Buku yang diterbitkan Badan Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat I Jawa Barat terbitan 1965 menyebut ungkapan yang diberikan wisatawan asing kepada pegunungan di Jawa Barat karena panorama indahnya sebagai "The Abode of The God". Â Entah kebetulan atau tidak menjadi terjemahan dari Parahiangan (tempat tinggal para Hyang).
Sekalipun kehidupan ekonomi menurun, tetapi dampaknya dunia hiburan dan dunia wisata tetap menarik dan mungkin membuat kota Bandung sebagai kawasan yang menjadi pusat tempat wisata di Jawa Barat tetap hidup.
Secara umum Kepala Direktorat Kepariwisataan Departemen PDP Â Gamber Sudiono mengatakan sepanjang 1964 sekitar 20 ribu wisatawan mancanegara mengunjungi Indonesia dan menghasilkan devisa Rp1,8 juta. Â Pada waktu itu lapangan terbang internasional di Bali sudah direncanakan, dikembangkan dari lapangan terbang yang dibangun Belanda hingga wisatawan bisa langsung ke Bali tanpa melalui Jakarta (1). Â Dengan kata lain Bali sudah menjadi andalan wisata.
Jawa Barat merupakan salah satu tujuan wisata lainnya. Â Sayangnya buku pembangunan Jabar terbitan 1965 Â tidak menyebut berapa persisnya jumlah wisatawan mancanegara yang masuk Jawa Barat. Â Namun buku itu memberikan data bahwa wisman yang masuk dengan biro perjalanan National & International Tourist Bereau (Niti Tour) Cabang Bandung menyebut jumlah wisman yang singgah di Bandung, Â Tahun 1962 sebanyak 708 wisman, pada 1963 Â sebanyak 620 wisman dan 1964 sebanyak 508 wisman.
Sayangnya tidak dijelaskan mengapa jumlah wisman terus menurun. Â Kemungkinan faktor politik. Sekalipun rombongan tamu agung kerap diajak Presiden Sukarno untuk singgah ke Bandung dan itu tradisi sejak 19650-an dan kalau durasinya panjang berakhir di Bali atau sebaliknya. Â Selain itu Bandung menjadi kota favorit untuk konferensi. Pada Maret 1963 digelar Konferensi PATA.
Hingga era akhir pemerintahan Sukarno destinasi yang menjadi favorit wisman maupun wisatawan nusantara ialah mulai dari Bogor dengan Kebun Raya-nya, terus menelusuri Puncak dengan panorama perkebunan teh-nya hingga Bandung. Â
Sementara di sekitar Bandung, Tangkubanprahu, pemandian air panas Maribaya, lalu di selatan Situ Patengangan, Situ Cileunca, Ciwidey, hingga Papandayan. Â Kawasan yang sebetulnya sudah menjadi favorit masa Hindia Belanda dan hampir tidak ada destinasi wisata baru yang dibangun.
Sementara di Priangan Selatan Pangandaran, Papandayan, Situ Bagendit hingga industri kerajinan di Tasikmalaya juga destinasi wajib wisatawan di era kolonial untuk ke Jabar. Begitu juga di dekat Subang pemandian air panas Ciater, juga peninggalan orang Belanda.
Pada Mei 1964, Sidang paripurna DPRD GR Dt II Subang telah menerima rencana Pemerintah Daerah tentang pembangunan obyek pariwisata Ciater yang akan dikerjakan secara bersama dengan pihak swasta. Untuk pembangunan obyek pariwisata tersebut pihak pihak perencana telah menyediakan uang sebesar Rp50 juta.
Menurut rencana pembangunan obyek ini dilaksanakan secara modern dan menunjukan sifat keaslian nasional. Rumah rumah akan dibuat kecil tetapi mingul dengan mengambil bentuk ala Minangkabau, Bali, dan Bugis di atas puncak pasir kecil yang mengtari kolam tenang dengan pemandangan indah.
