografi yang baik karena menggambarkan suasana hati dua karakter ini sehabis mereka putus. Misalnya Dilan yang termenung sendiri di halte bis di tengah hujan.
Lalu pertemuan mereka yang tampaknya basa-basi ketika ayah Dilan, sang tentara meninggal setelah putus, hingga masing-masing punya pacar baru. Kalau kalian menonton, lihat ekspresi kedua saling mencuri pandang.
Saya tidak kecewa dengan akting Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilia yang sudah melekat dengan Dilan dan Milea, cukup lewat ekspresi wajah mereka yang sebetulnya saling memendam rindu. Keduanya begitu dominan, untuk tidak menenggelamkan karakter lain.
Aku suka adegan Herdy tunangan Milea, yang begitu nyantai, tidak berprasangka dan berdialog soal Saritem di Bandung layaknya dua orang laki-laki normal.
Bahkan ketika pesta reuni pun Herdy hanya melirik tingkah laku konyol Dilan, juga nyantai menyapanya. Walaupun peran ini tidak terlalu banyak, tetapi kok saya simpati, ya.
Sekueal ketiga ini bagi saya memberikan pelajaran bahwa setiap masalah itu harus dicermati dan dicari tahu kebenarannya, bukan hanya main telan mentah-mentah sebuah isu. Akibatnya bisa buruk. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diulangi lagi dan hanya dijadikan kenangan. Tinggal menyikapinya, apakah mengutuk masa lalu atau justru berterima kasih pada masa lalu? Pilihan yang tidak mudah.
Tentunya juga gambaran Bandung 1990-an serta sedikit tentang Yogyakarta masa itu, bolehlah. Suasana yang memuat saya yang merindukan Bandung seperti itu, ketika mal hanya Bandung Indah Plaza. Film jadi romantis historis buat saya.
Misalnya, Dilan mengajak Milea ke pasar buku bekas Palasari, budaya literasi dan ke pemakaman untuk menghargai pahlawan juga manis dan tidak biasa dalam film remaja.
Ketika Dilan dengan santai menanggapi tawaran majalah playboy dari pedagang, yang biasa dialami remaja generasi itu ke toko buku bekas, padahal ada Milea, diganti dengan buku doa. Ditanggapi Milea juga dengan santai: Saya sudah hafal.
Terima kasih untuk tidak banyak mengambil Jakarta yang suasananya sudah berubah drastis. Tentunya akan janggal. Tentunya film juga bertaburan iklan, tetapi jangan khawatir pas kok.
Secara keseluruhan, sukar untuk menandingi "Milea: Suara dari Dilan" sebagai Box Office Indonesia 2020, ketika saya menonton di sebuah bioskop di Depok, tiga layar diborong semua.
Dan ketika sebuah trailer film remaja yang dibintangi Adhisty Zara dan Angga Yuanda (pemeran pasangan remaja yang malam dalam Dua Garis Biru) yang akan tayang, seorang penonton menyeletuk: Mau menandingi Dilan? Mana bisa.
Dari saya untuk teman-teman Kompasianer 8/10. Tentunya untuk ukuran film Indonesia.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H