Akhirnya selesai juga Hikayat Si Doel" selama 27 tahun, mulai dari serial televisinya "Si Doel Anak Sekolahan" hingga akhirnya film pamungkasnya "Akhir Kisah Cinta Si Doel". Begitu pentingnya pamungkas ini, produser film tidak mengadakan press screening dan gala premier, takut bocor atau spoiler dan berefek pada penonton.
Praktiknya spoiler terjadi juga dari WA Grup ke WA Grup dan tidak pengaruh pada penonton. Pada sebuah bioskop di kawasan Depok, tempat saya menonton pada Senin malam lalu, tetap penuh, sekalipun dua studio. Sekalipun basis penontonnya saya kira hanya jabodetabek, sedikitnya 700 ribuan penonton dapatlah, mungkin juga di atas satu juta.
Tidak penting Si Doel memilih Sarah atau Zaenab kalau sudut pandangnya hanya soal hati seorang laki-laki dengan pertimbangan soal anak, ibunya yang sakit dan riwayat masa lalu.
Begitu juga soal roman cinta, yang membuat warganet terbelah jadi Tim Sarah atau Tim Zaenab. Tentunya juga saya akan memilih karena pertimbangan yang akan saya bahas.
Jadi penting kalau Sarah adalah itu simbol perempuan yang mandiri, karena dia blasteran Eropa-Indonesia lebih kuat kultur Barat-nya hingga tercabut nilai ketimurannya. Ketika dia meninggalkan Si Doel dalam keadaan hamil, dari pandangan ketimuran sulit dibenarkan.
Yang paling "moderat" pun seperti saya menganggap tidak ada satu pun alasan yang bisa membenarkannya tindakan Sarah, karena Doel tidak melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), Si Doel tidak mengekang kebebasan berekspresi perempuan, sejak awal. Si Doel adalah imam yang baik. Si Doel juga terpelajar dan Sarah juga terpelajar.
Sarah menghargai Si Doel sebagai suami danmengakui meninggalkannya adalah kesalahan. Dia butuh Doel kembali karena anaknya menanyakan ayahnya. Dengan kata lain saya terkesan Sarah menganggap Doel bukan sebagai imam dalam masyarakat muslim, tetapi suami dan isteri adalah dua subyek yang merdeka.
Sarah juga mahasiswa antropologi yang menjadi Betawi sebagai studinya, seharusnya memahami kearifan lokal dan bukan hanya narasi, tetapi juga memilih. Ketika tahu bakal ada kesenjangan baik ekonomi maupun budaya antar dua keluarga, Sarahnya harusnya tahu: Iya atau tidak. Mungkin karena cinta akhirnya Sarah berkompromi.
Namun kesalahan Sarah yang paling fatal ialah: tidak punya sejarah berbakti pada keluarga Si Doel.
Zaenab, itu simbol perempuan Betawi yang masih kental nilai-nilai agamanya. Tidak kolot, masih bisa berekspresi mengenyam pendidikan perguruan tinggi, Bahasa Prancis--sesuai dengan pemerannya Maudy Koesnaedi--penuh pengabdian pada suaminya, bahkan keluarganya merawat Mak Nyak yang sudah sakit-sakitan. Zaenab menganggap Si Doel adalah Imam.
Dia menerima Si Doel yang pernah menikah dengan Sarah. Tidak jadi soal, karena Sarah juga sahabatnya. Tetapi dia sulit menerima kedatangan Sarah ke Rumah Doel terlalu menyakitkan bagi Zaenab, apalagi kedatangan si Doel kecil. Sekalipun ditutupinya dengan basa-basi ketimuran.
Zaenab menolak untuk diduakan, walaupun sebenarnya secara agama poligami adalah salah satu jalan. Dia pun dalam keadaan hamil, ketika menghadapi dilema ini dan akhirnya membuat keputusan yang cukup berani bagi seorang perempuan Timur-bentuk perlawanan yang paling terhormat.
