Aku suka adegan Herdy tunangan Milea, yang begitu nyantai, tidak berprasangka dan berdialog soal Saritem di Bandung layaknya dua orang laki-laki normal.
Bahkan ketika pesta reuni pun Herdy hanya melirik tingkah laku konyol Dilan, juga nyantai menyapanya. Walaupun peran ini tidak terlalu banyak, tetapi kok saya simpati, ya.
Sekueal ketiga ini bagi saya memberikan pelajaran bahwa setiap masalah itu harus dicermati dan dicari tahu kebenarannya, bukan hanya main telan mentah-mentah sebuah isu. Akibatnya bisa buruk. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diulangi lagi dan hanya dijadikan kenangan. Tinggal menyikapinya, apakah mengutuk masa lalu atau justru berterima kasih pada masa lalu? Pilihan yang tidak mudah.
Tentunya juga gambaran Bandung 1990-an serta sedikit tentang Yogyakarta masa itu, bolehlah. Suasana yang memuat saya yang merindukan Bandung seperti itu, ketika mal hanya Bandung Indah Plaza. Film jadi romantis historis buat saya.
Misalnya, Dilan mengajak Milea ke pasar buku bekas Palasari, budaya literasi dan ke pemakaman untuk menghargai pahlawan juga manis dan tidak biasa dalam film remaja.
Ketika Dilan dengan santai menanggapi tawaran majalah playboy dari pedagang, yang biasa dialami remaja generasi itu ke toko buku bekas, padahal ada Milea, diganti dengan buku doa. Ditanggapi Milea juga dengan santai: Saya sudah hafal.
Terima kasih untuk tidak banyak mengambil Jakarta yang suasananya sudah berubah drastis. Tentunya akan janggal. Tentunya film juga bertaburan iklan, tetapi jangan khawatir pas kok.
Secara keseluruhan, sukar untuk menandingi "Milea: Suara dari Dilan" sebagai Box Office Indonesia 2020, ketika saya menonton di sebuah bioskop di Depok, tiga layar diborong semua.
Dan ketika sebuah trailer film remaja yang dibintangi Adhisty Zara dan Angga Yuanda (pemeran pasangan remaja yang malam dalam Dua Garis Biru) yang akan tayang, seorang penonton menyeletuk: Mau menandingi Dilan? Mana bisa.
Dari saya untuk teman-teman Kompasianer 8/10. Tentunya untuk ukuran film Indonesia.