Apa yang dialami Zaenab, juga bisa dihadapi perempuan di daerah lain yang masih kental memegang nilai lokalnya, tetapi ketika suaminya terdidik Barat dan ada pesaing yang budayanya berbeda, apakah bisa menerima atau menolak? Saya kira menolak dengan caranya.
Seandainya saja film pamungkas ini hadir pada awal 2000, di mana post modernis lewat karya fiksi mempengaruhi wacana di media (misalnya karya Dewi Lestari dengan Supernova-nya), termasuk saya, mungkin kalau Doel kembali ke Sarah itu keniscayaan dan sah-sah saja.
Soal moral adalah relatif. Tetapi sekarang kok, saya gelisah, ya? Mungkin melihat penganut lokal kerap kalah.
Dengan argumentasi ini. Saya adalah Tim Zaenab, Bukan spoiler loh, tetapi pilihan.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H