 "Saya mohon izin untuk pulang ke rumah Enyak Ipah, Bang. Zaenab tidak sanggup hidup di rumah ini jika hanya menjadi bayang bayang cinta Abang dengan Sarah," kata Zaenab.
Kalau sampai berpisah dalam keadaan hamil, tentu ada stigma: dosa. Tetapi jadi pertanyaannya saya apakah Zaenab mampu menjadi single parent? Mungkin, dalam etnik apa pun termasuk Betawi: jadi single parent hal yang biasa.
Dalam salah satu adegan "Akhir Kisah Cinta Si Doel" tokoh Munaroh, salah satu cinta masa lalu Mandra mewakili sosok itu. Munaroh adalah perempuan yang mandiri membesarkan anak perempuannya yang secara tak sengaja jadi penumpang ojek Mandra. Dia bercerai dengan suaminya dengan alasan salah lelaki.
Di akar rumput, emansipasi perempuan sudah berjalan. Sejak dulu. Emansipasi perempuan jadi persoalan perempuan kalangan menengah atas, terutama sejak masa kolonial.
Si Doel pun tersudut. Sekalipun Sarah memberikan jalan keluar: tandatangani surat cerainya. Masalah Doel junior-yang namanya sama-menghendaki berkumpul kembali. Makin rumit, karena orang-orang di rumahnya, juga terbelah.
Mandra yang oportunis: Pilih Sarah, biar kehidupan ekonomi keluarga bisa berubah. Bukannya belajar menjadi wirausaha yang ulet, sekolah lagi, tidak mengandalkan kos-kosan, seperti diperlihatkan di salah satu adegan film.
Gambaran ekonomi sebagian masyarakat Betawi yang pragmatis, membuat mereka terus termarjinalisasi melekat pada Mandra dalam film ini. Cukup puas dengan jadi tukang ojek, pada awal film ini juga digambarkan lewat atraksi silat, membuat kerak telor, ya begitu-begitu saja selama berabad-abad, tanpa inovasi. Tentu perlu diskusi dalam tulisan lain soal masyarakat Betawi ini.
Kembali ke soal Sarah dan Zaenab, di keluarga Si Doel Atun memilih sebagai Tim Zaenab dengan pertimbangan pengabdiannya pada Mak Nyak yang begitu tulus. Sebagai catatan Atun juga adalah perempuan yang mandiri jadi "single parent" dengan berjualan kue.
Lebih lanjut lagi-walau mungkin saya "lebay" (kata anak sekarang), saya memandang Sarah adalah simbol (budaya) global, sementara Zaenab adalah simbol masyarakat lokal yang gelisah menghadapi tekanan global.Â
Dalam arti luas bukan bermaksud membenturkan Islam dan Barat seperti thesis Huttington. Karena ada juga muslim yang global. Perempuan berhijab namun dengan busana muslimah bergaya Milan atau Paris, tetap menutup aurat, umumnya berpendidikan tinggi, berkarir dan juga mandiri secara ekonomi.
Apa yang dialami Zaenab, juga bisa dihadapi perempuan di daerah lain yang masih kental memegang nilai lokalnya, tetapi ketika suaminya terdidik Barat dan ada pesaing yang budayanya berbeda, apakah bisa menerima atau menolak? Saya kira menolak dengan caranya.
Seandainya saja film pamungkas ini hadir pada awal 2000, di mana post modernis lewat karya fiksi mempengaruhi wacana di media (misalnya karya Dewi Lestari dengan Supernova-nya), termasuk saya, mungkin kalau Doel kembali ke Sarah itu keniscayaan dan sah-sah saja.
Soal moral adalah relatif. Tetapi sekarang kok, saya gelisah, ya? Mungkin melihat penganut lokal kerap kalah.
Dengan argumentasi ini. Saya adalah Tim Zaenab, Bukan spoiler loh, tetapi pilihan.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H