Kolam renang akan dibuat dua buah yang satu dengan air dingin dan yang satunya lagi dengan air panas. Di sekitar tempat tersebut akan dibuka warung-warung  yang akan menjajakan aneka macam makanan Indonesia asli, antara lain sambel oncom, pala ikan, nasi uduk, bajigur dan surabi.  Untuk menjaga ketenangan harga akan diadakan penelitian oleh petugas khusus.
Bahkan menurut Pikiran Rakjat 12 Mei 1964, seorang ahli Jerman yang telah mengadakan penelitian ke beberapa sumber air panas mengatakan, bahwa sumber air panas di Ciater sangat baik bahkan yang terbaik dari sumber panas lainnya di dunia  yang telah dia selidiki. Air panas ini akan dapat menyembuhkan penyakit lumpuh. Di samping itu juga udara yang segar akan sangat baik bagi penderita penyakit paru.
Satu-satunya rencana terkait wisata yang baru ialah  pembangunan kepariwisataan di daerah sekitar kaki  Ciremai dengan  kota peristirahatannya Linggarjati dan tempat pemandian yang menarik.Â
Menurut Bupati Kuningan masa itu Mayor Usman Djatikusumah untuk melaksanaan rencana jangka pendek daripada pembangunan kepariwisataan diperlukan modal sebsar Rp232 juta. Â
Rencana jangka pendek ini meliputi pembanguan sebuah hotel kecil dan berapa buah bungalow, serta gedung pertemuan dan sebuah pendopo terbuka.
Di samping itu dalam rencana jangka pendek termasuk pula penyempurnaan dan penambahan perlengkapan dari beberapa obyek pariwisata penting yang sudah ada misalnya pemandian air panas mengandung yodium di Sangkantrip dan pemandian  dan kolam ikan di Linggarjati, Cibulan, Cigugur dan Bojongdalam (2).
Tour yang digadang Niti Tour  Pangandaran Trip untuk tanggal 28 Maret harga Rp3.900 dengan hotel kelas I  dimuat di Pikiran Rakjat pada 10 Maret 1964.
Pada pertengahan 1964, Himpunan Penggemar TRIP menawarkan Pangandaran Trip  dengan rute perjalanan melewati Cipanas Garut, mengunjungi pemandian air panas yang disebut penuh khasiat.Â
Darmawisata ini berlangsung selama  empat hari sejak 17 hingga 20 Juli 1964.  Biaya perjalanan Rp6.500 termasuk penginapan dan makan 8 kali.  Iklan promosi dipajang beberapa kali di Pikiran Rakjat pada Juni dan Juli 1964. Antara lain berbunyi:
Suatu darmawisata ke pantai dengan alamnya yang indah permai, hawanya yang bersih sehat, lautnya yang sejuk segar, memberikan kemungkinan berolahraga.Â
Berenang mengedjar ombak, berdayung naik perahu  dan pula di Penandjung Anda dapat menyaksikan dari tempat ketinggian  di suatu tempat pengintaian binatang buas banteng, di situ pun Anda dapat menyaksikan taman laut yang indah laksana akuarium, goa-goa artistik penuh staglagnit, di Batu Hiu Anda bisa menyaksikan pantai dan alamnya yang permai....
Niti Tour bekerja sama dengan Depari Jawa Barat membina para mahasiswa menambah wawasan kepariwisataan. Â Di antara yang digandeng ISCT (Indonesian Students Council for Tpurism) yang didirikan sejak 1959. Â Pada 1964 diberangkatkan 300 peserta dan 1965 diberangkatkan sebanyak 450 peserta.
Nititour juga mengajak warga Bandung untuk berwisata ke luar Jabar. Misalnya saja Djawa Bali Round Tour dengan tarif Rp46.500 Â berangkat 13 November 1964 lama perjalanan 9 hari, bus serbaru, menginap di Salatgia, Tretes, Bali, Batu, Yogyakarta. Acara meliputi obyek wisata dan juga kesenian di Jawa dan Bali. Biaya termasuk akomodasi dan makan(3)
Di luar Niti Tour, Intra Tour juga Intratour mengadakan
- Pangandaran TRIP seharga  Rp5.000 dengan durasi 26 Desember -30 Des 1964
- Bali Tour 23 Desember-30 Desember 1964 Â dan 28 Desember 1964 hingga 5 Januari 1965 (4)
Selain Niti Tour, Tjendrawasih Tour juga menawarkan pembinaan bagi mahasiwi dan mahsiwi di Bandung menuntut ilmu kepariwisataan. Di antaranya menggelar  Danau Toba Tou sejak 21 hingga 30 Desember 1964, dengan GIA Electra Bandung-Medan dan di Sumatera menggunakan bus. Mereka menginap di bungalow dan makan tiga kali sehari.
Rute yang dikunjungi ialah Bandung-Jakarta-Medan-Pantai Cermin-Siantar-Prapat-Danau Toba-Pulau Samosir-Balige-Makam Sisingamangara-Simbahe-Bandar Baru-Brastagie-Kabandjahe. Biayanya cukup besar, yaitu Rp140 ribu All In (5)
Itu di luar kota. Dalam kota sendiri, rumah makan baru terus bermunculan. Boleh dibilang bisnis rumah makan yang besar, tidak lengkap rasanya kalau tidak membuka cabang di Bandung.  Pada 1964 Ayam Goreng Mbok Berek  membuka dua cabang di Bandung, yaitu di  Jalan Gandapura dan di Jalan Kertjati, selain di Yogyakarta dan Jakarta (6)
Masalah dalam Kota
Pertumbuhan bisnis pariwisata seakan berlawan dengan keuangan Kotapraja yang diumumkan defisit sebesar Rp311 juta pada akhir 1964. Â Kenaikan harga pembelian barang guna pelaksanaan pekerjaan dan jaminan dituding sebagai penyebab defisit APBD. Â
Untuk itu Pemerintah Kotapraja Bandung tinggal  berharap kekurangan dapat ditutupi oleh subsidi Pemerintah Pusat. Biaya pembangunan pada 1965 akan lebih besar lagi dan ditaksir bisa mencapai Rp1,212 miliar (7).
Di satu sisi pelayanan untuk kota tidak terpenuhi, Ketua Kompleks Jalan Asia Afrika Alakteri-Oto iskandar Di Nata bernama Tan Beck Hiap mengeluhkan jalan ABC bertambah ramai, tetapi kekuarangan lampu jalan untuk peenerangan. Akibatnya toko-toko pada pukul 19.00 terpaksa tutup, sekalipun jalan masih ramai (8).
Yang paling krusial ialah Kotapraja Bandung mengumumkan telah kehabisan alumunium sulfate untuk keperluan penjernihan air di Cisangkuy. Â Dampaknya sekalipun tidak membahayakan kesehatan, tetapi air yang didapat warga Bandung tidak lagi jernih seperti sebelumnya. Â
Wali Kota Bandung Prijatna Kusumah di depan Sidang Paripurna DPRD Kota Bandung mengatakan,  Pemerintah Kotapraja  berupaya masikmal memperoleh bahan baku tersebut.
"Kami membeli dari pasar bebas seharga Rp250 hingga Rp300, akhirnya persedian di pasar pun habis. Â Juga pembelian indent dari PN Sinar Bhakti sampai tahun lalu meliputi 700 ton tidak bisa terlaksana, karena devizen tidak mengizinkan indent semacam itu," ungkap Prijatna (9).
Bantuan dari Departemen Perdagangan juga sudah memberikan bantuan sebesar 50 ton alumnium sulfate, namun tidak bisa diberikan lagi. Â Wali kota bahkan meminta siapa saja warga Bandung atau Jawa Barat yang mempunyai alumunium sulfate untuk memberikan bantuannya.
Sebetulnya jurusan Plannologi sudah lima tahun dibuka di Kota Bandung. Seorang mahasiswa bernama Siti Sutriah Kadar dari IPMI Bandung menulis di Pikiran Rakjat 22 September 1964 tentang jurusan Planologi. Â Dalam tulisannya dia mengungkapkan perkembangan kota Bandung.
Ungkap dia, Cijagra, Buahbatu, Â dan sekitarnya sebelah selatan Bandung 10 tahun berselang masih merupakan sawah. Tapi sekarang penuh dengan toko-toko serta jalan-jalan, sedangkan perkembangannya mencapai titik akhir. Sayangnya warga kota masih menghadapi berbagai persoalan.
Seorang mahasiswa yang merantau dari kampung tidak bisa mendapat pemondokan atau kost di dekat kampusnya, karena mahal. Dia terpaksa kost di bagian perkampungan kota Bandung, menyewa rumah bersama kawan-kawannya.
Apa yang terjadi? Siang hari tidak bisa beristirahat karena bunyi radio dari tetangganya. Â Malamnya tidak bisa belajar karena listriknya kecil. Mahasiswa miskin tidak bisa cuci mata malam hari, karena opelet dan kendaraan umum tidak jalan malam hari. Â Hingga kalau pulang malam harus jalan kaki. Â Dia juga menggunakan sepeda kalau hujan.
Sementara mahasiswa kaya punya mobil, bisa mengunjungi rumah teman perempuannya. Tetapi dia juga punya problem jalannya diputar-putar polisi, Â menghadapi kemacetan, dan juga menghadapi pemadaman listrik. Â
"Pembangunan kota bukan saja meletakan bangunan dalam kota dan membuat taman, tetapi  juga memberi kesejaterahan pada penghuninya," ujar Sutriah mengkritisi perkembangan kota Bandung waktu itu. Dia menyambut baik di jurusan Plannologi ITB diberikan pelajaran Sosiologi  dan ekonomi untuk calon perancang kota. Â
Ibu saya, Anny Zulchatri yang pernah menjadi siswi SAA di Pasteur kemudian menjadi Asisten Apoteker di sebuah apotik di Wastu Kencana, Bandung juga cerita bahwa sepeda adalah alternatif transportasi. Pada pagi hari, kawan-kawannya suka mampir ke rumah kakaknya di Cicendo dan menitipkan sepeda. Â Kemudian bersama jalan kaki ke Pasteur.
Nggak Capek? Tidak, kata ibu saya. Hawanya masih sejuk. Apalagi pagi hari. Karena beramai-ramai jadi tidak terasa. Â Hiburan? Mereka hanya menonton dan pernah menonjon pertunjukan Lutung Kasarung yang diselenggarakan perhimpunan apoteker. Umumnya bersahaja. Pulang kalau ada uang naik becak.
Namun gaya hidup mewah membuat orang bersahaja, sekalipun terpelajar sekalipun berbuat nekad. Pikiran Rakjat 5  November 1964 memberitakan  seorang mahasiswa bernama Hri (25 tahun) dijatuhi hukuman enam bulan penjara dengan perintah sgeera masuk karena terbukti telah mencuri satu peti buku-buku tentang arsitektur milik ITB.
Dalam sidang Pengadilan Negeri Bandung , Rabu 4 November terdakwa  mengakui mencuri buku-buku tersebut dan menjualnya Rp200 ribu . Uangnya habis digunakan berfoya-foya dengan wanita cantik
Pada awal November 1964 diberitakan pihak berwajib mengusut  penyaluran bemo yang diduga telah disalurkan di luar ketentuan berlaku. Dari jatah yang 200 itu, yang sudah diterima kotapraja dan disalurkan menurut ketentuan yang berlaku baru 125 buah,  Jumlah bemo yang dijadikan angkutan umum seharusnya 125, tetapi  ternyata jumlah bemo yang disalurkan lebih.  Jumlah bemo yang tidak resmi dijalankan berjumlah 40 buah. Akhirnya 21 bemo ditahan.
Jelang Tahun BaruÂ
Seolah tidak bergiming terhadap situasi ekonomi, pada November hingga menyambut tahun baru sejumlah acara hiburan tetap digelar di Kota Bandung.Â
Misalnya saja, BPU Jabar menggelar bebagai pertunjukan band  di Grand Hotel Preanger pada dua pekan terakhir Desember 1964. Band Ratna Mutiara pimpinan Abraham mengawali pertunjukan pada 19 Desember, diikuti Band Tole Ale pimpinan Manurip pada 25 Desember.
Sementara pada 26 Desember giliran Band Eka Djaja Combo pimpinan Rudy Rosady mengisi acara. Pada malam tahun baru Band Gita Remaja, Band Rhapsodia yang merupakan band papan atas kota Bandung tampil.
Selain terkait dengan malam tahun baru, berbagai pertunjukan diselenggarakan selama Desember. Pada 18 dan 19 Desember ada pertunjukan Drama Isra-Miradj di Sporthall Gelora yang dipentaskan Keluarga Himpunan Seni Budaya Islam pimpinan JH Nasution. Â
Pertunjukan juga diselingi Badn Nada Kentjana dan Orkes Gambus Nursjawab hingga Upit Sarimanah dan juara bintang Radio se-Indonesa Aji Satrianah.
Pada akhir tahun itu juga warga Bandung menyaksikan perunjukan drama  Ciung Wanara hingga pertunjukan Reog untuk mendukung kebijakan Dwikora. Pada Oktober 1964 juga digelar Musical Show Dwikora di Gelora Saparua.Â
Hadi Sumarno dalam Pikiran Rakyat edisi 9 Oktober 1964 menulis suasananya padat, bahkan ada undangan tanpa karcis, penuh semangat ganyang Malaysia. Â Tetap saja ada lagu Barat, "Oh, My Papa" dari Tom and Dick, yang dipopulerkan Eddy Fisher dan Connie Francis.
Penyanyi yang tampil antara Ernie Johan, Patty Bersaudara, Rusdy Maskun, Band Puspa Irama, Tom and Dick, hingga pelawak Eddy Sud dan Mang Topo.
Seakan tidak bergiming dengan semangat anti Barat, Koes Bersaudara juga tampil di Gelora Saparua Bandung pada November 1964 dalam acara bertajuk "Manusia Reklame". Hadi Sumarno, menulis dalam Pikiran Rakjat edisi  11 November 1964,  band itu antara lain menyanyikan lagu Beatles seperti "I Want to hold Your Hand".Â
"Untungnya ada band Aneka Nada yang menyanyikan lagu "Vivere Pericoloso" karya J Pattirane yang dianggap penuh semangat revolusi," kata Hadi.
Irvan Sjafari
Catatan Kaki:
- Pikiran Rakjat 20 November 1964
- Pikiran Rakjat, 26 November 1964
- Pikiran Rakjat, 27 Oktober 1964
- Pikiran Rakjat, 12 Desember 1964
- Pikiran Rakjat, 27 November 1964
- Pikiran Rakjat, 18 Desember 1964 (iklan). Sayangnya tidak ada jejak kapan berdirinya rumah makan ayam Mbok Berek. Termasuk di situs usahanya hanya menyebut pendirinya tanpa menyebut bagaimana sejarahnya.
- Pikiran Rakjat, 22 Desember 1964
- Pikiran Rakjat, 8 Desember 1964
- Pikiran Rakjat, 14 September 1964
Daftar Pustaka
Sejarah Perkembangan Pembangunan Daerah Djawa Barat Tahun 1945-1965, Badan Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat I Jawa Barat, 1965
Pikiran Rakjat 18 Desember 1964
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H